Categories: Kebangsaan

Masa Depan Toleransi di Indonesia (Bag.2)

Zuhairi Misrawi dalam bukunya menyebutkan bahwa “Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, Dan Multikulturalisme” menyebutkan temuan bahwa dari 6666 ayat di dalam Al-Quran ada sekitar 300 ayat yang secara eksplisit menegaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Dan ada sekitar 176 ayat yang dapat ditafsirkan untuk tindak intoleran atau kekerasan atas nama agama. Lebih lanjut Zuhairi menjelaskan bahwa toleransi dan perdamaian merupakan fundamen Al-Quran, sedangkan intoleransi atau kekerasan merupakan ayat yang berkaitan dengan konteks sosial tertentu, dan karenanya perlu ditafsirkan.

Contoh konkrit dari apa yang disampaikan Zuhairi Misrawi adalah QS. Al-Hujraat: 13

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha teliti. “

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa manusia secara sosiologis terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, ras dan golongan. Keberadaan sosiologis yang majemuk, atau multikultural tersebut adalah sesuatu yang sudah given atau sunnatullah. Yang tidak bisa semua orang merubah atau mengingkarinya. Disinilah keharusan untuk saling mengenal atau bertoleransi terhadap berbagai macam perbedaan yang sudah menjadi fakta sosiologis tak terbantahkan tersebut.

Rainer Forst dalam Toleration and democracy menyebutkan, dua cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Forst sendiri menekankan kepada membangun saling pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.

Namun demikian ada tanggapan atau pandangan pesimitis terhadap persoalan toleransi yang dikelola negara. Dimana negara dianggap faktor determinan –dengan membuat peraturan terkait kehidupan toleransi dan kerukunan warga masyarakat, dalam mewujudkan kehidupan yang toleran. Pandangan pesimistis ini berdasarkan kepada negara sendiri terdiri atas pelbagai entitas yang memahami demokrasi sebagai hegemoni mayoritas atas minoritas. Atau sebaliknya, hegemoni minoritas atas mayoritas yang sering terjadi pemerintahan diktator. Hegemoni mayoritas ini menyebabkan penegakkan prinsipkesetaraan dan keadilan terabaikan. Inilah yang dimaksudkan oleh Richard H. Dees toleransi memiliki potensi sebagai penguatan dalam masyarakat plural. Dimana toleransi dianggap sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam sebuah perjanjian atau persetujuan formal.

Toleransi model modus vivendi membutuhkan pemerintahan yang kuat dan memiliki kemauan untuk mengelola masyarakat pluranya atau masyarakat yang majemuk menuju sebuah masyarakat yang multikultur. Model toleransi modus vivendi adalah model top down yang memiliki kelemahan dimana kepentingan kelompok masyarakat tidak terwakili secara aktif. Justru yang harus dilakukan adalah bagaimana memposisikan sikap toleransi bukan atas dasar modus vivendi karena keinginan penguasa, namun menempatkan toleransi sebagai bagian dari kesepakatan bersama yang terus berproses berdasarkan kebutuhan dimana masyarakat tersebut berada dan berbasis kearifan lokal.

Namun demikian, karena adanya dinamika interaksi sosial, individu harus menerima perbedaan dan mencoba untuk beradaptasi. Di sisi lain, intoleransi aktif bukan hanya meyakini bahwa agamanya adalah satusatunya agama yang benar, tetapi juga memiliki kecenderungan untuk melihatmereka yang berbeda agama atau bahkan yang berbeda interpretasi dalam agama yang sama sebagai sesat dan menyimpang.Sebuah perbedaan nyata antara dua bentuk intoleransi terletak pada bagaimana seseorang berperilaku dan bertindak. Mereka yang berada dalam kategori intoleransi aktif tidak hanyamengungkapkannya secara lisan tetapi juga melalui tindakan. Sementara itu, intoleransi keagamaan (religious intolerance) merupakan sebuah pengertian yang luas, mencakup prasangka negatif bermotif keyakinan, afiliasi atau praktek keagamaan tertentu, baik terhadap individu maupun kelompok. Prasangka negatif ini memberi jalan untuk sewaktu-waktu menjelma dalam aksi intimidasi atau kekerasan bermotif pengabaian.

This post was last modified on 15 Oktober 2015 5:48 PM

Manhan Marbawi

Sekjen Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Koordinator Jakarta Edu Forum dan Guru PAI di SMPN 280, Jakarta

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

4 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

5 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

6 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

6 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago