Narasi

Konsisten Ber- Pancasila, Jembatan Emas Peradaban Masa Depan

Pancasila, Sebagai ideologi sekaligus ligatur (pemersatu)  dalam peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan  Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila telah menempati kedudukan yang sangat menentukan dalam perjalanan panjang Bangsa Ini. Namun kesadaran berpancasila tentu tidak cukup hanya dimiliki sebagian dari elemen bangsa, melainkan pancasila harus diamalkan secara kolektif. Oleh karenanya penanaman nilai pancasila-pun menjadi hal yang tidak dapat diabaikan apalagi ditinggalkan dalam membangun peradaban Bangsa Indonesia.

Sebagai  bentuk kesadaran dan konsistensi dalam ber-pancasila maka penanaman nilai Pancasila tidak cukup hanya pada elemen tertentu bangsa saja, melainkan harus ditanamkan dan dibangun secara kolektif  pada tiap-tiap elemen bangsa karena potensi radikalisme tidak pilah- pilih pada elemen tertentu  saja, melainkan seluruh elemen bangsa  berpotensi  radikal dan melemahkan konsistensi pengamalan Pancasila. Salah satu cara untuk membangun kesadaran tersebut adalah secara kolektif membangun kesepahaman antara peran penting agama, budaya, dan keragaman secara mesra dalam berpancasila.

Cita-Cita Peradaban

Dalam Pidatonya di PBB, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi keberlangsungan bangsa: “arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan using, maka bangsa itu dalam bahaya” (Soekarno: 1989)

Pentingnya konsepsi dan cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa. Menurut cendekiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner: “No nation can achieve greatness unless it believe in something, and unless that something has morals dimensions to sutain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi- dimensi moral guna menopang peradaban besar). Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, pancasila memiliki landasan ontologism, epistimologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian- pencapaian agung peradaban bangsa (Yudi Latif: 2011)

Konsisten Membangun Peradaban

Dalam sebuah petuahnya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyampaikan rasa “irinya terhadap tokoh yang selalu konsisten dalam membina ummat untuk membangun peradaban besar umat manusia: “Nabi Muhammad itu tidak dikenang karena mempengnya (semangatnya) beliau beribadah. Nabi Muhammad itu tidak dikagumi karena kealimannya. Beliau ada di hati setiap kaum muslimin karena akhlak dan sikap welas asihnya. Ini yang membuat saya “iri” dengan Kanjeng Nabi. (Gus Dur: 2016)

Mungkin itulah sebanya cita-cita Gus Dur,  yang diceritakan pada keluarga sebelum wafat, adalah  dimakamnya tertulis seorang pejuang kemanusiaan. Bukan  sebagai  Presiden, ulama besar, tetapi seorang yang memperjuangkan masyarakat banyak. Cita-cita yang sangat sederhana namun memiliki makna dan jangkauan yang sangat luas yang jarang dimiliki oleh kebanyakan orang. (Yenni Wahid: 2012)

Tentu cita-cita di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini Soekarno misalnya, sebagai Persiden pertama Indonesia, cita-cita besar yang selalu diperjuangkannya mati-matian adalah bagaimana lahirnya masyarakat adil dan makmur. cita-cita ini merupakan impian kebahagiaan yang telah lama berkobar dalam keyakinan bangsa Indonesia. Sebagaimana disampaikan dalam pidatonya 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari kelahiran pancasila, dihadapan anggota sidang BPUPKI Bung Karno menyampaikan bahwa dasar Indonesia merdeka adalah untuk menggapai cita-cita mulia bangsa Indonesia, masyarakat adil dan makmur. (Sri Wahyuni: 2017)

Salah satu penyataan Bung Karno yang menarik adalah “jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip siciale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapipun di atas lapangan ekonomi harus mengadakan persamaan, artinya bersama yang sebaik-baiknya” dengan bersama-sama mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap “tidak aka nada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Pernyataan Soekarno tersebut seyogianya tidak dipandang dari kecenderungan utopismenya, melainkan dari segi tekadnya yang kuat untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial di seberang jembatan emas kemerdekaan. (Yudi Latif: 2011)

Amrullah Rz

Aktivis pemuda perdamaian tinggal di Sumenep Madura.

Recent Posts

Kesiapsiagaan Merupakan Daya Tangkal dalam Pencegahan Terorisme

Ancaman terorisme yang terus berkembang bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional atau sekadar…

2 hari ago

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan…

2 hari ago

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

3 hari ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

3 hari ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

3 hari ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

4 hari ago