Narasi

ISIS dan “Islam” yang Lain

Menarik membacara uarain Kyai Abdul Muiz Ghazali  Perbedaan Tentara Allah dan Terorisme (Jalan Damai, 24/7). Secara singkat dan padat, beliau menegaskan bahwa ISIS itu bukan tentara Allah. Klaim kelompok ekstremis bahwa mereka adalah wakil tuhan dan berjuang dengan membawa panji Islam, tetapi menabrak larangan dan ajaran Islam adalah bukti bahwa mereka tidak lebih dari produk politik belaka.

Secara gambang, Dosen IAIN Cirebon itu mengatakan bahwa ISIS tidak lebih dari sekedar teroris. Artinya, sekalipun ia membawa nama Islam, sejatinya tidak bisa disebut sebagai Islam. Jika itu beraraskan Islam, lantas bagaimana mungkin Islam mengajarkan dan membenarkan pembubuhan terhadap manusia, termasuk ulama? Islam yang mana itu? Entahlah.

Berangkat dari pemaparan Sodara saya di atas, saya juga hendak mengambil bagian dalam upaya meluruskan generasi muda saat ini, di mana masih tidak paham betul terkait ISIS. Bahkan dari mereka masih banyak yang menganggap bahwa ISIS adalah representasi Islam yang progresif.

Saya hendak mengawali uraian singkat ini dengan sebuah pernyataan Ayis Mukholik dalam sebuah karyanya Islam Mazhab Hermeneutika Reformis (2016) bahwa aspek dan laku apa saja yang bertentangan dengan misi dan ajaran Islam, maka tidak dapat disebut sebagai ajaran Islam. Dengan kata lain, tindakan-tindakan radikalisme seperti terorisme, perusakan, persekusi, dan lain sejenisnya sama sekali tidak mencerminkan wajah Islam sebenarnya.

Setidaknya ada beberapa poin mendasar yang dapat membuktikan bahwa ISIS atau IS bukanlah Islam sesungguhnya. Pertama, misi Islam membawa perdamaian dan kesejahteraan umat manusia. Abudin Nata dalam buku monumentalnya Studi Islam Komprehensif (2011) menegaskan bahwa misi ajaran Islam adalah membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia. Hal ini tercermin dari nama Islam itu sendiri. Dalam ilmu linguistik, Islampada mulanya berasal dari bahasa Arab, Salim (selamat dan damai). Hamim Ilyas (2005) memberikan informasi bahwa Islam tidak hanya memelihara agama sendiri, melainkan juga ikut serta dalam menjaga eksistensi agama lainnya. Sehingga, konsep kesejahteraan dalam Islam universal, berlaku untuk semua manusia.

Nah begitu mulia misi Islam. Tentu sangat menyayat hati apabila ISIS sebagai representasi Islam. Tepatnya, ISIS-lah yang mengklaim dirinya sebagai Islam. Sepak terjang dan gaya gerakan yang mengedepankan kekerasan sehingga menimbulkan kekacauan dan instabilitas kehidupan manusia semakin memperjelas bahwa mereka bukan Islam.

Kedua, Islam menghargai perbedaan. Label Islam adalah agama toleran tidak saja dalam tataran teks, melainkan sudah menjadi laku dan mengakar dalam polah tingkah pengikutnya. Perbedaan dalam Islam adalah sebuah keniscayaan yang muncul sejak manusia diciptakan sehingga harus dimaknai sebagai rahmat dan kekayaan (baca: QS. Hud, 118 dan QS. Almaidah, 48). Sementara ISIS dalam doktrin ajarannya menilai bahwa orang maupun kelompok yang berbeda pandangan (tidak sepaham) dicap sebagai orang kafir dan darahnya halal. Inilah kesalahan fatal dan konyol ISIS bahwa Muslim yang tidak sehakuan dengan gerakan politiknya dianggap sebagai musuh. Dalam bahasa Misdar Mahfudh (2017), sebagaimana dikutip dari Geotimes (7/7) bahwa ISIS tak lebih menganggap bahwa agama hanya dijadikan kamuflase untuk melanggengkan status quo dan melakukan tindak kekerasan.

Ketiga, salah kaprah tafsir jihad. Sejak dibentuk pada tahun 2013 di bawah pimpinan Abu Bakr Al-Baghdadi, ISIS menjadi gerakan jihad utama memerangi pasukan pemerintah di Suriah dan membangun kekuatan militer di Irak. Pada perkembangannya, gerakan yang memiliki kekuatan militer canggihnya ini melebarkan sayapnya hingga ke seluruh dunia. Saat ini Marawi ditengarai telah diduduki ISIS.

Kesuksesan ISIS mengembangkan gerakannya ini selain didukung dengan pendanaan yang besar juga kuatnya doktrin serta narasi jihad yang dilancakan. Kelompok ini memaknai ayat suci Alquran sepenggal-penggal dan cenderung taken for granted (saklek). Bagi mereka, jihad adalah mengangkat senjata. Jihad adalah perang (qital). Berbagai video pemenggalan dan pemerkosaan disebar pada dunia dengan harapan memberikan ancaman, teror dan kepanikan. Dengan demikian, ISIS pantas disebut sebagai gerakan yang tidak hanya melenceng dari Islam, melainkan sudah menghancurkan, memporak-porandakkan agama serta distorsi ajaran Islam sebenarnya.

Syaik Faishal (2011: 68) mengatakan bahwa jihad di jalan Allah adalah puncak tertinggi dalam agama Islam, tujuan jihad adalah menyeru manusia untuk menyembah Allah, maka jihad adalah sarana untuk berdakwah kepada Allah dan sara menyebarkan agama dan syariat Allah. Bagi saya, jihad dalam konteks dunia damai, lebih tepat memakai perspektif kelompok esoterik. Sehingga, ayat-ayat pedang dapat dikontekstualisasikan dengan luwes. Misalnya terkait ayat al-Baqarah ayat 190-193. Bagi kelompok tekstualis, ayat ini dijadikan legitimasi untuk melangsungkan perang dan pengeboman terhadap orang-orang kafir secara universal. Namun, menurut kelompok bathiniyyah (esoterik), misalnya dalam menafsirkan At-Taubah ayat 5, mufassir esotorik seperti Ibnu Ajibah dalam al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al Majid juz 2 diartikan sebagai jihad melawan nafsu yang bergelora dan dari mana saja nafsu tersebut muncul.

Terakhir, bertentangan dengan misi utama agama Islam. Jika dilihat dari segi aspek tujuannya, ajaran Islam seperti dirumuskan al-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, yang kemudian disebut dengan istilah maqashid syariah, Islam menjamin lima hal: 1) memelihara agama (hifdzil al-Din), 2) memelihara harta (hifdzil al-mal), 3) memelihara akal (hifdzil al-Aql), 4) memelihara keturunan (hifdzil al-Nasl) dan 5) memelihara jiwa (hifdzil al-Nafs). Sedangkan ISIS yang mengaku Islam, malah menghancurkan semua.

Mengakhiri uraian ini dan sebagai penegasan, penulis mengutip pernyataan Buya Syafii Maarif: “Islam itu damai, konstruktif, dan dapat mengayomi bangsa ini dengan tanpa membeda-bedakan suku,agama, afiliasi politik dan lain-lain. Dan inilah Islam yang sebenar-benarnya.” Jadi, ISIS yang jelas-jelas mendistorsi, melecehkan, dan memutar balikkan ajaran Islam adalah bukan Islam sebenarnya. Ia adalah “Islam” yang lain. Sebuah “agama” buatan manusia yang didesain untuk memenuhi hasrat dan nafsu manusia yang hina.

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago