Peran perempuan dalam membangun peradaban adalah keniscayaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jauh sebelum konsep kesetaraan gender modern digaungkan, Islam telah datang dengan membawa revolusi sosial yang signifikan dalam mengangkat derajat perempuan. Pada masa Jahiliyah, perempuan seringkali dipandang rendah, menjadi objek warisan, bahkan praktik keji seperti penguburan bayi perempuan hidup-hidup lazim terjadi.
Kehadiran Islam menghapus tradisi-tradisi biadab ini dan memberikan hak-hak dasar yang sebelumnya tidak dimiliki perempuan, seperti hak waris, hak memiliki harta, dan hak untuk melangsungkan pernikahan atas dasar kerelaan. Islam juga memberikan kebebasan berpendapat bagi perempuan.
Sebuah kisah masyhur menyebutkan bagaimana seorang perempuan dengan berani mengoreksi pendapat Khalifah Umar bin Khattab di hadapan publik terkait pembatasan mahar. Umar, yang dikenal tegas, menerima koreksi tersebut dan berkata, “Perempuan itu benar dan pria ini salah.” Ini menunjukkan bahwa dalam tatanan Islam yang ideal, suara perempuan dihargai dan didengarkan dalam urusan publik.
Semangat pemuliaan perempuan ini kemudian menggema di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pada era perjuangan kemerdekaan, kita mengenal sosok Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Melalui surat-suratnya yang membakar semangat, Kartini menyuarakan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sebagai jalan menuju kemajuan dan kemandirian.
Spirit “emansipasi” yang diperjuangkan Kartini adalah semangat untuk melepaskan perempuan dari belenggu kebodohan dan tradisi patriarkis yang menghambat potensi mereka, sejalan dengan nilai-nilai Islam yang memandang pentingnya ilmu bagi setiap individu muslim, laki-laki maupun perempuan.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa di Indonesia harus membatasi peran perempuan di ruang publik atas dalih agama dan memanfaatkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di palestina maka hal itu merupakan kesalahan dalam berfikir. Jika melihat dari kisah umar dan perempuan, kita bisa melihat bahwa Sayyidina Umar bin Khattab r.a. dikritik di hadapan publik ketika ia sedang berpidato. Artinya, di situ perempuan dan lelaki berkumpul di satu tempat. Perempuan tidak dibatasi geraknya, bahkan perempuan tersebut berdiri dan mengomentari pendapat Umar. Kemudian mengakui kesalahannya.
Oleh karena itu, pandangan atau pendapat yang cenderung mengekang peran dan ruang gerak perempuan, apalagi sampai merendahkan martabat mereka di era modern ini, jelas keliru dan bertentangan, baik dengan prinsip ajaran agama maupun hak asasi manusia universal. Agama Islam menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan yang setara sebagai hamba Allah, dengan hak dan kewajiban yang saling melengkapi.
Pembatasan yang semata-mata didasarkan pada jenis kelamin tanpa dasar syar’i yang kuat atau pertimbangan kemaslahatan yang jelas adalah bentuk ketidakadilan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pun menjamin kesetaraan hak dan kebebasan bagi setiap individu tanpa memandang jenis kelamin.
Pembatasan peran perempuan di ruang publik akan membawa dampak buruk yang signifikan bagi tatanan sosial. Pertama, masyarakat akan kehilangan potensi dan kontribusi luar biasa dari separuh populasinya. Perempuan memiliki beragam bakat, keterampilan, dan perspektif unik yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan di berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga politik.
Kedua, pembatasan ini bisa menyebabkan stagnasi sosial dan ekonomi. Ketika perempuan tidak diberi kesempatan yang sama untuk berkarya dan berkontribusi di luar rumah, daya saing bangsa akan menurun dan kesejahteraan keluarga pun bisa terpengaruh.
Ketiga, minimnya representasi perempuan di ruang publik dapat mengakibatkan kebijakan dan keputusan yang diambil tidak sepenuhnya mencerminkan atau menjawab kebutuhan dan aspirasi perempuan dan anak-anak. Memuliakan dan memberdayakan perempuan, sebaliknya, akan menciptakan masyarakat yang lebih adil, maju, dan sejahtera secara keseluruhan.
Islam dan kultur patriarki merupakan dua hal yang bertolak belakang, tapi sekaligus sering disalahpahami sebagai…
Di tengah tragedi yang melanda Palestina dan peringatan Hari Kartini, sejumlah akun media sosial radikal…
Dalam surat-suratnya yang dihimpun dalam buku yang fenomenal Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam versi bahasa…
Kaum radikal identik dengan watak oportunis. Mereka lihai mengaitkan peristiwa atau isu untuk menyebarkan ideologi…
Setiap tanggal 21 April, bangsa ini selalu memperingati hari Kartini. Spirit perjuangan Kartini sejatinya harus…
Setiap kali Hari Kartini tiba, narasi tentang perjuangan perempuan Indonesia kembali menggema, mengingatkan kita pada…