Dalam sebuah dialog pencegahan radikalisme dan terorisme yang digelar oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Kota Palembang beberapa waktu yang lalu, terjadi sebuah dialog seru yang berlangsung antar sesama peserta. Dalam sebuah sesi acara, seorang peserta yang mengaku berasal dari salah satu kelompok yang sangat getol memperjuangkan tegaknya khilafah di Indonesia itu menyatakan bahwa ia dan kelompoknya sejak awal menolak ISIS dan tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan atasnama Islam.
“Islam itu disebarkan dengan lemah lembut, Islam bukan didakwahkan dengan kekerasan, tapi kami tidak sepakat jika khilafah dipandang negatif,” demikian katanya berapi-api.
Gaya bicaranya yang tampak agak emosional tersebut tentu berhasil menarik perhatian hampir seluruh peserta yang memadati ruangan kegiatan, beberapa mungkin bahkan telah terhipnotis dengan pendapat yang baru saja ia sampaikan. Ia menegaskan bahwa kekerasan atasnama agama sangat berbeda dengan khilafah.
Ia –dan kelompoknya—menolak segala macam kekerasan, namun ia juga mendukung pendirian khilafah, yang berarti perobohan terhadap demokrasi pancasila yang selama ini menjadi tulang punggung bangsa kita.
Padahal jika dipikir lebih dalam lagi, apa yang salah dengan demokrasi pancasila kita hingga ia harus diganti dengan khilafah? Demokrasi pancasila telah secara tegas menolak segala jenis kekerasan, baik yang mengatasnamakan agama maupun alasan lain. Melalui instrumen tersebut negara bukan saja berusaha menghilangkan kekerasan, tetapi juga mewujukan keadilan dan kemakmuran untuk bangsa ini.
Karenanya gagasan untuk menolak kekerasan yang ternyata malah dibarengi dengan dukungan terhadap penghancuran instrumen penjaga perdamaian (baca; pancasila demokrasi) tentu sangat membingungkan.
Untungnya, di saat peserta workshop tampak mulai kebingungan dengan gagasan tumpang tindih ala khilafah, muncul seorang perempuan dari barisan peserta yang dengan bahasa sangat santai menyampaikan pendapatnya. Perempuan yang ternyata seorang guru SMU ini mengatakan,
“Pancasila adalah salah satu kunci menangkal pengaruh paham radikal. Pancasila itu hebat loh! Ia dapat menyatukan seluruh warga negara dan mampu memberikan pelajaran saling bertoleransi.”
Kontan pendapat perempuan tersebut mandapat sambutan luar biasa dari peserta workshop, mereka bertepuk tangan menandakan bahwa mereka sudah tidak lagi kebingungan dengan ide-ide tambal sulam bernama khilafah.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa konsep khilafah buruk, namun lebih dari itu, konsep khilafah sama sekali tidak dibutuhkan terutama untuk konteks Indonesia. Simple saja, saat ini kita sudah memiliki konsepsi yang lebih baik daripada khilafah, yakni demokrasi pancasila.
Namun perlu untuk tetap diingat, bahwa sebagai instrumen negara, demokrasi pancasila tidak akan bermakna apa-apa tanpa keterlibatan nyata dari segenap elemen bangsa, yakni kita! Jikapun masih ada banyak kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita, hal itu tidak langsung bermakna kegagalan dari demokrasi pancasila. Karena bisa jadi, hal itu adalah bentuk kegagalan kita dalam mengaplikasikan nilai-nilai perdamaian dan pesaudaraan yang ada didalamnya.
Menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama namun kekeh mendukung khilafah sama halnya dengan menolak kenaikan harga-harga barang namun tetap berbelanja gila-gilaan. Sejarah mencatat bahwa justru khilafah menyimpan seabrek catatan kekerasan yang melibatkan berbagai adegan pembantaian. Lihat saja proses alih kuasa yang terjadi pada khalifah Salim I, Sultan Bayezid II, Khalifah Sulaiman I, Khalifah Sulaiman II, hingga Sultan Muhammad Al-Fatih yang hampir kesemuanya menduduki posisi khalifah dengan tangan berlumuran darah.
Kita tentu tidak ingin menjadi bangsa yang tidak bisa melihat “gajah di pelupuk mata namun malah sibuk menatap semut di seberang lautan,” hanya karena masuknya ide serampangan yang sebentar-bentar mencomot nama Tuhan. Demokrasi pancasila kita telah terbukti mampu menyatukan segala perbedaan; kita memperlakukan perbedaan sebagai berkah, bangsa kita maju dan semakin indah. Karenanya, kita sama sekali tidak butuh khilafah!
This post was last modified on 1 September 2015 11:32 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…