Narasi

Kemutlakan Politik, Kenisbian Agama

Frederick Wilhelm Nietzsche barangkali adalah salah satu pemikir yang pertama kali menyingkapkan bahwa politik adalah sebentuk daya hidup. Tentu, politik di sini adalah berkaitan dengan bagaimana manusia memberdayakan dirinya.

Dalam konsep der Wille zur Macht, pada dasarnya Nietzsche meletakkan politik sebagai sebentuk azas kehidupan. Maka, dalam perspektif Nietzschean ini, politik dengan segala permainannya bersifat mutlak.

Michel Foucault kemudian membawa politik dalam perspektif Nietzschean tersebut dengan lebih rinci. Ia laksana udara yang merupakan syarat mutlak makhluk untuk hidup, bahkan dalam lingkaran yang dianggap sakral sekalipun: agama.

Politik, dalam terang Foucault, bahkan adalah sebuah jejaring yang mampu mengatakan salah ataupun benar, kafir ataupun Islam, gila ataupun waras. Politik pula yang menjadikan orang adalah seseorang, yang dikenal sebagai proses subyektifikasi.

Dengan demikian, dalam terang Nietzsche dan Foucault tersebut, tanpa membawa-bawa agama dalam ranah politik sudah dengan sendirinya agama itu bersifat politis. Taruhlah permasalahan khilafah yang politis yang otomatis untuk menandinginya tak bisa mengelak dari politik pula, yang kemudian melahirkan konsep-konsep tentang hubungan agama dengan negara, Islam dengan Pancasila.

Karena tak bisa mengelak dari politik, maka pada akhirnya agama tak perlu lagi seolah-olah menutup diri dari politik. Toh, keberadaan agama sampai detik ini ditentukan pula oleh politik, entah yang kelam ataupun gemilang.

Orang tak mungkin melawan khilafah yang politis tanpa juga menggunakan politik (Pancasila dan konstitusi). Ketika sudah gamblang, tinggal bagaimana sekarang agama menggunakan politik itu. Atau dalam kata-kata Foucault (The Passion of Michel Foucault, 1993), “Freedom can be found…, but always in a context. Powers put into play a dynamic of constant struggle. There is no escaping it. But there is freedom in knowing the game is yours to play.”

Ketika singkapan-singkapan di atas ditarik pada ranah politik praktis, politik agamis atau agama politis yang menentang khilafaisme yang jelas-jelas politis misalnya, secara otomatis akan melahirkan langkah-langkah, strategi atau bahkan kebijakan-kebijakan politis yang merupakan tandingan atas khilafaisme tersebut. Jadi, jangan pernah berpikir bahwa politik pada tataran ideal-moral sama sekali tak berkaitan dengan politik praktis. Nasionalisme-religius ataupun khilafaisme seumpamanya, meskipun seolah-olah dilahirkan bukan dari lingkaran politik praktis (tanpa politisi dan partai), secara otomatis akan memengaruhi langkah-langkah, strategi ataupun kebijakan-kebijakan pada tataran politik praktis.

This post was last modified on 24 Februari 2023 1:28 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

5 jam ago

Negara bukan Hanya Milik Satu Agama; Menegakkan Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua

Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…

5 jam ago

Patriotisme Inklusif: Saat Iman yang Kuat Melahirkan Rasa Aman bagi Sesama

Diskursus publik kita belakangan ini diuji oleh sebuah polemik yang sebetulnya tidak perlu diperdebatkan. Rencana…

5 jam ago

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

1 hari ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

1 hari ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

1 hari ago