Narasi

Kebebasan Beragama sebagai Dasar untuk Meretas Formalisasi/Naturalisasi Agama

Banyak orang bertanya kepada saya, sebagai orang Kristen, apakah Anda mendukung penyerangan Israel ke Palestina? Saya balas bertanya, maksud Anda bagaimana?

Teman saya menjawab, ya karena Kristen itu Israel. Karena bingung, saya lanjut bertanya dan meminta penjelasan teman saya. Saya pun memahami maksudnya. Ia dan sesungguhnya banyak mengira bahwa orang Kristen itu pasti mendukung Israel karena banyak cerita tentang Israel dalam kitab suci orang Kristen. saya menjelaskan kepada teman saya bahwa Israel di masa kitab suci dan sekarang berbeda. Tidak ada hubungannya. Kristen lebih luas dari sekedar Israel.

Saya kemudian memahami banyak orang mengurung ‘agama’ dalam ‘simbol-simbol.’ Cerita seperti saya banyak dialami umat beragama dimana-mana. Penggunaan simbol untuk media formalisasi agama seolah sudah menjadi paham umum kebanyakan orang.

Teman-teman saya beragama Buddhis selalu dituduh sebagai penyembah patung. Mereka kemudian heran karena banyak orang salah sangka pada pengikut Buddha. Patung bukanlah Tuhan atau dewa yang disembah. Patung hanyalah media dan simbol semata.

Ajaran Buddha lebih luas dari sekedar patung. Pandangan yang keliru pada penganut Buddha adalah tanda bahwa banyak orang melihat simbol sebagai tujuan dan hakikat beragama. Menjaga dan melindungi simbol agama adalah praktik religius. Praktik ini tentu saja tidak sepenuhnya salah tetapi juga perlu dikritisi sebab orang akan jatuh pada klaim naturalisasi agama (Frans Wijsen, 2012).

Naturalisasi beragama adalah pandangan yang dipakai untuk mengklaim bahwa agama adalah sebatas urusan simbol. Praktik beragama dikurung dalam bentuk simbol. Semisal memakai Israel dan Kristen adalah satu unsur. Buddha adalah penyembah patung, hanya komunitas Islam yang boleh memakai jilbab, dan seterusnya. Naturalisasi beragama menyempitkan agama sebagai simbol. Padalah dalam praktiknya cara orang memahami agama sangat berbeda.

Sama dengan naturalisasi agama, formalisasi agama yang banyak orang lakukan menyempitkan simbol sebagai dasar beragama. Tentu formalisasi dan naturalisasi agama adalah pandangan keliru . Dalam praktiknya, kehidupan umat beragama sangat beraneka ragam dan kontekstual. Hal tersebut yang membuat kehidupan umat beragama sangat unik dan berwarna. Umat Islam di Indonesia memiliki cara hidup yang khas dan berbeda dengan komunitas Islam di Arab. Komunitas Buddhis di Indonesia jelas berbeda dengan Myanmar dan India. Oleh karena itu klaim naturalisasi beragama harus ditinggalkan karena berpotensi melahirkan ekstremisme dan radikalisme.

Sebagai jalan keluar atas pandangan formalisasi dan naturalisasi agama yang masih dipegang kebanyakan orang, saya menawarkan pandangan kebebasan beragama sebagai alternatif bagi formalisasi agama untuk meretas cara pandang dan sikap konservatisme terhadap agama bagi perdamaian antar kelompok masyarakat dalam relasi keseharian.

 

Kebebasan Beragama sebagai Alternatif

Formalisasi agama tidak hanya menjadi kasus yang terjadi di tanah air melainkan juga muncul sebagai isu internasional. Baru-baru ini, pemerintah Tajikistan mengeluarkan undang-undang yang melarang jilbab, yang terbaru dari serangkaian 35 tindakan terkait agama, dalam langkah yang digambarkan pemerintah sebagai “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme”. Undang-undang tersebut, disetujui oleh majelis tinggi parlemen Majlisi Milli pada 20 Juni 2024.

Apa yang dilakukan pemerintah Tajikistan sebetulnya juga adalah formalisasi beragama. Pemerintah tersebut menjadikan ‘budaya’ sebagai laku hidup orang beragama. Hijab sebagai aspek penting dari Islam diganti dengan budaya nasional. Tentu praktik ini tidak salah tetapi juga tidak seratus persen benar. Banyak studi menunjukkan hijab adalah unsur, bila tidak mau dikatakan simbol, bagi umat Islam. Pada saat yang salam hijab adalah penunjang religiositas, namun keislaman lebih luas dari hijab itu sendiri (Quraish Shihab, 2014). Oleh karena itu, pelarangan hijab adalah tindakan untuk membatasi umat Islam untuk bertakwa sesuai ajaran agamanya dan menjadikan budaya sebagai bentuk formal komunitas Islam di Tajikistan.

Pelarangan pemakaian hijab, dan aturan lainnya di Tajikistan seperti pelarangan perayaan tahun baru, hallowen atau holi, olahraga kekerasan, pembatasan pemakaian Masjid, adalah bentuk formalisasi praktik agama. Negara Tajikistan memakai aturan untuk ‘mengendalikan perilaku umat beragama.’ Jelas tindakan ini menentang ajaran agama dan hak asasi manusia.

Dalam studi agama dewasa ini, bentuk penghargaan pada ajaran dan martabat umat beragama adalah pemberian ruang kebebasan dari negara sekaligus penanda sikap hormat negara pada keberagaman identitas masyarakatnya (Bagir, 2019). Membatasi umat beragama melalui serangkaian aturan yang diskriminatif menghalangi komunitas beragama untuk tampil di ruang publik secara paripurna.

Dengan kata lain, pelarangan pemakaian hijab dan bentuk aturan diskriminatif lainnya sesungguhnya membatasi umat Islam di Tajikistan untuk menjadi religius sesuai ajaran dan jalan agamanya. Oleh karena itu, kebebasan beragama semestinya menjadi langkah yang diambil pemerintah Tajikistan alih-alih membakukan ‘budaya nasional’ sebagai kebijakan publik.

Kritik saya pada Tajikistan, sebetulnya dapat menjadi pilihan bersikap dalam relasi beragama kita juga di Indonesia. Di negara ini, banyak orang memakai ‘stigma’ untuk mengurung identitas umat beragama sebatas simbol. Tuduhan bahwa orang Kristen dan Israel satu dan klaim Islam Arab sesungguhnya mengarang pada formalisasi agama. Pengalaman saya dituduh sebagai pendukung Israel, karena identitas Kristen, menunjukkan betapa kuatnya pandangan dangkal orang-orang Indonesia pada identitas agama seseorang.

Oleh karena itu, kebebasan beragama menjadi isu dan konsep yang perlu terus kita gaungkan untuk meretas formalisasi/naturalisasi agama dalam relasi umat beragama kita sehari-hari. Juga, kebebasan beragama penting kita jadikan sebagai cara pandang dalam memahami fenomena di Tajikistan sekarang ini. Juga kebebasan beragama perlu menjadi pesan kita pada komunitas yang terjaminalkan karena politik negara seperti yang dialami oleh saudara-saudari kita di Tajikistan dan tempat-tempat lainnya.

Jear N. D. K. Nenohai

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago