Dalam banyak kejadian, anak muda merupakan sasaran empuk kelompok kekerasan, bahkan sudah banyak yang menjadi pelaku berbagai aksi terorisme. Pertanyaannya kenapa yang muda rentan menjadi radikal? Banyak perdebatan seputar faktor yang menyebabkan generasi muda jatuh dalam godaan dan buaian kelompok kekerasan.
Beberapa riset empiris terhadap beberapa kelompok radikal terorisme menyebutkan faktor sosial-ekonomi menjadi penyebab utama anak muda bergabung dalam jaringan kelompok kekerasan. Faktor sosial-ekonomi itu berupa anak muda yang tidak berpendidikan, pengangguran, miskin dan buta huruf. Setidaknya inilah salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Prof. Rommel Banlaoi terhadap anak muda anggota Abu Sayyaf Gruop (ASG), Filipina. Temuan ini diperkuat oleh Sharon Curcio yang melakukan penelitian terhadap 600 pemuda (18-25 tahun) tahanan Guantanamo yang rata-rata pengangguran dan menjadikan terorisme sebagai alternatif pekerjaan.
Namun, semata hanya motivasi profan tidak bisa mendorong mereka secara utuh untuk berani mati. Motivasi sakral yang berlandaskan “ideologi kebencian” menjadi salah satu faktor kunci yang menyebabkan seseorang pemuda berani mati untuk melakukan kekerasan atas nama idealisme yang mereka yakini. Beberapa kasus terorisme di Indonesia ditenggerai oleh faktor ideologis yang lama mengakar untuk menegakkan perjuangan negara yang mereka idamkan. Faktor ideologis menjadi sangat kuat dalam menginspirasi anak muda untuk bergabung dan beraksi bersama kelompok radikal terorisme.
Apapun motivasinya, entah motivasi sakral atau profan, pemuda menjadi rentan terhadap rayuan kelompok radikal karena secara psiko-sosial mereka sedang butuh pencarian identitas, prestise atau kebanggaan diri, perasaan ingin dihargai dan diterima, perasaan bertanggungjawab atas perubahan dan rasa frustasi yang mengitari persoalan status sosial dan ekonominya. Dalam kondisi psiko-sosial seperti itu, kelompok teroris cerdas memberikan dan menyediakan tempat dan cara pandang alternatif agar pemuda bisa keluar dari frsutasi identitas dan sosial tersebut, yakni melalui jalan menjadi martir untuk perubahan yang mereka idamkan.
Menarik apa yang ditegaskan oleh Prof. Kumar Ramakrishna terkait tiga faktor anak muda rentan menjadi radikal. Pertama, kelompok teroris mengincar pemuda yang selalu tidak puas dengan keadaan. Mereka yang frustasi dan marah dengan kondisi sekitar yang dianggap tidak benar dan harus dirubah. Kedua, kelompok teroris menyediakan alat legitimasi doktrinal yang dapat meyakinkan mereka atas jalan dan solusi perubahan. Ketiga, kelompok teroris menyediakan tempat dan alat bagi para pemuda untuk merealisasikan idealismenya.
Tidak Sekedar Waspada, Butuh Penguatan Kontra Narasi
Membentengi generasi muda dari keterpengaruhan kelompok radikal terorisme sebenarnya bukan sekedar menumbuhkan kewaspadaan, tetapi meningkatkan kemampuan dan kecerdasan dalam menangkal narasi. Dalam program meningkatkan imunitas generasi muda sejatinya sejalan dengan program meningkatkan kecerdasan mereka dalam melakukan kontra narasi propaganda radikal terorisme. Para pemuda harus dididik untuk cerdas dalam menangkal propaganda dan narasi kekerasan.
Sungguh kekuatan kelompok radikal terorisme dalam merekrut generasi muda adalah kekuatan propaganda dan narasi ajakan. Kondisi anak muda yang labil, emosional, tidak puas, frustasi dan merasa dipinggirkan akan mudah termakan propaganda dan narasi kelompok radikal yang sangat memukau menawarkan kenyamanan dan keselamatan semu. Pengakuan beberapa mantan teroris di Indonesia terjerat dalam jaringan terorisme karena persoalan propaganda dan narasi ideologis yang meyakinkan.
Karena itulah, tidak sekedar meningkatkan kewaspadaan, tetapi butuh gerakan untuk meningkatkan skill anak muda dalam menangkal propaganda dan narasi kelompok radikal. Anak muda harus dilatih untuk bisa menangkal berbagai propaganda dan narasi kelompok kekerasan. Generasi muda harus dibekali pengetahuan kontra narasi agar mudah memilah, memilih dan menangkal berbagai narasi yang menggoda yang disebar oleh kelompok radikal.
Akhrinya, jika ingin melindungi generasi muda dari jaringan terorisme, perkuat anak muda kita untuk cerdas dalam menangkal narasi dan propaganda terorisme. Kunci penanggulangan terorisme di kalangan generasi muda adalah mereka harus diajak untuk tidak hanya membentengi diri, tetapi berpartisipasi untuk menangkal propaganda dan narasi. Itulah, program yang dijalankan untuk melindungi generasi emas bangsa ini.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…