Narasi

Jejak Khilafah, Disorientasi Sejarah dan Urgensi Penguatan Karakter Bangsa

Para eksponen pengusung ideologi khilafah di Indonesia kembali berulah. Tempo hari, sebuah diskusi bertajuk “Jejak Khilafah di Nusantara” yang diselenggarakan dalam rangka perilisan film dengan judul yang sama menuai kontroversi. Pasalnya, diskusi yang ditayangkan di akun YouTube Khilafah Channel itu mencantumkan nama Peter Carey. Kita tentu tahu, Peter Carey adalah nama besar dalam kajian sejarah Indonesia. Ia banyak melakukan penelitian sejarah tentang Jawa, dan menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh tahun untuk meneliti kisah hidup dan perjuangan Pangeran Diponegoro.

Usut punya usut, pencantuman nama Peter Carey di diskusi peluncuran film itu ternyata tanpa seijin si empunya nama. Bahkan, belakangan muncul pesan dari Carey yang membantah keterlibatannya dalam diskusi maupun produksi film tersebut. Dalam klarifikasinya ia menyebut bahwa pernah diwawancarai oleh salah satu pembuat film “Jejak Khilafah d Nusantara”. Dalam wawancara tersebut, Carey membantah asumsi bahwa perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro terhadap Belanda mendapat sokongan dari kesultanan Utsmaniyyah di Turki. Carey menegaskan bahwa kesultanan Turksi Utsmani sama sekali tidak mengenal Jawa.

Adalah sebuah hal yang wajar manakala para eksponen gerakan khilafah melakukan tindakan yang tidak mengedepankan etika dan rasionalitas. Tindakan pencatutan nama Peter Carey ini hanyalah puncak dari fenomena gunung es dari perilaku pengusung khilafah yang cenderung menghalalkan segala cara. Propaganda demi propaganda dilancarkan, dengan segala cara, bahkan dengan menyelewengkan fakta sejarah dan berusaha menulis sejarah baru yang sesuai dengan kepentingan mereka. Inilah yang penulis sebut sebagai disorientasi sejarah, yakni semacam gejala kehilangan kesadaran atas pandangan atau pikiran terhadap peristiwa masa lalu.

Uniknya, gejala disorientasi sejarah yang dialami para pengusung khilafah ini tidak terjadi karena kurangnya pengetahuan, melainkan terjadi karena kesengajaan. Kaum pengusung khilafah berusaha memelintir fakta sejarah agar sesuai dengan kepentingannya untuk menyebarkan ideologi Islam transnasional di Bumi Pertiwi. Hal yang demikian ini jelas bukan pola baru dalam gerakan khilafah. Jauh sebelumnya, Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) sebagai salah satu organisasi paling getol mewujudkan kekhilafahan Islam di era modern telah melakukan hal serupa, bahkan dalam konteks yang lebih brutal. Mereka membakar jutaan eksemplar buku-buku dari sejumlah perpustakaan di Irak dan Syiria, memenggal kepala para seniman, intelektual dah ahli sejarah, serta menghancurkan situs-situs kebudayaan bersejarah. Tujuannya hanya satu yakni memutus matarantai ingatan sejarah masa lalu agar masyarakat lebih mudah didoktrin oleh perspektif sejarah baru.

Baca Juga : Romantisme Diponegoro dan Anatomi Khilafah di Nusantara

Disorientasi sejarah yang dialami oleh para eksponen khilafah pada akhirnya berujung pada penyimpangan sejarah yang fatal. Sejarah dibelok-belokkan sekehendak hati mereka untuk memuaskan ego pribadi dan kepentingan kelompok yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip dasar kebangsaan. Di titik inilah letak pentingnya penguatan karakter kebangsaan. Penguatan karakter bangsa dapat dilakukan salah satunya dengan menyelaraskan antara relijiusitas dengan nasionalisme. Sikap relijiusitas dipahami sebagai sebuah sikap tunduk pada ajaran dan simbol agama. Sedangkan nasionalisme ialah sikap cinta tanah air dan kesetiaan serta kerelaan berkorban jiwa-raga demi eksistensi bangsa dan negara.

Relijiusitas dan nasionalisme harus berjalan beriringan tanpa menegasikan satu sama lain. Relijiusitas harus mendukung nasionalisme, begitu pula nasionalisme harus menyokong relijiusitas. Saat ini apa yang kita lihat acap menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya. Kepentingan untuk menonjolkan simbol agama kerap mengabaikan dimensi kecintaan terhadap tanah air. Lantas, bagaimana membangun dan memperkokoh karakter bangsa terutama menyangkut isu penyelewengan sejarah yang marak terjadi belakangan ini?

Langkah pertama yang harus kita lakukan ialah melawan setiap disorientasi sejarah dengan melakukan pelurusan fakta sejarah. Segala praktik penyelewengan sejarah baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja apalagi didasari oleh kepentingan tertentu harus dilawan dengan narasi tandingan. Pemerintah dan masyarakat perlu mengklarifikasi setiap praktik penyelewengan sejarah agar masyarakat luas mendapat pencerahan dan mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya. Langkah kedua yang tidak kalah pentingnya ialah menanamkan pengetahuan sejarah yang benar pada generasi penerus bangsa, utamanya kaum muda. Kelompok muda harus melek sejarah agar tidak mudah dibodohi oleh golongan yang gemar memelintir fakta sejarah.

Kontroversi terkait pencatutan nama Peter Carey dalam diskusi peluncuran film “Jejak Khilafah di Nusantara” kiranya bisa dipahami sebagai sebuah skenario penyelewengan sejarah yang harus diwaspadai. Kelompok khilafah tampaknya tengah berupaya melancarkan propaganda dengan dalih disorientasi sejarah. Mereka ingin menyelewengkan fakta sejarah dan berusaha menulis ulang sejarah sesuai kepentingan mereka. Terbukti, beberapa hari terakhir ini, di media sosial Twitter tanda pagar “Nusantara Bagian dari Khilafah” berhasil memuncaki topik perbincangan paling populer. Adalah tanggung jawab dan kewajiban kita bersama untuk melawan segala bentuk disorientasi sejarah Nusantara.

This post was last modified on 6 Agustus 2020 2:11 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

20 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

20 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

20 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago