Tatkala periodisasi reformasi bergulir, keterbukaan untuk banyak hal menjadi semacam lampu hijau bagi semuanya, tak terkecuali paradigma yang menghadirkan semangat keagamaan tertentu yang cenderung eksklusif. Intrusi pemikiran yang telah melintas batas teritorial suatu negara (transnasional) – yang beberapa di antaranya tegas berafiliasi dengan paradigma fundamentalis dan cenderung bersikap intoleran terhadap yang berbeda pun tidak ketinggalan turut serta. Efeknya sangat luar biasa mengkhawatirkan, sebab persoalan toleransi menjadi pekerajaan rumah yang tiada kunjung mendapatkan langkah penyelesaian. Sebagai negara dengan mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, rona perwajahan yang kerap dilekati ideologi semacam itu sangat kuat hadir dalam pemahaman ke-Islaman. Meski begitu, adalah sebuah langkah ceroboh sekaligus menunjukkan kemalasan berfikir bila lantas meletakkan vonis bersalah terhadap semua pemeluk agama Islam karena hal tersebut
Saat ini mungkin banyak pihak yang telah terlanjur apatis atas persoalan intoleransi dan radikalisme yang tiada henti menjadi wacana akademisi maupun publik di negara ini. Salah satu penyebabnya adalah tidak kunjungnya persoalan yang demikian menemukan jalan keluar. Meski begitu, abai dengan keadaan yang menunjukkan fluktuatifnya isu ini jelas berpotensi menghadirkan bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat lagi. Bukan hal yang berlebihan rasanya pernyataan di atas. Sebab hadirnya agama dalam ruang publik, menghasilkan realitas lapangan yang mengkhawatirkan layaknya tersaji dalam data. Misalnya saja seperti data yang disajikan oleh Lembaga Survey Indonesia pada 2018 lalu menunjukkan peningkatan eskalasi isu intoleransi sejak tahun 2015. Lalu dalam menakar kondisi intoleransi pada 2019, lembaga ini menilai tidak ada angka penurunan atau dengan kata lain mengalami stagnansi. Artinya eskalasi isu intoleransi di negeri ini belum juga mendapatkan angin segar perubahan dalam konteks mengalami tren penurunan. Data tersebut seolah mendapatkan dukungan afirmatif dari data survei yang dihasilkan oleh lembaga Setara Institute, Jakarta. Dalam penelitian mereka yang mencoba mengkategorikan daerah dengan indeks toleransi tertinggi hingga terendah, didapati bahwa daerah macam Sabang, Medan, Tanjung Balai, Jakarta, Bogor, Depok, Padang adalah beberapa daerah dengan indeks toleransi terendah. Sementara daerah macam Salatiga, Siantar, Surabaya hingga Singkawang merupakan sejumlah daerah dengan indeks tertinggi sebagai kota toleran.
Melihat Ideologi Transnasional
Ketegangan yang coba diungkapkan oleh data di atas adalah sebentuk kontempelasi awal dalam melihat realitas sosial yang tiada henti mendapat gempuran infiltrasi budaya dan ideologi luar. Untuk sekedar diketahui, bila aspek budaya yang menjadi sorotan maka kemungkinan besar tafsiran atas hal ini akan hadir sangat beragam. Karena hari ini kacamata dalam melihat budaya sangatlah beragam pula. Berbeda halnya bila berbicara infiltrasi ideologi luar yang hadir dalam realitas kita berbangsa hari ini. Kebanyakan dari elemen masyarakat Indonesia hanya akan jatuh pandangannya pada dua ideologi besar yang selama ini dianggap tidak memiliki akar dalam jiwa bangsa ini yaitu, liberal dan komunis. Hal ini rasanya bukan tidak beralasan, sebab dari sejumlah survei yang bersoal mengenai hal-hal yang potensial mendisintegrasikan bangsa ini, hanya memunculkan dua ideologi tersebut sebagai “hantu” yang menakutkan. Sementara pada kenyataannya ideologi transnasional lainnya muncul dengan teror yang tidak kalah mengerikan, apalagi bila sudah menginstrumentalisir agama.
Baca Juga : Toleran Terhadap Intoleransi: Salahkah?
Meski demikian kita pun tidak bisa serta-merta menyebut semua pemeluk agama Islam memiliki relasi atau pun berwajah demikian, sebab kategorisasi kelompok fundamentalis atau pun intoleran sejatinya masih sangat umum. Ada banyak aliran yang berangkat dari madzhab atau negara tertentu yang kemudian menghadirkan pemahaman fundamentalis tersendiri. Setidaknya melalui upaya membuka diri dengan segala informasi dan pengetahuan tertentu menghadirkan kemungkinan untuk kita tidak terjebak pada pemahaman keagamaan yang hanya semata berpola taken for granted
Wahabi sebagai Ideologi Transnasional
Salah satu pemikiran Islam – bisa juga disebut ideologi yang cukup populer hari ini adalah Wahabi. Ideologi ke-Islaman ini berasal dari Arab Saudi dengan pendirinya adalah Muhammad Ibn Abdul Wahab. Dalam penelusuran Eickelman dan Piscatori yang dikutip oleh John L Esposito, Ideologi ini hidup dan terus berkembang karena adanya kerjasama yang kuat dan saling mendukung dengan penguasa lokal Dir’iyah ketika itu yaitu Muhammad As-Saud (Esposito, 2003).
Muhammad As-Saud kemudian menjadi penguasa pertama wilayah yang kini familiar kita sebut dengan nama Arab Saudi. Dukungan yang mereka dapatkan dari Inggris pada periode awal pergerakan mereka menjadikan legitimasi mereka semakin kuat, bahkan pemerintahan mereka berhasil menguasai wilayah Mekkah dan Madinah pada 1925. Yang artinya bukan hanya pemerintahan Arab Saudi saja yang semakin mapan, melainkan juga ideologi Wahabi semakin kokoh sebagai ideologi ke-Islaman negara Arab Saudi. Sebab keberhasilan menguasai Mekkah dan Madinah yang merupakan wilayah suci bagi umat Islam ini menjadi penanda semakin kokohnya pondasi ideologi ini di negara tersebut. Ketika kekokohan pondasi keagamaan sudah diperoleh dari legitimasi pemerintah, beberapa kebijakan menghancurkan situs bersejarah umat islam pun dikeluarkan. Beragam kajian ke-Islaman yang sebelumnya hadir di wilayah Mekkah mendadak hilang dan berganti dengan ortodoksi pemikiran ala wahabi.
Dalam buku yang diedit oleh seorang Gus Dur dengan judul “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional Islam di Indonesia”, jelas kita dapati pengetahuan tentang perkembangan ideologi ini sangatlah massif. Bahkan saking massifnya sampai bisa menginfiltrasi secara halus negara ini melalui lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan (ed. Wahid, 2009). Akibatnya tidak heran bila hari ini banyak kita temui para pihak, kelompok atau pun individu yang berfikiran layaknya cara berfikir puritan dan literalis macam ideologi wahabi.
Dari tulisan mengenai transnasionalisasi wahabi di atas, kita diajak memahami bahwa agama pun bisa mengalami transnasionalisasi ide. Bahkan potensial menjadi intoleran apabila sudah bersinergi dengan politik praktis. Sehingga tuntutan terbesar kita semua adalah mulai menerapkan proses beragam secara kritis ke dalam masing-masing diri kita. Kita tidak bisa lagi melihat agama semata taken for granted. Pemahaman beragama secara kritis tidak hanya mesti direplikasi kepada Islam semata, melainkan juga banyak agama lain. Melalui pemahaman mengenai proses penyebaran dan transnasionalisasinya sebuah agama menjadikan kita lebih awas terhadap politisasi agama dan aroma potensi intoleransinya.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…