Di era revolusi digital yang ditandai dengan kehadiran internet dan media sosial, siapa pun bisa menjadi juru dakwah. Bermodal pengetahuan agama yang tidak seberapa, namun memiliki basis popularitas dan dukungan massa yang kuat, seseorang bisa mengklaim dirinya sebagai pendakwah atau ustaz.
Sebenarnya, fenomena ini tidak sepenuhnya salah. Dalam Islam memang terdapat ajaran yang mewajibkan umatnya untuk melakukan aktivitas dakwah. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan “ballighu anni walau ayah’’ yang bermakna sampaikan kebenaran meski hanya satu ayat. Diakui atau tidak, ungkapan itu telah menjadi dasar validasi para pendakwah dalam melakukan aktivitas dakwah Islamnya.
Namun, persoalan mulai timbul ketika terminologi dakwah mengalami penyempitan makna bahkan penyelewengan di sana-sini. Bentuk penyelewengan itu antara lain, pertama ada sejumlah juru dakwah dan ustaz yang membingkai aktivitas dakwahnya dalam kerangka ekonomi, yakni mencari keuntungan secara finansial dari aktivitas dakwahnya. Mereka mematok tarif tertentu untuk setiap sesi dakwah atau pengajian yang mereka lakukan. Meski tidak melanggar hukum, namun hal ini tentu menyalahi etika dakwah sebagai aktivitas menyampaikan kebenaran ajaran Islam.
Kedua, banyak para mubalig atau juru dakwah yang karena minim pengetahuan Islam kerapkali salah dalam menerjemahka ajaran Islam. Alhasil, dakwah yang dilakukannya kerapkali memantik keresahan publik, menimbulkan kontroversi bahkan memecah belah masyarakat. Fenomena ini umumnya muncul lantaran banyak juru dakwah yang memiliki pandangan keislaman eksklusif dan tidak ramah pada perbedaan.
Ketiga, banyak aktivitas dakwah yang ditunggangi oleh kepentingan ideologis-politis yakni menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan konsep negara kebangsaan NKRI, falsafah Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Hal ini tampak pada banyaknya pendakwah yang justru mengampanyekan paham khilafah dan ideologi radikal sejenis di kalangan umat Islam.
Di titik ini harus kita akui bahwa keberadaan media digital yang melahirkan para juru dakwah instan telah melatari munculnya praktik dakwah yang bersifat kuantitatif-simplifikatif. Yakni corak dakwah yang hanya mereplikasi ajaran Islam, tanpa memahami esensi dan subtansi ajaran yang patut disampaikan pada publik.
Para juru dakwah instan di media digital tersebut gagal memahami ungkapan “ballighu ‘anni walau ayah” yang idealnya dipahami sebagai aktivitas dakwah yang kualitatif-komprehensif. Mereka cenderung tidak memahami bahwa esensi dakwah ialah menyampaikan ajaran Islam secara baik (ihsan), dengan cara bijaksana (bil hikmah) dan berorientasi pada pencerahan umat.
Jika dibaca dalam perspektif sosiologi posmodern, fenomena dakwah digital oleh sejumlah ustaz instan ini merupakan realitas semu alias kenyataan buatan yang diciptakan untuk tujuan tertentu yang sebenarnya dangkal. Meminjam istilah sosiolog Jean Baudrillad, fenomena dakwah digital oleh para juru dakwah yang hanya mengandalkan popularitas ini merupakan simulakra dakwah Islam.
Dalam simulakra dakwah Islam tersebut, para juru dakwah lebih mementingkan aspek permukaan seperti penampilan dan gaya komunikasi, namun mengabaikan subtansi dan materi dakwah. Alhasil, dakwah tidak lebih dari sebuah seni pertunjukan (performing arts) yang nirmakna dan tidak mencerdaskan, apalagi mencerahkan.
Jika dibiarkan berlanjut, bukan tidak mungkin hal ini akan melahirkan problem sosial-politik yang lebih besar. Tidak hanya itu, fenomea ini juga tidak diragukan akan merugikan Islam itu sendiri. Keberadaan juru dakwah atau ustaz idealnya bisa menjadi agen perubahan sosial, yang mengajak umat Islam menuju kehidupan yang lebih baik; taat pada ajaran agama, toleran terhadap sesama dan setia pada negara dan bangsa. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dakwah justru kerap menjadi ajang provokasi massa untuk membenci kelompok yang berbeda, bahkan melawan pemerintah yang sah. Dalam konteks ini, agama Islam telah dibajak demi keuntungan pragmatis sekelompok orang dan aktivitas dakwah telah menjadi ajang untuk mereproduksi ideologi kebencian dan kekerasan.
Standarisasi Juru Dakwah
Untuk menganulir problem keumatan dan kebangsaan yang timbul karena fenomena simplifikasi dakwah ini, diperlukan upaya serius untuk melakukan peningkatan standar para juru dakwah. Standarisasi ini menyangkut dua aspek penting, yakni aspek keagamaan, komunikasi dan kebangsaan. Dari dimensi aspek keagamaan, para juru dakwah idealnya harus memiliki standar kompetensi terkait ilmu-ilmu keislaman yang mumpuni.
Para pendakwah dalam hal ini harus menguasai ilmu keislaman dasar seperti Nahwu-Shorof, Ulumul Quran, Ulumul Hadis, Tafsir, Fiqih, Tasawuf, Kalam, Falsafah, Tarikh (sejarah) dan sebagainya. Penguasaan atas keilmuan Islam secara komprehensif ini akan memungkinkan para juru dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam yang rasional dan konteksual sehingga tidak menimbulkan gejolak di tengah umat. Standarisasi di bidang wawasan keagamaan ini juga menjadi semacam pengingat bagi para uztaz instan bahwa aktivitas dakwah harus dibekali dengan tingkat intelektualitas dan literasi Islam yang mumpuni. Dakwah tidak bisa dikakukan hanya dengan bermodal popularitas dan retorika keagamaan yang dangkal.
Selain aspek keagamaan, standarisasi juga dibutuhkan dalam aspek kecakapan dalam berkomunikasi secara verbal. Dalam leksikon ilmu sosial, inti komunikasi ialah menyampaikan sebuah pesan, informasi atau gagasan dari komunikator ke komunikan. Dalam konteks dakwah Islam, komunikasi ialah sarana mentransfer pengetahuan Islam dari pendakwah ke umat.
Komunikasi dalam aktivitas dakwah tidak bisa disamakan dengan komunikasi dalam konteks relasi sosial sehari-hari, seperti komunikasi politik, komunikasi pemasaran atau komunikasi budaya. Agama ialah seperangkat ajaran yang kompleks dimana esensi ajarannya kerap tersimpan secara implisit dalam teks-teks yang memiliki makna tersirat, alih-alih tersurat. Diperlukan teknik komunikasi yang tepat agar pesan keagamaan tidak salah dipahami oleh khalayak apalagi dipelintir untuk kepentingan sesaat.
Terakhir ialah standarisasi dalam aspek wawasan kebangsaan. Ini penting lantaran bagaimana pun juga para juru dakwah merupakan pembuat dan penjaja opini yang memiliki otoritas untuk memobilisasi pandangan dan sikap publik. Para juru dakwah yang berpandangan anti-pemerintah dan menghendaki perubahan radikal terhadap sistem dan bentuk negara berpotensi membajak mimbar dakwah untuk menyebarkan pandangan menyimpangnya. Maka dari itu, para juru dakwah idealnya memiliki komitmen dan wawasan kebangsaan yang kuat.
Dakwah Islam yang dilakoninya idealnya tidak hanya berorientasi pada membangun akhlak individual-spiritual, namun juga berorientasi pada pembentukan etika sosial-kebangsaan. Dengan wawasan kebangsaan yang kuat, para juru dakwah akan tampil sebagai rausyan fikr, yakni figur yang tidak hanya pandaidan cerdas, namun juga tercerahkan oleh pengetahuan agama yang dimilikinya.
This post was last modified on 8 September 2020 5:05 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…