Narasi

Membumikan Maaf, Sebagai Identitas Diri

Memberikan maaf atau seringkali disebut memaafkan merupakan sesuatu yang terbilang sangat sederhana dalam hidup. Bahkan, dengan membudayakan saling memaafkan akan membangun komunikasi yang baik dengan sesama. Baik itu tetangga, teman, keluarga sendiri, atau mungkin orang yang tidak dikenal.

Namun, di sadari atau tidak, di era modern ini banyak sekali orang-orang yang merasa malu hanya sekedar mengutarakan maaf. Padahal setiap maaf mengandung suatu kebaikan untuk pelakunya. Misalnya, ketika kita merasa melakukan kesalahan, dan kemudian meminta maaf kepada orang tersebut. Maka, hati kita akan merasakan ketenangan, kesejukan dan ketenteraman. Di lain sisi, berkat sifat baiknya yang dengan ikhlas meminta maaf, itu sudah menjunjung nilai kemanusiaannya.

Meminta maaf ataupun memberikan maaf, sama halnya dengan membudayakan sifat memanusiakan manusia. Seseorang sudah berusaha membangun perdamaian berdasarkan tali silaturahmi. Dirinya juga sudah berusaha untuk menguatkan, bahwa setiap kebaikan seringkali di awali dari sebuah kesalahan. Kemudian kesalahan ini diaplikasikan dengan meminta dan memberikan maaf.

Pada dasarnya manusia memang menjadi tempat salah dan lupa. Maka tidak mengherankan apabila tutur kata seringkali melontarkan sesuatu yang tidak mengenakkan untuk lawan bicara. Bahkan, terkadang cara bercanda juga memberikan efek yang menyakitkan untuk teman yang diajak bercanda. Itulah mengapa menjadikan maaf sebagai kearifan dalam diri sendiri. Menjadi sebuah keharusan. Karena hanya dengan itulah manusia bisa saling berjabat tangan, serta tersenyum atas nama kebaikan.

Salah satu guru bangsa Indonesia Gus Dur, juga pernah menulis sebuah karya yang berjudul “Bersabar dan memberi maaf”. Dalam hal ini beliau mengimplementasikan diri, memaafkan adalah bagian dari konsep perdamaian. Dengan senantiasa merendahkan diri, sadar diri, serta memberikan maaf. Berarti orang tersebut sudah berusaha membangun kerukunan umat beragama, sesama manusia, dan seluruh jajaran manusia yang ada di bumi ini.

Sejatinya, hal ini menunjukkan, bahwa hal yang paling sakral dari hidup ialah bagaimana kita menjadi manusia yang sabar dan senantiasa ikhlas untuk memaafkan. Sebab, suatu keikhlasan tidak akan tercapai tanpa adanya kesabaran. Buah dari kesabaran itu adalah keindahan.

Untuk itu, sudah seharusnya kesabaran dan budaya memaafkan  diadopsi sebagai jembatan untuk mengantarkan seseorang dalam kebaikan. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur, suatu konflik akan terselesaikan dengan damai, apabila di dalamnya dibarengi dengan kesabaran dan saling memaafkan. Dan, kesabaran adalah sebaik-baiknya sifat yang menuntun kebenaran.

Muklas Syarkun (2009) dalam Ensiklopedi Abdulrahman Wahid: Spiritual Power Guss Dur mencontohkan sikap sabar dan pemaaf Gus Dur dalam menghadapi isu miring. “Dalam era kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden Indonesia, entah sudah berapa banyak cacian, fitnah, teror dan makian untuk dirinya. Namun, sepanjang kepemimpinannya, ia selalu memperlihatkan kesabaran dan jiwa pemaaf, seperti guyonan yang sudah populer sampai saat ini, “Gitu aja kok repot”

Memaafkan Sebagai Identitas Diri

Berkaca dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan problematik. Sudah seharusnya budaya memaafkan menjadi teladan untuk diri sendiri. Di mana, diri ini, dari lubuk hari yang paling dalam, harus belajar untuk mengikhlaskan setiap kesalahan orang-orang yang memang berbuat salah kepada kita. Sebab, dengan berangkat dari diri sendiri. Seseorang akan memahami kualitas dirinya. Sebuah pemahaman yang akan menyadarkan dirinya agar tidak melakukan sebuah kesombongan. Sehingga, ia akan dengan senang hati untuk  meminta maaf kepada orang lain. Apabila melakukan  kesalahan.

Berangkat dari sikap saling memaafkan dan senantiasa sabar, seseorang bisa menjadi tonggak negara. Karena dengan sifat ini, seseorang akan mengerti letak mana yang harus diperjuangkan. Sama halnya dengan konsep kasih sayang, seseorang akan merasa mendapatkan kasih sayang, apabila kasih sayang itu diberikan dengan penuh kesabaran. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang Jawa dahulu, “Urip iku kudu tulung-menulung karo tonggone” (hidup itu harus tolong-menolong dengan tetangganya). Konsep tolong-meolong inilah yang akan mengantarkan kita menjadi orang yang sabar, menjadi orang yang bisa berguna bagi sesama dan pastinya akan menciptakan kerukunan dan perdamaian dalam hidup bermasyarakat.

Sudah seharusnya kita saling memaafkan ketika ada seseorang yang melukai. Selain memaafkan menjadi bukti nyata kebaikan kita, memaafkan adalah cara terbaik untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, welas asih terhadap orang lain. Dengan kata lain, kita bisa menjadi orang yang lapang dada. Dan, merekalah manusia-manusia yang benar-benar baik.

This post was last modified on 9 Maret 2018 11:46 AM

Suroso

View Comments

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

5 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

5 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

6 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago