Adalah sebuah fakta, bahwa orang-orang intoleran itu sejatinya hanya segelintir orang, tetapi mereka terorganisir. Sedikit, tetapi berisik. Sebaliknya, pihak yang mendambakan perdamaian berada dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak bisa berjamaah. Mayoritas, tetapi diam.
Gemerlap kamajuan informasi dan teknologi ditambah penetrasi dari media sosial membuat manusia bisa mencukupi dirinya sendiri. Apa-apa yang diinginkannya tinggal klik, sudah tersedia di depan mata.
Efek paling nyata adalah pudarnya budaya gotong royong di tengah-tengah masyarakat. Budaya gotong royong adalah sendi dari kehidupan dalam mewujudkan kenyamanan dan kedamaian.
Di lain pihak, tumbuhnya keegoisan di tengah mayarakat ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membuat terror dan menciptakan dis-harmoni.
Keegoisan ini bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa tugas memberantas dan mencegah terorisme hanya tugas BNPT saja. Atau ada sikap yang masih bersimpati terhadap mereka yang didakwa sebagai terorisme.
Sikap Intoleransi
Para pakar mengatakan, bahwa akar (baca: benih) dari radikalisme yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan aksi terorisme adalah sikap intoleransi. Sikap intoleransi secara sederhana adalah sikap yang tidak mau menghargai pendapat, pemahaman, keyakinan orang lain. Entitas apapun yang berasal dari liyan tidak dihargai dan sekuat tenaga ditolak.
Baca Juga : https://jalandamai.net/menghadirkan-silaturahmi-membangun-toleransi.html
Sikap seperti ini menjadikan seseorang jadi eksklusif, menutup diri, dan menegasikan yang lain. Intoleransi pada akhirnya menjadikan seseorang tidak mempercayai orang lain, dan kebenaran sejati hanya pada aku atau kelompok-ku.
Mengapa seseorang bisa bersikap intoleran? Jawabannya tentu banyak. Akan tetapi, dari sekian faktor itu, agama menjadi salah satu penyebab.
Kita tidak bisa mengatakan, bahwa hanya agama sematalah yang menyebabkan seseorang terkena virus radikalisme. Agama hanya salah satu dari sekian banyak faktor.
Noorhadi Hasan, guru besar dalam politik Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam satu sesi kuliah menyatakan: “Kalau kalian masih mengatakan agama menjadi faktor utama terjadinya radikalisme dan terorisme di forum-forum internasional, kalian akan ditertawakan dunia.”
Sebab, menurutnya, faktor radikalisme itu sangat kompleks, tidak bisa disimplikasi pada satu variabel tertentu saja.
Untuk itu mengikis sikap intoleransi perlu pendekatan multi, inter, dan trans-disipliner; perlu strategi komprehensif; butuh partisipasi semua lapisan; dan pentingnya masuk dari semua sisi. Kerja-kerja kolektif, negara, ormas, partai politik, akademisi, masyarakat harus berperan aktif.
Menuju Toleransi
Semua pendekatan, strategi, partisipasi, dan keaktifan itu ditujukan untuk menumbuhkan sikap toleransi di tengah masyarakat. Selama ini, Badan Penanggulangan Terorisme Negara (BNPT), menggunakan du strategi dalam pencegahan radikalisme.
Pertama, kontra-radikalisasi, yakni upaya penanaman nilai-nilai keindonesiaan dan nilai-nilai nir-kekerasan. Upaya ini merupakan strategi untuk mencegah masyarakat melalui agama, budaya, pendidikan, sekolah, tokoh agama, tokoh adat, pemuda, dan stockholder dalam payung kebangsaan.
Kedua, deradikalisasi, yakni upaya perlawanan kepada para simpatisan, pendukung, dan pelaku radikalisme-terorisme. Strategi ini dilakukan, agar mereka meninggalkan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan misi mereka yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan dan kebangsaan.
Jika cara yang pertama bersifat pencegahan, maka cara yang kedua adalah pengobatan. Kedua cara ini tentu sangat baik diterapkan dalam memutus akar radikalisme itu, yakni sikap intoleransi.
Cara-cara pencegahan maksudnya, nilai-nilai keindonesiaan yang toleran, welas asih, dan guyub, menjadi modal yang sangat pas dalam menangkal sikap intoleransi.
Selama ini, strategi pengobatan lebih banyak dilakukan dari pada pencegahan. Padahal seharusnya pencegahan sebagai tafsir dari Penanggulangan harus lebih diutamakan.
Sikap pencegahan baik itu berbasis agama, budaya lokal, pendidikan, pengajian, komunitas tertentu merupakan cara yang efektif dalam meminimalisir sikap intoleran.
Dengan demikian, melawan radikalisme secara radikal maksudnya adalah mencegah sikap intoleransi (sebagai akar dari radikalisme) dengan cara-cara mengakar. Cara-cara mengakar itu lebih mengutamakan pencegahan yang berbasis pada lintas disiplin, pendekatan, strategi, partisipasi, dan keaktifan dari semua kalangan.
Perlunya Kolektifitas
Dalam kondisi seperti ini, menangkal intoleransi tidak bisa dilakukan kalau tidak dilakukan bersama-sama. Menangkal virus intoleransi membutuhkan kerja kolektif dengan jiwa berjamaah. Gerakan gotong-royong bisa dilakukan dengan cara berikut:
Pertama, memaksimalkan peran tokoh adat dan tokoh agama. Pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama di tingkat lokal bisa mencegah – setidaknya memiminalisir – virus dan akses-akses intoleransi sebagai benih radikalisme.
Selama ini, kerja-kerja pencegahan lebih banyak bersifat sentralistik, dengan tak-tik dan prosedur yang ketat. Di tingkat lokal, peran tokoh adat dan tokoh agama ternyata sangat fungsional.
Peran strategis tokoh adat dan agama ini bisa dilihat dari semboyan adat bersandi syara, di mana keduanya adalah ibarat dua sisi koin mata uang, tak bisa dipisahkan.
Masalah-masalah yang dihadapai masyarakat –kalau tidak mangatakan seluruhnya –terlebih dahulu diselesaikan dengan kerja-kerja kekeluargaan yang bersifat lokal nan arif, sebelum masuk ke institusi formal. Peran strategis ini, bisa dimaksimalkan untuk mengampanyekan nilai-nilai kedamaian, harmoni dan toleransi.
Kedua, memaksimlkan fungsi lembaga-lembaga masyarakat, menghidupkan ritual yang bersifat lokal merupakan hal yang sangat ampuh dalam melawan radikalisme.
Lembaga masyarakat baik berbentuk artefak seperti rumah adat, ruang-ruang kumpul, maupun bersifat non-fisik, seperti ikatan kesukuan, marga, dan sistem kekeluargaan memiliki fungsi dalam menangkal radikalisme.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…