Tak diragukan lagi, dakwah dan ngaji on-line semakin ke sini semakin diminati. Bahkan boleh dikatakan, Indonesia adalah negara di mana intesitas konten-konten agama sangat tinggi. Bukan hanya vlog artis saja yang dicari, tapi materi-materi yang disajikan oleh ustad, kyai, motivator via on-line juga mendapat perhatian yang serius.
Lihat saja, hampir setiap juru dakwah mempunyai followers ratusan ribu, bahkan jutaan orang. Materi yang disajikan, di-like, dikomentari, di-share ke berbagai sosial media lainnya. Tak jarang, malah dibikin quote, video pendek, dan kata-kata motivasi untuk disebarluaskan.
Masalahnya tidak semua juru dakwah memahai strategi dakwah wali songo. Ada sebagian yang justru tidak mencerminkan nilai-nilai agama itu sendiri. Katanya dakwah, tetapi isinya caci-maki, provokasi, anti-perbedaan, anti-kebinekaan, bahkan menganggap negara dan saudara sendiri sebagai musuh besar yang harus dibersihkan.
Fenomena ustad “abal-abal”—saya menyebutnya demikian, kerena memang itu faktanya –semakin hari, semakin menjamur. Hanya bermodalkan jenggot tipis, jubah, serban, dan suara agak diberat-beratkan dikit –sudah berani memvonis orang/pihak lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya.
Belum lagi, fenomena ustad yang jadi salesman khilafah. Juru dakwah, tetapi praktiknya di lapangan sebenarnya tukang jual khilafah, yang diklaim sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan kebenaran.
Mimbar-mimbar khutbah, pengajian, majlis ta’lim, baik yang sudah di-online-kan maupun tidak, banyak yang sudah disusupi paham-paham anti-kebinekaan. Para jemaah disusupi paham yang tidak hanya kompatibel dengan kondisi masyarakat Indonesia, tetapi juga merusak tatanan harmoni baik dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Berani Menghukum Ustad Provokatif
Mengapa ustad-ustad provokatif dan anti-kebinekaan masih saja bermunculan? Jawabannya, karena sebagian besar kita tidak berani menghukum ustad-ustad dan penceramah yang provokatif yang bisa merusak tatanan sosial bermasyarakat kita. Masih banyak ustad, penceramah, tokoh agama di sekitar kita yang sukanya mencaci-maki, memfitnah, mengkafir-sesatkan orang yang tidak sepahaman dengan dia.
Terus apa yang kita lakukan? Kita hanya diam. Sekali lagi diam! Paling banter kita cuma berani berkomentar dan membuat status di media sosial.
Sikap seperti itu sejatinya tidak cukup. Kita harus memberikan sanksi nyata kepada para penceramah-penceramah model beginian. Sanksi nyata harus diberikan biar supaya ada efek jera. Secara pribadi, saya yakin, logika ekonomi itu juga berlaku dalam dakwah. Artinya ketika tidak ada tawaran banyak dalam suatu barang, maka barang tersebut tak akan laku, yang otomatis akan hilang dari pasaran. Hal yang sama juga dalam dakwah, jika para pendengar menjauh, otomatis sang penceramah tidak akan laku lagi. Otomatis akan tenggelam sendiri.
Sanksi riil itu bisa diwujudkan dengan: pertama, jangan memberikan panggung kepada penceramah yang menyebabkan hubungan harmonis menjadi rusak. Jadwal khutbah, pengajian, ceramah, dan kegiatan keagamaan masyarakat jangan diberikan kepada penceramah yang provokatif.
Kedua, jangan mengundang ustad-ustad yang tidak paham tentang keislaman dan keindonesian sekaligus. Undanglah ustad-ustad atau tokoh agama yang bisa mendialogkan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
Ketiga, akun media sosial para penceramah yang suka mencaci maki dan memprovokasi harus dijauhi, jangan di-follow. Sebab di era digital sekarang, semakin banyak followers seseorang semakin besar otoritas dia, yang akibatnya pengaruh sang ustad itu semakin besar di masyarakat.
Keempat, segala bentuk video, meme, dan quote yang provokatif jangan di-share. Cukup sampai pada ponsel, kemudian dihapus. Dengan cara ini, maka popularitas sang ustad tidak semakin cemerlang. Terkadang narasi anti-kerukunan itu banyak dikonsumsi publik sebab dipublikasikan secara massif dan terstruktur.
Keengganan masyarakat disebabkan oleh fanatisme buta bahkan sebagian sudah mengkultuskan para ustad-ustad itu bak Nabi yang tidak mempunyai salah. Akibatnya, orang yang mengkritik dan menyuruh ustad mereka dianggap sebagai penghinaan dan kriminalsasi ulama.
Sampai di sini bisa dikatakan, bahwa kualitas ustad atau penceramah sejajar dengan kualitas para pendengar. Artinya semakin kritis masyarakat maka semakin baik kualitas para penceramah yang dihasilkan. Pada akhirnya, kita lah menentukan kualitas ustad-ustad itu. Santun kah dia, provokatif kah dia, suka mencaci kah dia, dan seterusnya ditentukan oleh kualitas dan kecerdasan kita dalam menyikapi para ustad itu.
Memaksimalkan Fungsi Dakwah
Dakwah pada hakikatnya mempunyai peluang yang sangat besar dalam membangun hubungan harmoni. Peluang ini merupakan ladang yang sangat tepat untuk membanguan karakter anak bangsa. Era sekarang adalah era di mana manusia mencari asupan spiritual secara instan. Bukan lagi dengan cara-cara konvensional-manual yang membutuhkan waktu lama.
Gemerlap kemajuan teknologi ini harus dipergunakan semaksimal mungkin untuk membanguan generasi yang memiliki identitas dan integritas. Identitas yang dimaksud adalah rasa persaudaraan, kedamaian, gotong-royong, dan toleransi kepada yang lain.
Dengan dakwah, karakter ini diserukan, generasi digital diajak, dan nilai luhur bangsa dikampanyekan. Memang bukan rahasia umum lagi, dunia digital, teknologi-informasi, dan sosial media mempunyai dua sisi kontradiktif.
Satu sisi ia bernilai maslahah (positif), kostruktif, dan bisa dijadikan sebagai ladang untuk mendidik dan menumbuhkan karakter generasi bangsa, tetapi di sisi lain ia bernilai mafsadah (negatif), destruktif, dan mencabik-cabik rasa persaudaraan yang dalam tarap tertentu mengancam kehidupan bermasyarakat. Dua sisi yang berlawanan ini tergantung kepada kita yang menggunakannya.
Selain menekankan identitas dan karakter bangsa, dakwah juga bisa berfungsi untuk mempromosikan pemahaman agama substantif. Dengan kata lain, ajaran agama universal yang dijadikan oleh semua agama sebagai basis ajaran. Nilai universal itu adalah kesetaraan, persaudaraan, kasih-sayang, dan tanggungjawab. Nilai-nilai ini dalam dakwah, harus menjadi prioritas setiap tokoh agama untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengampanyekan ke khalayak masyarakat.
Dakwah yang memperhatikan subtansi agama, maka tidak akan lahir dua penyakit utama yang bersemayam di sosial media: penyangkalan dan penegasian terhadap liyan. Penyangkalan adalah dengan menganggap bahwa hanya kelompoknya saja yang benar, yang lain adalah salah. Akibatnya, penegasian terhadap orang/kelompok lain dengan memberikan cap kafir, sesat, bidah, masuk nereka, sembari diiringi tindakan ujaran kebencian, hoax, caci-maki menjadi hal yang lumrah dijumpai, terutama di media sosial. Kedua sikap ini mengakibatkan dis-harmoni: kedamaian rusak, rasa persaudaraan hilang, toleransi absen, dan tanggujawab sebangsa dan setanah air memudar.
Dakwah dengan penekanan terhadap nilai terdalam dari setiap agama akan melahirkan anak bangsa yang berkarakter. Berkarakter dalam pengertian menghargai sesama manusia; tidak mempertentangkan antara Keislaman dan Keindonesian. Justru berusaha merawat kedua-duanya. Bila penekanan terhadap nilai-nilai inti dari agama dan terus menerus untuk mengampanyekannya maka akan tercipta genarasi yang beradab; mencintai sesama, dan menyayangi yang lain.
This post was last modified on 10 September 2020 4:29 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…