Narasi

Melacak Narasi Jihad

Merebaknya narasi jihad di masyarakat adalah isu yang perlu mendapat perhatian. Bukan karena doktrin jihadnya yang bermasalah, melainkan pengisahan atas ajaran jihad yang sering problematis. Sebab makna jihad yang paling sering diambil adalah berperang melawan orang kafir. Padahal pengertian jihad tidak sesederhana itu. Tambahan lagi, tidak setiap orang kafir harus diperangi. Apalagi kini semakin sering istilah kafir disematkan kepada orang yang berbeda pandangan. Masalah semakin runyam saat narasi jihad terus melebar ke semua isu. Ajaran jihad akhirnya digunakan secara tidak proporsional dan cenderung dipaksakan untuk kepentingan terselubung. Hal inilah yang perlu dikritisi dan dicermati sehingga marwah agama dapat terus dijaga.

Jika dicermati, munculnya narasi jihad adalah fenomena yang sudah cukup lawas.  Menurut Wiktorowicz, dalam tulisan “A Geneology of Radical Islam” (Studies in Conflict & Terrorism), ada dua tipe jihad: ofensif dan defensif. Jihad ofensif bertujuan untuk menyebarkan Islam, melakukan pencerahan, dan kesopanan terhadap daerah musuh (dar al-harb). Tetapi model jihad ini kini tidak lagi banyak dibahas. Sementara jihad defensif (jihad al-dafa’a) bermakna kewajiban melakukan jihad saat ada kekuatan lain yang menyerang wilayah Muslim. Alasan tertinggi melakukan ini adalah mempertahankan komunitas bersama yang memiliki keimanan sama. Tetapi sejak invasi Uni Soviet ke Afganistan (1979), ada perubahan pemahanan tentang jihad. Meskipun mayoritas ulama berpandangan jihad terbesar adalah perjuangan melawan diri sendiri, tetapi kaum jihadis menolaknya. Mereka menantang pandangan ini dan menginspirasi untuk berpartisipasi dalam perang untuk membela saudara dan saudari Muslimnya di Afganistan. Hasilnya, banyak tulisan dan nasehat yang membangkitkan semangat dan partisipasi untuk terjun ke dalam pertempuran (2005: 83-84).

Wiktorowicz menambahkan, kaum jihadis menggunakan pandangan ulama untuk membenarkan tindakan mereka. Misalnya ada nama Ibnu Taimiyah yang berkontribusi pada ideologi jihadis dalam elemen religius dan moral (dan bukan pada aspek hukum dan aturan dalam berperang). Selain itu, ada juga nama Ibn Nuhaas al-Demyati. Dia membahas beragam hal terkait orang yang menolak berpartisipasi dalam jihad. Seperti ketakutan akan kematian, anak, pasangan, saudara, teman, status sosial, garis keturunan, mencintai sesuatu yang bersifat materi, dan keingingan pribadi. Menurut Ibn Nuhaas, beragam hal ini tidak bermakna apa-apa jika dibandingkan dengan kehidupan di akherat nanti. Dia pun banyak mengutip al-Quran dan sunnah sebagai dasar argumennya. Nama terakhir adalah Abdullah Azzam. Dia adalah sosok penting bagi partisipasi aktif dalam jihad defensif. Abdullah Azzam memberikan argumen legal bahwa jihad adalah tugas yang tidak bisa ditolak. Dalam konteks perang Afganistan, Azzam beranggapan jihad merupakan kewajiban individu (2005: 83-85).

Dalam fenomena kekinian, manifestasi jihad dengan cara bertempur dapat dilihat dari kehadiran NIIS. Menurut Masdar Hilmy, dalam tulisan “Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia” (jurnal Teosofi Vol 4, Nomor 2, 2014), ideologi utaman gerakan NIIS adalah takfiri (mengkafirkan orang yang tidak sepaham) dan membunuh siapa saja yang tidak sepaham. Masih menurut Hilmy, afiliasi ideologis NIIS ke Sunni (dengan gagasan khilafah) sekaligus penggunaan metode kekerasan merupakan bukti eklektisisme gerakan ini. NIIS bukan pengulangan atau replika gerakan yang sudah ada, tetapi NIIS melakukan kombinasi sejumlah ajaran dari berbagai gerakan ke dalam dirinya (2014: 412).

Dari paparan di atas, kita bisa melihat bahwa gerakan radikal selalu bisa mengambil beragam bentuk. Disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu. Meskipun begitu, mereka tetap mengambil ajaran-ajaran yang dianggap bisa melegitimasi aktivitas mereka. Dua doktrin yang tidak bisa dilepaskan adalah jihad dan takfiri. Keduanya pun saling menguatkan. Maka upaya yang bisa dilakukan untuk membongkar penyelewengan makna dari jihad dan takfiri adalah membersihkannya dari beragam kepentingan. Sebab kepentingan berbungkus agama inilah yang menjadikan agama terasa menyeramkan. Merasa berperang demi tuhan, tetapi sejatinya berperang untuk setan. Dan ironisnya, banyak orang yang tidak sadar dengan hal ini. Merasa telah berkontribusi untuk mendapatkan tiket ke surga, tetapi sejatinya sedang menabung untuk masuk ke neraka akibat menyebarkan kebencian dan kekerasan.

 

This post was last modified on 13 September 2017 12:29 PM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago