Narasi

Kearifan Lokal Kuat, Ideologi Transnasional Tamat!

Di era globalisasi informasi sekarang, segala pemikiran, ide, gagasan, dan sebagainya, bisa tersebar dengan cepat dari satu wilayah ke wilayah lain atau dari negara ke negara lain. Melalui perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi, misalnya, ideologi transnasional yang berbahaya, seperti paham keagamaan radikal, bisa masuk dengan mudah dan memengaruhi suatu masyarakat. Masyarakat yang mulanya hidup rukun dan damai dalam perbedaan, bisa tiba-tiba menjadi mudah terprovokasi dan saling menyerang satu sama lain.

Di tengah kondisi tersebut, ketahanan lokal masyarakat menjadi pertaruhan; apakah telah dipegang kuat sehingga bisa melindungi dari pengaruh ideologi transnasional yang negatif, atau justru dilupakan sehingga larut dalam arus paham-paham baru yang berbahaya tersebut. Jika masyarakat mampu menjaga ketahanan lokalnya, maka tak mudah terpengaruh paham-paham baru yang dibawa arus ideologi transnasional yang berbahaya, sehingga kehidupan yang damai tetap terjaga.

Ketahanan tersebut biasanya bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Ahimsa Putra dalam Nur Berlian VA & Mursalim (2015), menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah perangkat pengetahuan pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya, untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan dan atau kesulitan yang dihadapi. Ada kearifan, kebijaksanaan, dan nilai-nilai berharga di dalamnya yang, di samping menjadi ciri khas suatu masyarakat, juga menjadi benteng yang melindungi mereka dari pelbagai hal negatif yang datang dari luar.

Kearifan lokal banyak berisi nilai-nilai yang positif yang penting untuk diamalkan agar masyarakat memiliki daya tolak terhadap pelbagai pengaruh negatif yang dibawa arus ideologi transnasional. Tentang hal ini, banyak contoh nilai-nilai kearifan lokal dari pelbagai daerah di Nusantara. Pada umumnya, kearifan lokal kaya akan nilai-nilai moral, toleransi, dan penghargaan terhadap sesama manusia.

Tepo salira dan nguwongke wong

Di kalangan masyarakat Jawa, misalnya, kita mengenal ungkapan tepa salira dan nguwongke wong. Masyarakat Jawa meyakini bahwa keduanya merupakan ungkapan yang mengandung nasihat baik. Tepa salira dapat dimaknai sebagai ungkapan yang mengajarkan kita untuk selalu mengukur segala tindakan dengan mengandaikan diri sendiri sebagai patokannya. Sedangkan nguwongke wong bermakna setiap manusia pada dasarnya harus saling memanusiakan sesamanya.

Dari pengertian tersebut, terlihat bagaimana kearifan lokal akan menjadi penangkal yang ampuh dari pengaruh negatif ideologi transnasional seperti pemikiran-pemikiran radikal dalam beragama yang sering mengajarkan pemaksaan kehendak, bahkan kekerasan dan teror terhadap orang lain yang berbeda. Tepa salira dan nguwongke wong memberi kita pedoman tentang bagaimana bersikap terhadap orang lain yang berbeda pemikiran dan pemahaman, dengan menjunjung tinggi penghargaan terhadap sesama manusia.

Menurut Fachrizal Helmi (2017), kedua ungkapan tersebut dekat sekali konsep toleransi. Menurutnya, yang menjadi poin utama dari prinsip tepa salira dan nguwongke wong adalah penghargaan terhadap orang lain. Ia menggambarkankan, kedua ungkapan tersebut mengajarkan kita agar tak memukul seseorang bila kita tidak ingin dipukul oleh seseorang—dengan kata lain kita harus memanusiakan orang lain sebagaimana kita memanusiakan diri kita. Prinsip ini relevan untuk selalu dikedepankan di tengah perkembangan ideologi transnasional seperti paham radikalisme dalam beragama yang seringkali melakukan kekerasan terhadap kelompok atau umat lain yang berbeda.

Menghidupkan

Persoalannya, kini kearifan lokal mulai tergerus, bahkan ditinggalkan. Gejala-gejala mengikisnya tradisi dan kearifan lokal karena gempuran ideologi transnasional sebenarnya sudah terlihat. Di antaranya, maraknya sikap beragama yang gampang menghakimi, menuduh bid’ah, sesat, dan bahkan kafir terhadap kelompok agama yang menghargai tradisi dan kearifan peninggalan leluhur. Padahal, ajaran agama yang diinternalisasikan ke dalam tradisi dan kearifan lokal merupakan bentuk strategi dakwah yang penuh kebijaksanaan yang dahulu banyak dilakukan ulama dan wali.

Namun, kini dakwah agama cenderung mengabaikan pelbagai pengetahuan dan tradisi lokal yang sudah mengakar di masyarakat. Ahmad Suaedy (2015) menjelaskan, dakwah dan misi agama kini cenderung memberi peluang besar bagi pengetahuan yang berasal dari luar, sembari mengabaikan dan bahkan menutup–untuk tak dikatakan menindas, pengetahuan lokal masyarakat dan tradisi. Menurutnya, masuknya pandangan dan tafsir-tafsir baru atau pengetahuan dari luar sesungguhnya sudah sejak lama terjadi. Namun, di masa lalu setiap pandangan dan tafsir baru harus terlebih dahulu dipergulatkan dan didialogkan dengan tradisi masyarakat yang ada untuk terjadinya akulturasi atau revitalisasi.

Sedangkan, lanjut Suaedy, saat ini orang bisa memaksakan pandangan dan tafsir-tafsir baru tersebut di tengah masyarakat dengan pelbagai alat berbasis teknologi informasi modern, tanpa menghiraukan reaksi dan kerugian masyarakat. Dari sana, rentan terjadi perselisihan, sebab bangunan pengetahuan, pengalaman, tradisi, dan segala bentuk kearifan lokal yang sudah lama hidup dan mengakar di masyarakat tiba-tiba dihadapkan pada pelarangan, tuduhan, berbasis tafsir atau pandangan baru yang kaku. Lebih berbahaya lagi ketika masyarakat benar-benar terpengaruh dan memaksakan pemahamannya pada orang di sekitarnya, sehingga tak jarang memantik pertikaian dan konflik sosial.

Melihat paparan di atas, maka pengetahuan dan segala bentuk kearifan lokal menjadi penting untuk selalu dirawat dan dikuatkan. Masyarakat selalu memiliki kebijaksanaaan dan kearifan dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam menjalin hubungan dengan sesama. Ini perlu dikuatkan demi menciptakan kehidupan bersama yang tetap damai dan harmonis. Jangan sampai, kearifan lokal yang mengajarkan kebaikan tersebut tergerus atau bahkan terhapus oleh paham-paham transnasional yang mengajarkan sikap-sikap intoleran dan rentan menciptakan permusuhan, pertikaian, dan kekerasan.

This post was last modified on 13 Maret 2018 2:21 PM

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

11 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

11 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

11 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago