Salah kaprah dalam tingkah manusia sudah banyak kita saksikan, salah satunya adalah sikap radikal terorisme. Pertanyaannya, mengapa sikap yang membahayakan ini bisa terjadi dan terus menerus terjadi? Lalu, bagaimana cara ampuh untuk mencegahnya?
Salah satu penyebab dari sikap yang mengerikan ini adalah doktrin negatif. Terlebih, ketika doktrin itu keluar dari mulut orang tua kepada anak-anaknya. Sebab, anak merupakan sosok yang mudah disetir oleh orang tuanya. Dan, biasanya anak akan melakukan apa saja demi orang yang telah merawat dan menyayanginya.
Jika yang terjadi adalah demikian, maka rumah tak selamanya menjadi tempat untuk berteduh dari derasnya sikap ekstrim. Bahkan, tempat tinggal bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya radikalisme yang menimbulkan benih-benih kebencian. Kebencian yang akhirnya menjadi bahan untuk saling menjatuhkan dan membinasakan.
Dalam hal ini, penulis sendiri merupakan korban dari doktrin negatif itu. Pernah suatu ketika, ayah mengatakan, “Nak, kamu harus berislam sampai mati dan tidak boleh berteman dengan orang non muslim.” Perkataan itu penulis angguki dengan takzim. Cuma, sekarang penulis sadar bahwa nasihat itu ada benarnya dan salahnya. Benar pada bagian, bahwa keyakinan terhadap suatu agama harus dianut sampai mati. Tetapi salah, apabila agama dijadikan penghalang untuk berteman dengan orang yang berbeda keyakinan dan kepercayaan. Terlebih sampai melakukan sikap ekstrim untuk menyatukan keyakinan.
Rata-rata, seorang anak dipastikan menerima doktrin yang demikian. Karenanya, menjadi anak zaman saiki (bahasa Jawa, artinya, sekarang) haruslah cerdas dalam menyikapi setiap perkataan orang tuanya. Sebab, tak selamanya seorang anak harus berbakti atau patuh kepada orang tua. Ada hal-hal yang harus kita ‘lawan’, terutama dalam masalah toleransi dan sikap radikal. Hanya saja, cara penyampaiannya tidak boleh dengan cara-cara yang kasar, baik dalam hal ucapan, sikap maupun perilaku. Sebab, bagaimanapun dan dalam keadaan apapun, orang tua harus tetap kita hormati karena mereka telah membesarkan kita dengan ketulusan dan keikhlasan hatinya.
Namun, ketika orang tua kita menyuruh untuk memusuhi seseorang, terlebih untuk melakukan kejahatan, apakah kita akan memusuhi dan berbuat aniaya dengan dalih berbakti? Sebagai anak yang mencintai kerukunan, tentu akan menolak hal itu dengan cara yang baik dan sopan. Bahkan, kita harus menyadarkan orang tua, bahwa hidup tanpa perdamaian dan toleransi akan berefek buruk pada kehidupan yang sementara ini.
Sekarang penulis memaknai, bahwa ucapan “Nak, kamu harus berislam sampai mati dan tidak boleh berteman dengan non muslim,” merupakan doktrin kebencian terhadap agama lain yang akan menimbulkan sikap radikal terorisme. Karenanya, benar apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Wolfgang Walters et. al. (peneliti dari University of Sussex, United Kingdom, Inggris), bahwa adanya kebencian itu berasal dari sesuatu yang telah memotivasinya, yaitu berupa prasangka buruk terhadap orang atau kelompok tertentu.
Sungguh celaka ketika kebencian yang menjadi penyemangat hidup ini. Sebab, Nelson Mandela (Presiden Kongres Nasional Afrika, 1991), pernah mengatakan bahwa “Kebencian itu diibaratkan kita sedang meminum racun dan berharap sesuatu yang kita benci itu terbunuh.” Karenanya, selama dalam diri kita ada benih-benih kebencian terhadap sesuatu, maka bersiaplah untuk dibunuh oleh kebencian itu sendiri.
Benar apa yang dikatakan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahwa “Agama mengajarkan pesan-pesan damai, tetapi ekstremis memutarbalikkanya.” Begitu juga dengan perkataan Buya Syafi’i (Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah), bahwa “Islam itu damai, konstruktif dan dapat mengayomi bangsa ini dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, afiliasi politik dan lain-lain. Dan, inilah Islam yang sebenar-benarnya.”
Sekarang menjadi jelas, ketika kita menyukai kekerasan dan kebencian, maka sebenarnya kita adalah bagian dari orang-orang yang menjungkirbalikkan makna-makna perdamaian. Jika perbedaan pandangan dan keyakinan tidak dijadikan sebagai jalan menuju perdamaian, agama yang mengajarkan untuk damai mau kita jadikan apa?
Oleh karena itu, mencegah benih-benih terorisme dari dalam rumah merupakan senjata paling ampuh untuk memusnahkan kejahatan berencana. Sebagai orang tua, atau calon orang tua, terlebih seorang ibu, tentu jangan sampai abai untuk mengajari nilai-nilai toleransi kepada buah hatinya. Pelajaran tentang bersikap damai dan saling menghargai harus benar-benar ditanamkan. Ajari mereka untuk menghapus rasa benci, sehingga sikap radikal tidak mereka miliki. Salam perdamaian!
This post was last modified on 2 Mei 2018 12:21 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…