Perawakannya sedang. Sikapnya luruh, anteng, jatmika. Tutur katanya halus. Pernah saya dan beberapa kadang mengorek bawah sadarnya perihal seorang perempuan yang singgah kali pertama di hatinya. Kami pun terpingkal, bukan karena mengejek atau bermaksud merendahkan. Tapi karena saking sucinya ia, baiknya, ia. Perempuan itu adalah perempuan Belanda, yang, setelah pecah perang, raib ke negara asalnya. Dan ia, yang barangkali saking baiknya, tak pernah berusaha memilikinya.
Bahkan setelah sang isteri pergi mendahuluinya pada tahun 1983, ia tetap melajang, menampakkan hatinya yang tak pernah goyah. “Tak tergoda, Mbah?” tanya saya ketika melihat sebuah potret pemuda tampan yang terpampang di tembok kamar pribadinya.
“Sujud,” jawabnya singkat—sebuah maqam ruhani di mana seorang muda seperti saya tak akan sanggup menjalaninya.
Manusia dikaruniai nafsu sebagai piranti untuk hidup, sekaligus jiwa untuk mengontrol sang nafsu. Perkenalan saya dengan Mbah Untung adalah ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Waktu itu saya tergelitik, bagaimana orang Sumarah memecahkan kontradiksi soal sumarah yang berarti pasrah bulat dengan penindasan.
Setahu saya, berdasarkan keterangan-keterangan Mbah Untung, sumarah adalah ilmu manembah, berkaitan dengan iman bulat bahwa Tuhan itu ada dan Mahakuasa. “Sumarah itu terletak di sila pertama Pancasila. Selama manusia yakin bahwa Tuhan itu ada, maka dengan sendirinya sila-sila berikutnya mengikuti. Seperti rasa tresna-sih yang menjiwai sila kedua dan seterusnya,” jelasnya tempo hari ketika saya berkunjung ke rumahnya di kampung Sayidan, Gondomanan.
Mbah Untung, barangkali secara nasional, adalah salah satu murid langsung Mbah Kino—pendiri Paguyuban Sumarah—yang masih tersisa. Konon ia dipilih langsung oleh Mbah Sukinohartono untuk dibeat (diinisiasi). Selayaknya pemuda Jogja waktu itu, ia juga terlibat dalam peristiwa agresi Belanda II.
Baca juga : Langkah Preventif dan Taktis Menangkal Ideologi Kekerasan Pasca Runtuhnya ISIS
Syahdan, ketika agresi Belanda II, Mbah Untung bersama warga kota Jogja lainnya, ikut mengungsi. Tapi usia 20 tahun menyurutkan niatnya untuk mengungsi. Ia pun, bersama pemuda lainnya, ikut dalam pertempuran enam jam di Jogja yang melegenda dengan nama Serangan Umum Satu Maret.
Di sebuah perempatan, sontak rombongan Mbah Untung terhenti oleh sebuah tank yang sedari siang keluar untuk melakukan pembersihan. “Tiarap…tiarap.., Tung!” teriak kawan-kawannya.
Mbah Untung tak bergeming. Ia ingat pesan Mbah Kino beberapa malam yang lalu di Ndalem Pujokusuman: “Pemuda Sumarah tak perlu takut, tak perlu ragu. Dzikir yang benar. Akan terjadi perang. Ini (sumarah) dapat menjadi azimat.”
Berondongan senapan saling berdesing. Dan anehnya, tak satu pun pelor menyentuh kulitnya.
“Setelah sadar, saya pun ambruk. Lemas. Kawan-kawan seperjuangan telah lari tunggang-langgang. Ditinggallah saya sendirian,” kisahnya sambil tertawa lepas.
Pemecahan kontradiksi itu pun saya temukan bahwa Sumarah, seperti pesan Mbah Kino, “Nuting jaman kelakone.” Saya mengartikan hal ini sebagai “disesuaikan” dengan zaman, bukannya “menyesuaikan” dengan zaman. Perbedaan, misalnya, antara Paguyuban Sumarah Jogja dengan Solo, atau dahulu, kepemimpinan nasional beserta corak ataupun metode dalam Paguyuban Sumarah yang tak sama dari waktu ke waktu: dari era R.Ng. Soekinohartono berlanjut ke dr. Soerono, dan kemudian Arymurthy, SE.
Seperti pesan Mbah Kino di atas, yang merestui peperangan melawan penindas. Mbah Kino, bahkan pun sampai kini, menurut Mbah Untung, adalah satu-satunya warana (tabir) dari sang Chakiki. Ia yang beberapa kali memperoleh “wahyu.”
“Pada tahun 1940, Mbah Kino memperoleh petunjuk bahwa yang akan memimpin Indonesia adalah Soekarno,” terang Mbah Untung tentang keterlibatan apa yang kini dikenal sebagai Paguyuban Sumarah dalam perang memperjuangkan kemerdekaan.
Waktu itu ada dua kelompok yang mayoritas anggotanya para anggota Sumarah: Barisan Berani Mati dan Pemuda Sumarah. Kedua kelompok pemuda ini menjadi anggota Sumarah melalui jalur kanoman.
Kontradiksi di atas akhirnya terpecahkan bukan karena prinsip “menyesuaikan” dengan zaman, tapi “disesuaikan” oleh zaman. Paul Stange, seorang scholar yang banyak membahas Paguyuban Sumarah, menyebutnya sebagai evolusi: pembabakan sejarah yang saya tafsirkan sebagai “terbentuk” bukan karena “dibentuk” (Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah, LKiS: Yogyakarta, 2009).
Paguyuban Sumarah sejatinya tak bersifat mutlak dan tunggal. Beda dengan, semisal kepemimpinan komunitas spiritual yang bersifat mengutamakan satu figur yang memiliki kewenangan tanpa batas (mursyid). Jadi, seperti pada umumnya aliran penghayat yang berbasis budaya Jawa, mereka bersifat egaliter. Kemajemukan internal pun telah terbiasa. Inilah yang saya kira sifat khas sekaligus perbedaan antara religiositas dan spiritualitas.
Orang barangkali akan mengartikan spiritualitas sesederhana kecenderungan New Age pada dekade 60-70an yang terkenal dengan sikap antikomitmennya. Pandangan seperti ini tentu saja keliru, yang acap digunakan sebagai justifikasi bagi kalangan yang asal comot dan mau enaknya sendiri.
Seperti yang banyak terdapat di aliran-aliran spiritual yang berbasis budaya Jawa, mayoritas juga memiliki komitmen tertentu yang mesti ditaati. Ada beat, ada sesanggeman (seperangkat aturan yang mesti disanggupi), dan juga bendu (kualat atau sikap menyepelekan yang berujung pada celaka).
Religiositas adakalanya dipandang sebagai tahap di bawah spiritualitas. Keduanya sebenarnya bisa dipisahkan. Hanya saja, ketika orang cenderung tebal religiositasnya, fanatisme—satu sikap yang mesti dihindari dalam aliran penghayat, umpamanya Paguyuban Sumarah—akan dominan. Paling tidak, output-nya adalah sikap merasa paling benar. Dan celakanya, sikap semacam ini akan berdampak pula pada kehidupan bermasyarakat, bahkan bernegara. Komitmen Paguyuban Sumarah pada Pancasila akhirnya menemukan dasarnya.
Ada beberapa pupuh (bait) dari tembang-tembang R.Ng. Soekinohartono—di mana konon mengucur secara otomatis ketika menuntun anak-anak didiknya melakukan pasujudan—yang secara eksplisit menyebut Pancasila sebagai dasar negara (Kumpulan Wewarah, R.Ng. Soekinohartono, 2003).
Abentukan Republik
Kang wus mujud
Adhedasar Pancasila
Iku kang luwih becik
Iku margining raharja
Kang sinebut ing jangka-jangka ing uni
Negaramu bisa makmur
Tata tentrem mujudira
Marga sira kudu ngawaki nuntun
Dhedhasar Ketuhanan
Rahayu ing donya ngakir
Iku babaring Sumarah
Mujud neng bangsa Indonesia
Ing mbenjing
Lugune wajibul wujud
Iku tetep bakal nyata
Nanging sira kudu wani nenuntun
Aja mung sembrana kudu sira netepi
Pada masa kepemimpinan Mbah Kino, ada satu otoritas yang diyakini oleh para anggota Paguyuban Sumarah sebagai “Kebenaran.” Dalam paguyuban yang sejak lama telah merambah wilayah luar negeri ini otoritas tersebut dikenal sebagai “Chakiki.” Dan Mbah Kino, bahkan sampai kini, diyakini sebagai satu-satunya warana (tabir) dari sang “Chakiki.” Tembang-tembang itu diyakini mengucur begitu saja tanpa adanya rekayasa. Maka apabila diseksamai, aturan-aturan metrum yang lazimnya menyertai setiap tembang-tembang klasik Jawa tak ada. Tapi konon, Mbah Kino melagukannya dengan titi-laras Jawa yang jangkep dan indah didengarkan.
Satu hal yang perlu diketahui, tembang-tembang Mbah Kino, dan juga beberapa nasehat-nasehatnya, terangkai sebelum kemerdekaan Indonesia tercapai dan Pancasila resmi menjadi dasar negaranya.
Pada tembang-tembang di atas, selain “republik” dan “Pancasila”, Mbah Kino juga menyebut perihal “Ketuhanan,” yang saya maknai sebagai sebentuk spiritualitas, bukannya religiositas dalam maknanya yang ketat.
Secara sederhana religiositas dapat diumpamakan sebagai pola pikir yang meyakini bahwa 4 x 4 sudah pasti menghasilkan 16. Tapi spiritualitas lain, tak hanya 4 x 4 yang menghasilkan angka 16, 8 + 8 ternyata juga menghasilkan 16. Dengan kata lain, spiritualitas pada akhirnya adalah logika either…or… dan bukannya neither…nor…. Inilah yang dinamakan inklusivitas di mana masing-masing orang terlepas dari apapun latar-belakang agama dan sukunya dapat belajar menjadi orang Sumarah.
Dan di atas semua itu, konstitusi negara ini telah menjamin hak setiap warga negaranya untuk “memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD I945). Kenapa istilah agama dan kepercayaan dalam konstitusi tersebut mesti dipisah? Sebab, kearifan-kearifan lokal di negri ini telah lama ada jauh sebelum negara ini terbentuk. Dan mereka, merunut pada fakta sejarahnya, juga mempunyai kontribusi nyata terhadap kemerdekaan bangsa ini.
Ironisnya, hanya karena perilaku segelintir orang yang mengatasnamakan agama tertentu konstitusi tersebut kerap dilanggar. Selain diskriminasi dan intimidasi yang telah menghiasi perjalanan kalangan penghayat sebagai sesama warga negara Indonesia, yang mutakhir adalah maraknya upaya untuk mematikan kearifan-kearifan lokal, semisal pembubaran sedekah laut di Bantul.
Adakalanya, orang mesti bercermin pada pengalaman Mbah Untung, yang waktu itu masih berusia muda dan ikut dalam peristiwa Serangan Umum Satu Maret: untuk membidik tanpa hardik. Benar bahwa orang tak boleh membunuh, tapi jejer-nya, tugas dan fungsinya waktu itu, adalah seorang gerilyawan yang mesti berperang, soal terbunuh atau membunuh, karena ia adalah orang Sumarah, bukanlah urusannya. Yang terpenting, ia sudah menunaikan jejer-nya dengan sebaik mungkin.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…