Narasi

Kampus dan Tantangan Ideologi Radikal

Sampai menjelang pertengahan tahun 2017 ini, gerakan mahasiswa di kampus semakin tampak mengerikan: Pancasila dijauhi, khilafah direngkuh erat. Berbagai kasus terbaru mengindikasikan bahwa kampus harus waspada, bisa semakin menipis energinya untuk menjadi benteng lahirnya manusia Indonesia yang cinta NKRI.

Tahun 2016 lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis data terkini bahwa radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa melalui proses islamisasi. Proses itu dilakukan secara tertutup dan berpotensi terjadi perang saudara dan memecah belah bangsa. Di kampus, kelompok ini lebih banyak melakukan radikalisme ideologi dengan cita-cita mendirikan negara Islam versi mereka sendiri. Untuk mewujudkan negara Islam, mereka bahkan menghalalkan cara-cara kekerasan.

Kalau ada mahasiswa membaca bukunya Gus Dur atau Nurcholis Madjid bisa diharamkan, karena mereka cenderung anti kepada perbandingan mazhab dan monolitik.  Radikalisme ideologi yang dilakukan di kampus juga mengancam ideologi Pancasila, karena Pancasila dianggap “haram”, bukan Islam. Berdasarkan hasil riset LIPI ini, mahasiswa yang belajar ilmu eksak lebih mudah direkrut kelompok radikal dibandingan mahasiswa di bidang ilmu sosial. Proses perekrutan, jaringan, hingga pemeliharaan jaringan dilakukan secara terorganisir.

Riset LIPI ini merupakan data yang harus disikapi dengan kritis oleh semua kalangan. Dalam konteks dunia pendidikan, ideologi radikal yang terus berkembang ini sangat mengancam masa depan bangsa. Tragisnya, tidak sedikit buku sekolah yang beredar juga berisi ideologi radikal yang mengafirkan dan menyalahkan orang lain.

Kampus merupakan “rumah besar” dalam kehidupan. Dengan kampus, manusia mendapatkan jalan dan metodologi hidupnya, walaupun tidak seutuhnya. Makanya, gerakan terorisme akan selalu memanfaatkan lembaga pendidikan untuk kepentingan sesaatnya. Sudah banyak penelitian yang mengabarkan bahwa pendidikan agama di lembaga pendidikan makin banyak mengajarkan ihwal radikalisme dan terorisme.

Menguatkan Basis

Di tengah pergolakan terorisme yang masih menakutkan dunia hari ini, dunia pendidikan harus kembali kepada basis dan pondasi tiap daerah yang biasa dinamakan kearifan lokal. Kearifan lokal harus menjadi pijakan lembaga pendidikan dalam membangun peradaban Indonesia masa depan. “Bukan yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan yang paling adaptif dalam meres­pons perubahan,” begitu penjelasan teori survival of the fittest yang dibangun Charles Darwin (1809-1882). Kemampuan adaptif merupakan peluang dan kunci meraih sebuah kemajuan.

Kemampuan adaptif lembaga pendidikan terletak dalam bingkai kearifan lokal. Sayangnya, kearifan lokal semakin ditinggalkan. Lembaga pendidikan tidak lagi mempunyai referensi yang memadai dalam menggali kearifan lokal, sementara kecanggihan teknologi informasi dibiarkan secara liar merampas etika dan moralitas. Mahasiswa sekarang ini sangat bangga memegang handphone bermerk mewah, tetapi “malu” untuk bersopan santun kepada yang lebih tua.

Kearifan lokal sudah ada dan menancap dalam keseharian kehidupan masyarakat. Kearifan lokal ini harus digali, sehingga pendidikan mampu menyerap nilai luhur bangsa yang sudah diciptakan para bijak bestari masa silam. Kalau bangsa ini ingin membangun generasi emas untuk Indonesia 2025, maka kearifan lokal adalah jawaban paling strategis. Kalau kearifan lokal sudah digali dan ditancapkan dalam keseharian siswa, maka akan lahir generasi yang selain mempunyai wawasan luas globalisasi, juga sangat kuat menjaga nilai luhur budaya sendiri.

Etos kearifan lokal inilah yang menginspirasi lahirnya UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk menciptakan generasi emas Indonesia sebagaimana dalam UU No 20 tahun 2003 ini, peserta didik hanya mengikuti pendidikan di sekolah sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Kalau hanya 30 persen yang dijalankan sekolah, bagaimana sekolah mampu membentuk karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Padahal, kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Ini dibuktikan dari hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000).

Masa Depan yang Damai

Kearifan lokal harus menjadi basis lembaga pendidikan dalam menjawab masa depan yang damai. Bagi Retno Susanti (2011) model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah.

Kearifan lokal milik kita sangat banyak dan beraneka ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa, berbicara dalam aneka bahasa daerah, serta menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Kehadiran pendatang dari luar seperti etnis Tionghoa, Arab dan India semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal.

Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Dari sinilah, kearifan lokal menjadi pijakan utama membangun peradaban dunia yang damai. Peradaban yang selama ini dipenuhi kepongahan dan kesombangan adalah wujud peradaban yang lahir dari ambisi, kekuasaan, dan keculasan. Semua bermuara kepada kepentingan sesaat yang mengabaikan nilai kearifan.

Tragedi terorisme adalah memori untuk mengembalikan masa depan yang penuh kedamaian. Bukanlah para Nabi diutus untuk menebarkan kasih sayang kepada semesta alam? Inilah yang mestinya menjadi pijakan, bahwa generasi masa depan yang lahir dari sekolah adalah generasi yang siap menebarkan kasih sayang kepada semesta alam.

Kampus adalah tempat berseminya generasi masa depan. Nilai-nilai kearifan harus tertanam kuat, sehingga generasi masa depan siap menjadi tonggak lahirnya peradaban yang damai dan sejahtera.

Siti Muyassarotul Hafidzoh

Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Litbang PW Fatayat NU DIY dan mengajar di MTs Al-Quran, Pesantren Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

15 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

15 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

15 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

15 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 hari ago