Andrea Sarti pernah berujar kepada Galileo Galilei, “Betapa malang negeri yang tak mempunyai pahlawan,” dalam lakon Bertold Brecht, ‘Leben des Galilei’. Galileo pun ternyata tak setuju dan berkata, “Tidak, Andrea, negeri yang malang ialah negeri yang memerlukan pahlawan.”
Tanggal 10 November selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sebagai bangsa yang besar, momentum ini sungguh penting agar senantiasa menghargai jasa pahlawan, mengenang pengorbanan yang diberikan, serta merefleksikan sikap patriotisme mereka dalam kehidupan kita. Pertanyaannya, siapakah sebenarnya pahlawan itu?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan merupakan orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Secara etimologis, kata pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta phala-wan, yang bermakna hasil atau buah. Dari pengertian tersebut, jelas pahlawan berarti seseorang yang memberikan pahala, buah dan hasil yang bisa nikmati untuk kepentingan orang banyak. Dalam konteks lebih luas, bisa dimaknai bahwa siapa pun yang telah memberikan kontribusi yang berpengaruh positif untuk kepentingan orang banyak baik kontribusi fisik maupun pemikiran. Hasil yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan umat manusia.
Sehingga, setiap warga negara yang telah memberikan bakti kepada masyarakat, bangsa dan negara dan umat manusia secara umum dapat disebut pahlawan. Pahlawan adalah mereka yang rela mengorbankan ego dan kepentingan pribadinya untuk mencapai tujuan mulia untuk kepentingan umum yang mulia. Kerelaan berkorban demi tujuan mulia tanpa pamrih adalah poin penting untuk disebut sebagai pahlawan.
Dalam konteks itu, sebenarnya milenial sebagai generasi produktif yang mendominasi proporsi masyarakat Indonesia seharusnya bisa menjadi pahlawan NKRI. Tentunya, mereka lebih paham dengan medan perjuangan yang harus dihadapi sekarang. Maka, menempatkan kalangan milenial untuk memberikan kontribusi positif menjadi sebuah keniscayaan.
Perlu dipahami, kondisi NKRI sekarang masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Dilihat dari itu, sungguh kita masih menjadi negeri yang malang seperti yang diujarkan Galileo. Artinya, NKRI butuh uluran tangan generasi-generasi bangsa untuk mengentaskan NKRI dari lumpur-lumpur yang menghambat kemajuan dan keadaban. Sehingga, kita bisa menjadi negara yang berdikari secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Pertanyaannya, upaya apa yang harus dilakukan milenial agar bisa memberikan kontribusi positif dalam pembangunan kebangsaan? Pertama, milenial harus memiliki wawasan kebangsaan yang mumpuni sebagai modal. Itu penting. Bagaimana mungkin mereka akan berkontribusi positif terhadap bangsa mereka sendiri kalau tidak mengenal dan mencintai bangsanya sendiri. Karena, untuk berjuang demi negara, perlu sikap nasionalisme yang telah tertanam kuat di dalam hati. Tanpa nasionalisme yang kuat, semangat berkontribusi untuk negara akan mudah runtuh di tengah gelombang hoaks, provokasi, bullying dan adu domba yang mewarnai jagat informasi di dunia maya.
Kedua, meng-upgrade skill yang sesuai dengan minat dan bakat. Tantangan ke depan, bukan lagi penjajahan kolonial, tapi lebih pada penjajahan ekonomi dan politik. Maka, agar tidak kalah dalam persaingan tersebut, kita butuh milenial kompeten yang dapat memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara di kancah lokal, nasional dan internasional. Tanpa SDM kompeten, kita akan selalu gagal dalam persaingan global. Dengan SDM kompeten, kita bisa sejajar dengan negara-negara lain di dunia; berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan.
Ketiga, milenial perlu berjejaring untuk mengembangkan setiap potensi daerah dan nasional. Milenial identik dengan kemudahan teknologi dan akses informasi. Se per sekian detik, mereka bisa saling berkomunikasi dengan siapa pun yang sedang berada dimana pun. Dalam konteks tersebut, gadget sebagai teknologi yang akrab bagi milenial harus dioptimalkan fungsinya sebagai instrumen perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan.
Dari situ, sungguh kita bisa berjejaring dan membentuk ikatan yang kuat untuk mewujudkan kepentingan nasional. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Bersama-sama, saling menguatkan perjuangan. Mencerminkan bangsa yang memegang teguh semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu.
Terakhir dan terpenting, milenial harus berperan aktif dan turut membangun bangsa melalui bidang-bidang yang diminati dan dikuasai. Melalui bidang-bidang tersebut, mereka dapat mencurahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk berkontribusi kepada negara. Perlahan namun pasti, posisi Indonesia akan semakin dipertimbangkan dalam geopolitik internasional, sebab kesuksesan para generasi bangsa dalam membangun negara.
Itulah tata cara menjadi pahlawan bangsa sepanjang masa. Kita tidak lagi harus melawan penjajah dan gugur di medan perang untuk menjadi pahlawan. Bermodal gadget atau skill yang dimiliki pun kita bisa menjadi pahlawan bagi negara. Wallahu a’lam.
This post was last modified on 12 November 2020 1:31 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…