Banyak komentar yang bertebaran di media massa bahwa ISIS dan organisasi di bawahnya merupakan tentara Allah (junudullah). Atas nama tentara Allah, mereka konon berjuang untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini dan menghancurkan seluruh unsur kemusyrikan yang ada baik yang nyata seperti patung atau yang tidak seperti ideologi dan hukum-hukum yang dipakai oleh seseorang. Karena itulah mereka tidak jarang melakukan tindakan sadis terhadap siapapun yang dianggapnya kafir. Patung-patung dan kuburan dimusnahkan karena dituduh sebagai biang kemusyrikan itu.
Benarkah tentara Allah itu demikian? Apa perbedaannya dengan terorisme? Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya dibedah terlebih dahulu bahwa kata “jundu” atau “junud” dalam al Qur’an tidaklah sedikit. Jund atau junud bermakna tentara. Namun ada junudullah; tentara Allah dan junud iblis; tentara iblis. Tentara iblis ini bisa tampak terlihat sebagai tentara Allah. Karena iblis memang suka menipu. Kalau tidak hati-hati, maka kita bisa terperdaya oleh mereka. Al Qodhi Fadil Daulan dalam “Usra Al Harb Fi Al Tasyri’ Al Islamy Wal Qanun Al Dawly Al ‘Amm” menjelaskan ciri-crinya.
Pertama, tentara Allah selalu tunduk patuh kepada pemimpin atau imamnya. Islam mengajarkan bahwa selain kita harus taat kepada Allah dan RasulNya, umat Islam juga diwajibkan taat kepada pemimpin dan atau ulil amri. Pemimpin dalam konteks ini adalah kepala pemerintahan yang dalam beberapa kitab fiqh disebut umara’. Umara’lah yang memiliki wewenang untuk menentukan kondisi perang atau damai. Sehingga para tentara Allah tidak melakukannya dengan sewenang-wenang dan atas dasar egonya sendiri.
Kedua, tentara Allah selalu mengarah pada upaya untuk menghilangkan permusuhan (lidaf’il ‘udwan). Dalam sirah al nabawiyah diketahui bahwa dimana saja dan kapan saja, Nabi selalu dalam ancaman pembunuhan. Orang-orang yang bersama Nabi juga tidak luput dari ancaman itu. Nabi berserta umatnya dimusuhi oleh banyak kalangan. Karena itulah mereka mengangkat pedang untuk menghilangkan permusuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah permusuhan dalam kelompok seperti upaya menyelamatkan umat Madinah dari serangan musuh.
Dan ketiga, tentara Allah selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaa. Islam mengatur ketat etika dalam peperangan. Dalam haditsnya, Nabi sangat melarang membunuh anak-anak, para wanita, dan orang tua. Begitu juga para tentara Allah memperlakukan musuh-musuhnya yang terluka dan sakit dengan baik. Karena di dalamnya ada huquq al jurhy wal marda, hak-hak orang terluka dan sakit. Bahkan kepada tawanan perang Nabi berwasiat agar memperlakukannya dengan baik. Istaushu bil usara khairan, hendaklah kaliah semua memperlakukan tawanan perang dengan sebaik-baiknya. Dari sini terlihat bahwa tentara Allah sangat manusiawi.
Abu Bakar al Siddiq berwasiat kepada tentaranya agar tidak membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, orang-orang terluka, tidak memotong pepohonan yang berbuah, tidak membakar kurma, tidak merobohkan bangunan, tidak membelah hewan dengan sadis, tidak berkhianat, dan tidak boleh menyalib musuh. Wasiat Abu Bakar ini memperkuat keyakinan bahwa jika tentara Allah bukanlah orang yang berperang membabi buta dengan membunuh apapun yang ada di depannya atau bahkan menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai tameng dalam berperang. Sebaliknya, Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan bangunan dan pepohonan.
Sementara itu, terorisme justru berbeda jauh dengan apa yang dipaparkan di atas. Para teroris dan ekstrimis itu tidak jarang berusaha memprovikasi umat untuk melakukan makar terhadap pemimpinnya. Pemerintah Indonesia dianggap sebagai pemerintahan ‘thaghut’, ‘keluar dari syariah’, atau ‘memusuhi umat Islam’ merupakan bahasa provokatif agar maysrakat melawan pemerintahan yang sah. Dalam konteks ini, ketaatan terhadap umara sebagaimana diwajibkan oleh Allah dalam al Qur’an justru diabaikan bahkan dilanggar.Naudzubillah!
Begitu juga soal cara teroris memperlakukan orang lain. Orang-orang yang mereka tawan diperlakukan sungguh tidak manusiawi. Jangankan orang biasa, bahkan seorang ulama yang selalu memberikan pengajian dan kuliah dengan santun seperti syekh Mohammad Said Ramadhan al Buthi justru dibunuh dengan sadis. Ini artinya, mereka bukan hanya tidak manusiawi tapi juga menghancurkan sendi-sendi Islam. Karena dalam hadits Nabi bersabda bahwa jika satu ulama meninggal maka ada puluhan ribu ilmu Islam yang terangkat ke langit. Bagaimana jika semua ulama dibunuh?
Tidak hanya itu, kita juga menyaksikan banyak bangunan dan kuburan yang dihancurkan. Anak-anak dan para perempuan juga tidak luput dari pembunuhan dan penyiksaan yang kejam. Ada yang diperjual belikan sebagai budak, ada yang dijadikan budak seks, dan ada pula yang langsung dibunuh. Lalu, masihkah mengatakan teroris itu sebagai tentara Allah?
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…