Narasi

Jihad Santri Untuk Kesatuan NKRI

Resolusi jihad, 22 Oktober 1945 merupakan bukti otentik sejarah bahwa santri memiliki peran penting dalam mempertahankan kesatuan negara republik Indonesia dari penjajahan Belanda. KH. Hasyim As’ary, KH. Ahmad Dahlan, dan yang lain merupakan tokoh central santri yang ikut andil untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara ini. Santri telah mengorbankan jiwa dan raga sebagai wujud implentasi dari cinta negara yang merupakan bagian dari iman (Hubbul wathon minal iman) yang telah menjadi pendoman santri.

Jihad yang dilakukan oleh santri pada saat itu, berperang melawan belanda yang ingin menguasai bangsa Indonesia merupakan jihad fi sabillah karena penjajah ingin menguasai harta kekayaan bangsa Indonesia yang merupakan milik rakyat. Mempertahankan harta milik, mempertahankan agama, dan mempertahankan keluarga yang ingin diambil atau ingin dirusak oleh orang lain bagian dari jihad. Apabila meninggal dunia, maka digolongakan orang yang mati syahid. (HR. Abu daud dan Turmudzi, Riyadus sholihin, nomer hadist 1356). Semangat juang santri untuk mempertahankan NKRI merupakan bagian dari jihad yang tidak pernah padam sampai saat ini. Santri sudah menjadi bagian dari pemersatu bangsa.

Jihad di era Digital

Era digital telah dimanfaatkan oleh semua kalangan untuk mempermudah akses informasi dan wawasan. Semuanya dengan mudah mendapatkan infomasi dan wawasan dengan bermodalkan gadget dan sejenisnya. Mulai dari anak-anak sampai dewasa, petani sampai pejabat negara termasuk para pelaku aksi terorisme dan radikalisme. Kemudahan ini dimanfaatkan oleh faham esktrimis dan pengikutnya untuk menyisipkan konten-konten radikal melalui dunia maya agar pembaca terpengaruh dengan tulisan-tulisan yang terkandung faham radikal yang kemudian dapat membenci pemerintah yang dianggap thoghut.

Mereka menggunakan dalil al-Qur’an dan hadist sebagai taming dan justifikasi untuk mengelabuhi pembaca yang kemudian dapat terpengaruh oleh bacaan yang telah dibaca. Misal, jihad dimaknai dengan berperang dan membunuh orang lain yang tidak sepaham, Pancasila dianggap tidak islami, Indonesia dianggap bukan negara islam dan harus mendirikan negara islam, dan lain-lain. Tulisan-tulisan yang tak bardasar ini menyebar di dunia maya.

Data pengguna aktif internet tahun 2016 sebanyak, 88.1 juta dan pengguna aktif media sosial 79.0 juta. Hal ini berbanding lurus dengan realitas dilapangan, penikmat internet dengan mudah bertanya pada “Google” tentang permasalahan yang sendang dihadapi, terlebih masalah agama. Padahal kebenaran informasi dari internet masih diragukan dan membutuhkan kajian ulang agar tidak terjebak pada paham-paham yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Sebagai santri yang mempelajari islam dari sumber aslinya (otoritatif) memiliki kewajiban untuk meluruskan paham-paham radikal yang dapat meresahkan masyarakat luas dan paham yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Santri tidak hanya dituntut untuk berdakwah bil lisan (menjadi penceramah dan sejenisnya) dan atau bil af’al (memberi contoh bagi orang lain), tetapi juga santri dituntut untuk berdakwah bil risalah (tulisan). Dakwah dengan karya tulis ini (literisi) dapat dibaca oleh semua kalangan yang haus akan keislaman dan dapat menjadi penunjuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tulisan-tulisan yang merupakan produk dari santri harus menjadi viral di dunia maya agar supaya menjadi bagian dari kontra propaganda pada konten-konten radikal di dunia maya. Hal ini merupakan salah satu bentuk jihad di era sekarang yang merupakan era di gital. Dalam artian bahwa santri tidak harus berperang melawan penjajah sebagaimana telah dilakukan oleh santri zaman dahulu, tetapi santri era digital ini harus mampu memanfaatkan pengetahuan keislamannya dan kemudian menyebarkan melalui media cetak dan sosial untuk menyadarkan masyarakat agar tidak terjebak dalam jurang radikalisme dan ektrimisme yang mengancam keadamaian dan ketentraman bangsa Indonesia..

Jika dahulu santri melawan penjajah dengan mengorbankan harta benda dan jiwa raga, tetapi di era digital ini, jihad santri adalah melawan terorisme dan radikalisme dengan ikut serta menyebarkan tulisan-tulisan perdamaian, toleransi, dan plurisme. Dengan demikian, santri di era sekarang harus melek teknologi, mampu mengoperasikan komputer yang merupakan alat untuk berjihad di dunia maya agar supaya kesatuan bangsa indonesia tetap dapat dipertahankan. Semoga.

This post was last modified on 18 Oktober 2016 6:10 AM

Samsul Ar

Samsul Ar. Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Aktif di FKMSB (Forum Komunikasi Santri Mahasiswa Banyuanyar). Tinggal di Yogyakarta.

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

17 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

19 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

19 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

19 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago