Editorial

Jihad Merawat Keragaman

Tidak bisa dibantah bahwa keragaman merupakan keniscayaan dalam sejarah umat manusia dari dulu hingga saat ini. Keragaman merupakan bagian dari rekayasa Tuhan dalam menciptakan manusia di muka bumi ini.  Perbedaan bangsa, suku, ras, bahasa, agama dan keyakinan bukan sekedar fakta historis, tetapi juga fakta teologis yang harus diyakini oleh semua orang yang beriman. Tuhan menegaskan bahwa penciptaan manusia dengan aneka ragam latarbelakang merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang yang mengetahui (QS: Ar-Rum Ayat 22).

Keragaman dengan pengertian tersebut merupakan sunnatullah; jalan Tuhan mengekspresikan kekuasaanya terhadap manusia sebagai tanda bagi mereka yang mengetahui. Perbedaan umat manusia adalah manifestasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan atas manusia. Lalu, apa tujuan rekayasa keragaman Tuhan ini diberikan kepada manusia.

Tuhan menuturkan tujuan tersebut secara tegas dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Firman Allah ini jelas menyatakan secara eksplisit bahwa keragaman umat manusia diciptakan agar satu sama yang lain mengenal. Secara implisit sesungguhnya dengan keragaman ini, Tuhan pun menegaskan bahwa semua manusia sama di mata Allah. Manusia adalah ciptaan Allah yang diracik dari sumber dan bahan yang sama tetapi memiliki atribut kesukuan, kebangsaan, keyakinan,  dan etnisitas, yang berbeda-beda. Namun pada hakikatnya derajat manusia adalah sama.

Prinsip kesetaraan ini ditegaskan oleh Allah bahwa yang membedakan antara mereka hanyalah ketakwaannya. Tuhan tidak membedakan manusia karena perbedaan antribut sosial-kultural, tetapi yang berharga di sisi Allah adalah aspek spiritual berupa ketakwaan. Ayat ini menegaskan prinsip kesetaraan umat manusia dari beragam kultur, etnis, bahasa, dan keyakinan, sekaligus menegaskan perbedaan antara mereka adalah kemuliaan hati, kemuliaan budi, kemuliaan perangai, dan ketaatan kepada Ilahi.

Tuhan pun melanjutkan dengan memberikan panduan etis dalam melakukan pergaulan lintas batas kultural dalam rangka saling mengenal. Dalam Surah al-Hujurat ayat 11 terdapat panduan dan prinsip etis-moral umat manusia untuk merawat keragaman dengan cara tidak mengejek, mengolok-olok, menghina dan merendahkan kaum yang lain.  Mengolok-olok, mengejek, menghina dan merendahkan yang lain tidak layak dilakukan bagi mereka yang merasa dirinya orang yang beriman.

Orang beriman tidak saja mengakui keberadaan Tuhan dan misi kenabian, tetapi juga mengimani dan meyakini keragaman sebagai sunnatullah. Artinya, orang beriman tidak mungkin merusak pergaulan sosial dengan upacan dan tindakan yang dapat menganggu harmoni keragaman. Dengan demikian, bersikap sopan, santun, dan toleran merupakan ekspresi akhlak mulia dari orang yang beriman. Cara menjaga keimanan kita adalah dengan cara merawat keragaman yang ada. Sebaliknya hanya orang yang tidak beriman yang selalu melihat kekurangan orang lain dan membanggakan kelebihan diri sendiri dengan rajin menghujat, mengolok-olok, menghina bahkan berbuat kasar dan kekerasan terhadap mereka yang berbeda.

Orang beriman selalu diperingatkan untuk tidak membanggakan diri dan merendahkan yang lain.  “Kalau Allah Menghendaki, niscaya kamu Dijadikan- Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak Menguji kamu terhadap karunia yang telah Diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Ma’idah 48). “Dan jika Tuhan-mu Menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Yunus 99).

Firman Allah ini menggugah dan mengajak kita untuk selalu tidak memaksakan kehendak terhadap umat lain yang berbeda. Sekali lagi keragaman adalah kehendak Tuhan di mana umat manusia tidak bisa memaksakan kehendak Tuhan, kecuali mereka merasa seperti Tuhan. Dewasa ini mulai ada gejala kelompok yang seolah mencuri Hak dan Kekuasaan Tuhan dengan memaksakan kebenaran terhadap umat manusia. Para utusan Tuhan pun tidak pernah melampaui kekuasaanNya dan hanya diberikan “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan”(Al-Ma’idah 99).

Dunia adalah tempat ujian dan perlombaan. Manusia dengan keragaman yang ada diuji dengan beban masing-masing. Dalam arena perlombaan yang disediakan oleh Tuhan ini, manusia dituntut untuk selalu berbuat kebaikan. Perkataan, sikap dan perilaku yang baik inilah yang akan menentukan pemenang perlombaan ini. Mari berlomba-lomba dalam kebaikan dengan tetap menjaga dan merawat keberagaman umat manusia. Hanya orang yang beriman yang bersungguh-sungguh (berjihad) merawat keragaman ini sebagai ekspresi keyakinan dan ketundukan terhadap Tuhan.

Redaksi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago