Narasi

Membuka Kembali Lembaran Sejarah Kemerdekaan : Melihat Relasi Harmonis Antara Ulama dan Umara dalam Membangun Bangsa

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, hubungan antara ulama dan umara (pemimpin agama dan pemerintahan) memainkan peran yang krusial dan saling melengkapi. Keduanya, meski berasal dari latar belakang yang berbeda, memiliki satu tujuan yang sama: merebut kedaulatan bangsa dari penjajahan dan membangun negara yang merdeka dan berdaulat. Keharmonisan antara ulama dan umara ini dapat dilihat dalam berbagai fase sejarah perjuangan bangsa Indonesia, mulai dari masa penjajahan hingga proklamasi kemerdekaan.

Ulama, sebagai tokoh agama, tidak hanya berperan dalam bidang spiritual, tetapi juga turut serta dalam perjuangan fisik melawan penjajah. Mereka memanfaatkan posisi dan pengaruhnya di masyarakat untuk menggerakkan rakyat, memberikan semangat juang, dan menyatukan tekad melawan penindasan kolonial. Salah satu contoh konkret adalah peran KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang mengeluarkan fatwa jihad pada 22 Oktober 1945, yang di pemerintahan Presiden Jokowi ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN).

Fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari itu mendorong rakyat, khususnya kalangan santri dan ulama, untuk berperang melawan tentara Sekutu yang berusaha merebut kembali Indonesia setelah kemerdekaan diproklamasikan. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana ulama menggunakan pengaruh religius mereka untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat.

Di sisi lain, umara, yang mencakup para pemimpin politik dan militer, bekerja keras merumuskan strategi-strategi politik dan militer untuk melawan penjajahan. Soekarno dan Mohammad Hatta, sebagai dwitunggal proklamator kemerdekaan, berupaya keras menggalang persatuan di antara berbagai kelompok dan golongan masyarakat Indonesia. Mereka memahami pentingnya dukungan ulama untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari rakyat. Soekarno berkolaborasi dengan para ulama untuk memastikan bahwa langkah-langkah politik yang diambil didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk santri/ulama.

Perjuangan kemerdekaan juga diwarnai oleh kolaborasi strategis antara ulama dan umara di berbagai daerah. Di Aceh, peran Teungku Daud Beureueh, seorang ulama karismatik, sangat signifikan dalam menggerakkan perlawanan terhadap Belanda. Daud Beureueh, yang juga merupakan seorang pejuang kemerdekaan, berusaha menjalin hubungan erat dengan para pemimpin nasionalis untuk menyatukan kekuatan melawan penjajahan dan kolonialisme. Hubungan erat antara ulama dan umara di tingkat nasional/lokal ini mencerminkan kesadaran bersama bahwa perjuangan kemerdekaan membutuhkan sinergi dari berbagai elemen.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia tidak serta-merta berakhir. Masa revolusi fisik (1945-1949) merupakan periode kritis di mana keberadaan negara Indonesia masih harus dipertahankan dari ancaman kembalinya kekuasaan kolonial. Dalam masa ini, kolaborasi antara ulama dan umara semakin diperkuat. Ulama-ulama terlibat dalam berbagai laskar perjuangan, memberikan dukungan moral dan spiritual, serta mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk kemerdekaan.

Pada level nasional, hubungan antara ulama dan umara sangat terlihat dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Soekarno pada saat itu. Pembentukan Kementerian Agama pada tahun 1946 adalah salah satu contoh bagaimana pemerintah mengakui peran penting ulama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kementerian ini tidak hanya berfungsi sebagai wadah bagi urusan keagamaan, tetapi juga menjadi simbol pengakuan terhadap kontribusi ulama dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Dalam masa-masa awal kemerdekaan juga memperlihatkan bagaimana ulama dan umara berusaha mencari titik temu dalam berbagai isu nasional. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terdapat perdebatan sengit mengenai dasar negara. Para ulama yang tergabung dalam kelompok Islam mengusulkan agar Indonesia berdasar pada syariat Islam, sementara kelompok nasionalis, mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan yang tajam, kedua kelompok akhirnya mencapai kesepakatan melalui Piagam Jakarta, yang kemudian menjadi kompromi dalam bentuk Pancasila seperti yang kita kenal saat ini. Proses kompromi ini menunjukkan adanya kematangan politik dan kesadaran bersama akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari kolaborasi erat antara berbagai elemen masyarakat, termasuk ulama dan umara. Keduanya saling melengkapi dan mendukung satu sama lain dalam menghadapi penjajahan dan membangun fondasi negara yang merdeka. Hubungan harmonis ini tidak hanya terlihat dalam perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi juga dalam perjuangan politik, ideologis, dan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita nasional.

Keberhasilan kolaborasi antara ulama dan umara dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia memberikan pelajaran berharga bagi generasi masa kini. Di tengah dinamika politik dan sosial yang terus berubah, semangat kebersamaan dan kerjasama yang ditunjukkan oleh ulama dan umara dalam memperjuangkan kemerdekaan dapat menjadi inspirasi untuk menghadapi tantangan-tantangan baru. Nilai-nilai persatuan, toleransi, dan kerja sama yang terjalin antara ulama dan umara membuktikan bahwa perbedaan latar belakang dan pandangan dapat disatukan untuk mencapai tujuan bersama yang lebih besar.

Dengan membuka kembali lembaran sejarah kemerdekaan, kita dapat melihat betapa pentingnya hubungan harmonis antara ulama dan umara dalam membangun bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa melalui sinergi dan kerjasama yang baik, berbagai tantangan dan rintangan dapat diatasi. Oleh karena itu, semangat kebersamaan dan kolaborasi antara ulama dan umara perlu terus dipelihara dan ditingkatkan demi menjaga kedaulatan bangsa.

L Rahman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago