Narasi

Mengantisipasi Radikalisme di Sekolah

Belum lama ini tindakan terorisme telah menggegerkan kita lagi. Tepatnya ialah adanya ledakan bom panci yang terjadi di Taman Pandawa dan aksi teror di kantor Kelurahan Arjuna, Cicendo, Kota Bandung, Senin (27/2/2017) pagi. Sebelumnya, pada pertengahan Januari 2017, tindakan terorisme juga telah terjadi di di Thamrin, Jakarta Pusat. Bahkan dikabarkan juga sempat terjadi baku tembak antara polisi dengan teroris.

Itulah adalah dua contoh dari sekian banyak tindakan terorisme yang pernah terjadi di negara ini. Masih terdapat banyak contoh yang agaknya tidak perlu disebutkan satu-satu. Penulis yakin, semua tindakan itu masih tersimpan rapu dalam memori pikiran kita. Dan itu agaknya susah dilupakan mengingat betapa bengisnya tindakan terorisme, yang sepanjang sejarang telah membahayakan peradaban manusia. Karena itu, ia disebut sebagai extraordinary crime (kejahatan yang luar biasa).

Masih maraknya tindakan terorisme yang mengemuka mengisyaratkan secara tegas bahwa terorisme masih menjadi ancaman dan musuh nyata bagi kita semua, bangsa Indonesia. Kita tentu sepakat bahwa ini adalah tindakan biadab. Sudah semestinya kita bersama-sama untuk memeranginya. Ini bukan pilihan, tetapi keharusan. Agar, cita-cita luhur kita untuk hidup dalam kedamaian terlaksana.

Berbiacara tentang terorisme, tentu tidak bisa terlepas dari radikalisme. Sebab terdapat asumsi bahwa terorisme berawal dari pikiran radikal. Sebagaimana diungkapkan oleh Fauzi (2011) bahwa jarak antara radikalisme dan terorisme itu tidak terlalu jauh. Jika berkeinginan memberantas terorisme dengan serius, Fauzi meminta masyarakat agar mengawasi radikalisme dengan sungguh-sungguh dan menyadari bahayanya sedini mungkin.

Dalam perdebatan akademik, tindakan ini dilatarbelakangi oleh banyak hal. Umi Sumbulah misalnya, dalam bukunya “Islam ‘Radikal’ dan Pluralisme Agama” (2010), menyebutkan beberapa penelitian terkait dengan radikalisme. Pertama, penelitian Machasin, yang berkesimpulan bahwa akar teologis kekerasan agama antara lain dapat dilihat pada konsep jihad, memerangi orang kafir, dan totalitas Islam, yang banyak dirumuskan era peperangan, namun tidak dibaca secara komprehensif.

Kedua, penelitian Ilyas yang menggunakan perspektif normatif, menyatakan bahwa sikap gerakan Islam radikal terhadap agama-agama lain, berbasis pada teologi eksklusif yang dikembangkannya, sebagaimana interpretasi Qutb terhadap al-Qur’an 2: 62 bahwa keimanan yang absah dan menjamin keselamatan hanyalah Islam. Dengan demikian, keimanan Yahudi dan Nasrani telah kehilangan keberlakuannya, pasca kerasulan Muhammad dengan risalah Islamnya. Juga penelitian-penelitian lainnya dengan hasilnya masing-masing yang tidak disebutkan di penelitian ini.

Tidak saja latar belakangnya yang beragam, cara penyebarannya pun juga demikian. Muslih (2015: 88) mengatakan bahwa para pendukung paham radikalisme menggunakan berbagai sarana dan media untuk menyebarluaskan paham radikalisme. Adapun sarana dan media tersebut di antaranya ialah: melalui pengkaderan organisasi, mentoring agama Islam,  pembinaan Rohis SMA/Sederajat, kegiatan siswa yang tergabung dalam Kerohanian Islam (Rohis), melalui masid-masjid yang berhasil “dikuasai”, melalui majalah, bulletin, dan booklet., melalui penerbitan buku-buku, dan melalui media internet, serta lainnya.

Radikalisme di Sekolah

Dan pada kesempatan ini, penulis tergelitik untuk membahas radikalisme yang berkembang di sekolahan. Ini tak kalah penting. Sebab, ternyata tidak sedikit pelajar yang mengamini tindakan radikal. Sebagaimana yang diungkapkan Rokhmad (2012), yang mengemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta, bahwa penelitian yang dilakukan antara Oktober 2010 hingga 2011 terhadap guru PAI dan siswa (SMP dan SMA) di Jabodetabek, menunjukkan bahwa 49 % siswa setuju dengan aksi radikalisme demi agama.

Selanjutnya yang lebih mutakhir lagi, sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang tentang radikalisme, yang respondennya adalah kalangan pelajar (47471 orang) di Kota Tangerang. Mereka menemukan bahwa data sebanyak 74 % dari responden menyetujui paham teroris. (www.nu.or.id, 05/06/2017)

Hal itu tentu sangat mencengangkan. Betapa tidak, dengan mereka menyepakati dan mengamini paham radikalis-teroris, tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka akan melakukan perbuatan yang sama. Pendeknya, mereka berpotensi jadi calon-calon teroris di masa yang akan datang. Betapa itu tidak kita kehendaki.

Agaknya adanya fenomena bahwa pelajar mengamini adanya paham radikalisme-terorisme memang tidak terlepas dari lingkungan dekatnya. Besar kemungkinan mereka memang terfasilitasi bahkan diajarkan untuk demikian. Dalam hal ini, salah satu yang memungkinkan adalah adanya kurikulum yang mendukung, terlepas dari faktor yang lainnya.

Hal ini nampak diamini oleh Abu Rokhmad, salah satu dosen di UIN Walisongo. Dalam penelitiannya yang berjudul: “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal (2012),” yang mengkaji buku bahan ajar siswa tingkat SMU/Sederajat pada tiga sekolah di Semarang, ia menyimpulkan bahwa memang ada muatan radikalisme yang ada pada bahan buku siswa. Muatan radikalisme tersebut ialah adanya statemen yang dapat mendorong siswa membenci atau anti terhadap agama dan bangsa lain. Jika yang terjadi demikian, maka bisa disimpulkan sementara bahwa lembaga pendidikan berpeluang besar menjadi penyebar benih radikalisme.

Antisipasi

Fenomena adanya banyak pelajar yang mengamini paham radikalisme sepatutnya perlu mendapat perhatian dengan seksama. Ini tidak bisa dianggap remeh, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak terjadi. Oleh sebab itu, perlu kiranya para pemangku kebijakan untuk mengambil langkah strategis sedini mungkin.

Dalam konteks kurikulum misalnya, pemangku kebijakan bersedia untuk menyeleksi lagi kurikulum yang telah ataupun akan dilaksanakan. Kemudian juga perlu kiranya melakukan penataran kepada guru-guru di sekolah, dan/atau guru kepada orang tua pelajar, agar proaktif memantau anak-anaknya.

Jika ada indikasi bahwa anak memiliki pemahaman radikal, perlu kiranya dilakukan treatment khusus kepadanya. Dan tentunya, ini juga dibutuhkan keahlian khusus. Pihak sekolah dan orang tua harus mampu melakukannya. Termasuk di antaranya mengajarkan, misalnya, bahwa Islam adalah agama penuh kedamaian.

Selain itu yang tak kalah penting ialah memperkuat jiwa kebangsaan anak. Salah satunya ialah penguatan keyakinan, serta penghayatan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara, beserta implikasi yang melekatnya. Untuk melakukan ini, agaknya diperlukan kurikulum yang mendukungnya. Sekali lagi, butuh kerja sama antara pemerintah, lembaga sekolah, dan orang tua, agar fenomena ini tidak semakin tumbuh dan berkembang subur. Wallahu’alam

Kumarudin

Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Uin Walisongo Semarang dan Aktifis HMI

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

23 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

23 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

23 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

23 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago