Narasi

Kita Bangsa Beragama dan Berbudaya

Beberapa waktu lalu, perhatian masyarakat, terutama di dunia maya, tertuju pada kontroversi puisi Sukmawati Soekarnoputri. Salah satu putri Proklamator tersebut membacakan sebuah puisi berjudul “Ibu Indonesia” yang kemudian memancing kontroversi di tengah publik. Banyak orang menganggap puisi tersebut menghina umat Islam karena merendahkan cadar dan suara azan, dengan membandingkannya dengan sari konde dan suara kidung. Namun, ada pula yang berpendapat puisi itu adalah bagian dari ekspresi kebebasan berpendapat seorang budayawanan untuk menyuarakan kecintaan pada budaya bangsa sekaligus kritik sosial atas pelbagai kasus pemaksaan atau kekerasan atas nama agama.

Jika dicermati, puisi tersebut memang seperti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Seperti membandingkan agama dan budaya sebagai dua hal yang dipertentangkan. Tak lama kemudian, Sukmawati pun akhirnya menyadari keteledorannya dan meminta maaf. Dari kasus tersebut, kita semakin menyadari pentingnya menjaga harmoni antara agama dan budaya, terlebih di bumi Nusantara di mana budaya dan tradisi begitu kuat tertanam di masyarakatnya. Jangan dua hal yang bisa bersinergi harmonis dan menjadi pondasi peradaban damai malah dipertentangkan, sehingga menciptakan pertikaian.

Agama berisi ajaran yang bersumber dari Tuhan, sedangkan budaya terbentuk dari hasil pikiran dan tindakan manusia dalam menjalani kehidupan. Keduanya bisa terjalin harmonis tanpa harus dipertentangkan. Seperti ditekankan dalam editorial Jalandamai (9/4), antara keduanya bisa saling bersinergi ketika agama memberi ruh religius pada kebudayaan dan budaya memberi ruang kontekstualisasi dari ajaran agama. Ajaran Islam, misalnya, menjadi lebih membumi dan mudah diterima suatu masyarakat ketika ruh atau nilai-nilai ajarannya mampu merasuk dalam pelbagai tradisi dan kebudayaan yang telah lama hidup di masyarakat tersebut. Sedangkan, kebudayaan yang ada tak lantas lenyap begitu saja, namun tetap dilestarikan, bahkan menjadi lebih bermakna karena adanya nafas ajaran Islam. Di titik inilah terlihat ada harmoni antara agama dan budaya.

Akulturasi

Kita bisa melihat harmoni tersebut dengan menelusuri sejarah masuknya Islam di Jawa. Sejarah tersebut menarasikan suatu proses akulturasi yang harmonis antara ajaran Islam dengan budaya lokal di masyarakat. Kita tahu, masyarakat Jawa dikenal memegang teguh tradisi atau budaya warisan leluhur. Dalam menyebarkan ajaran Islam, para pendakwah atau ulama zaman dahulu melihat hal tersebut dan melakukan strategi dakwah dengan merasukkan prinsip dan nilai-niai ajaran Islam dalam pelbagai budaya dan tradisi yang telah ada. Dengan jalan tersebut, masyarakat Jawa menerima dengan ramah ajaran-ajaran agama yang dikenalkan pada mereka.

Strategi dakwah Wali Songo menjadi contoh yang sangat relevan untuk menggambarkan bagaimana agama dan budaya bisa bersinergi secara harmonis dan damai. Salah satu contoh wali yang banyak menyebarkan ajaran Islam lewat strategi budaya adalah Sunan Kalijaga. Dengan cerdas dan kreatif, beliau memasukkan nilai-nilai Islam dalam pelbagai tradisi dan kesenian yang ada di masyarakat Jawa, seperti  wayang dan gamelan. Beliau mengembangkan wayang purwa, wayang kulit bercorak Islam. Lewat wayang, Sunan Kalijaga memikat perhatian masyarakat dan dari sana kemudian menyebarkan ajaran Islam.

Banyak ritual atau tradisi yang hidup hingga sekarang merupakan akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam. Salah satunya tradisi sekaten. Tradisi yang dijalankan setiap tahun di Yogyakarta tersebut dilaksanakan untuk memeringati Maulid Nabi Muhammad Saw. Faisal Ismail (2014) menjelaskan, secara ritual-kultural asal-usul perayaan Sekaten di Masjid Agung Demak dan Keraton Yogyakarta bisa dilusuri dari tradisi yang dirintis Sunan Kalijaga di masa Kerajaan Demak. Di buku Sekitar Wali Sanga karya Solichin Salam, jelas Faisal, dijelaskan suatu ketika ada pertemuan para Wali Sanga, kemudian Masjid Demak menyelenggarakan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Di kesempatan tersebut, Sunan Kalijaga menampilkan gamelan dengan ritme dan irama yang indah untuk menarik perhatian masyarakat sekitar agar mengunjungi perayaan maulid. Ketika masyarakat berkumpul, Sunan Kalijaga kemudian mulai berdakwah dan mengenalkan ajaran Islam. Masyarakat diajak membaca Syahadat sebagai tanda mereka telah memeluk agama Islam. Arif (2017) menjelaskan, Sunan Kalijaga kemudian menamai gamelannya tersebut dengan “Kyai Sekati” atau “Sekaten” dari asal kata “syahadatain” yaitu saat Sunan Kalijaga menuntun masyarakat mengucapkan Syahadat. Sejak saat itu, upacara tersebut dikenal dengan istilah “Sekaten” dan dijadikan tradisi kerajaan-kerajaan Islam, bahkan masih berjalan hingga sekarang.

Tak hanya dari kesenian dan upacara tradisi, jejak akulturasi juga terekam dalam arsitektur bangunan Masjid Demak. Masjid ini dibangun dengan gaya khas Majapahit. Jika kebanyakan kubah masjid melengkung, Masjid Demak tidak.  Bentuknya justru seperti adaptasi dari tempat peribadatan agama Hindu. Di samping itu, bentuk atap berupa tajug tumpang tiga berbentuk segi empat juga menjadikannya lebih mirip bangunan suci umat Hindu, atau pura yang terdiri atas tiga tajug. Penampilan atap masjid berupa tiga susun tajug ini juga dipercaya sebagai simbol Akidah Islamiyah, yang terdiri dari Iman, Islam, dan Ihsan.

(Repubika, 27/10/2016)

Melihat pelbagai contoh dan wujud akulturasi, baik antara Islam dan budaya Jawa maupun dengan budaya Hindu tersebut, kita semakin tersadar bahwa sejak dahulu, sinergi dan harmoni antara agama dan budaya sudah terbangun dengan indah dan damai di masyarakat. Melalui dakwah dengan jalan budaya, para wali membuktikan bahwa ajaran agama bisa disebarkan tanpa harus menghilangkan tradisi dan budaya di masyarakat. Keduanya bisa berjalan harmonis. Bahkan, budaya berupa kesenian bisa digunakan untuk menarik perhatian masyarakat dan kemudian untuk menyebarkan ajaran Islam.

Membenturkan antara budaya dengan agama merupakan hal yang tidak bijak. Sebab, hal tersebut bisa memancing keresahan di masyarakat. Kita perlu melestarikan budaya dan tradisi untuk menguatkan identitas dan jatidiri bangsa, namun bukan berarti kemudian harus mengesampingkan agama. Sebab, di samping berbudaya, Indonesia adalah negara yang beragama, sesuai sila pertama dalam dasar negara Pancasila. Agama dan budaya menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan bangsa ini. Keduanya bisa saling terintegrasi secara harmonis dan saing menyokong, bukan saling merendahkan dan menyingkirkan. Lagupula, sudah sejak lama kita hidup harmonis di antara keduanya. Wallahu a’lam

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

View Comments

Recent Posts

Refleksi Harkitnas; Redefinisi Kebangkitan Islam di Tengah Fenomena Banalitas Keagamaan

Salah satu fenomena menarik dalam lanskap keberagaman Indonesia pasca Reformasi adalah perubahan perilaku beragama di…

21 jam ago

Cobalah Kritis pada Diri, Ketika Agama Semata-mata Menjadi Ornamen Pribadi

"Satu ons praktik lebih berharga daripada berton-ton khotbah," demikian pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi. Kutipan…

23 jam ago

Perusakan Makam Kristen di Bantul, Normalisasi Kebencian yang Terlembaga?

Sebuah insiden yang diduga bakal menambah daftar panjang intoleransi terjadi lagi belum lama ini. Sebanyak…

23 jam ago

Hikayat Akhir Zaman; Bedah Narasi Eskatologis Kelompok Radikal Teroris: Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 3 Mei 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

1 hari ago

Benarkah Nasionalisme Modern Bertentangan dengan Ukhuwah Islamiyyah?

Salah satu debat klasik di kalangan umat Islam adalah tentang nasionalisme dan ukhuwah Islamiyyah. Sebagian…

2 hari ago

Menghindari Banalitas Beragama; Menuju Kebangkitan Nasional yang Bermakna

Kebangkitan nasional selalu dikenang sebagai momen kolektif ketika kesadaran sebagai bangsa Indonesia mulai menyatu dalam…

2 hari ago