Faktual

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad di salah satu kota di Suriah, Aleppo, pada hari Minggu (1/12/2024).

Kelompok pemberontak itu didominasi Hayat Tahrir-al-Sham (HTS). Sebelum mengadopsi nama itu pada tahun 2017, kelompok tersebut dikenal sebagai Jabhat al-Nusra. Kelompok yang  secara tak lamgsung dipersenjatai oleh Amerika Serikat (AS) dan didukung Türki itu, kerap disebut sebagai cabang Al Qaeda di Suriah.

Kelompok ini berkembang menjadi salah satu faksi utama pemberontak yang ingin menjatuhkan pemerintah Presiden Bashar Assad selama Perang Saudara Suriah. Namun, pada tahun 2016, pemimpin kelompok tersebut, Abu Mohammed al-Jawlani, secara terbuka memutuskan hubungan dengan Al Qaeda, membubarkan Jabhat al-Nusra, serta mendirikan organisasi baru yang diberi nama Hayat Tahrir al-Sham atau HTS.

Meski telah berpisah dengan Al-Qaeda, secara ideologi maupun pandangan keagamaan HTS masih serupa dengan mantan induk organisasinya itu. Baik HTS maupun Al-Qaeda, berbasiskan pandangan Salafi-Jihadi yang merupakan bentuk ‘perkawinan’ aktivisme Ikhwanul Muslimin dengan puritanisme Salafi-Wahabi.
Gerakan ini lahir di medan Perang Afghanistan selama tahun 1980-an, dan menjadi sponsor terorisme di seluruh dunia. Termasuk Indonesia.

Perang Saudara Suriah yang meletus sejak 2011, mempertajam radikalisasi gerakan ini hingga melahirkan gerakan baru dalam peta ekstremisme-terorisme dunia, yakni ISIS. Pasca Perang Saudara Suriah 2011, gerakan teroris yang muncul di Suriah turut menjadikan Indonesia target serangan.

ISIS pun dideklarasikan di Indonesia pada 16 Maret 2014 di Bundaran Indonesia, Jakarta. Pada 2015 dideklarasikan organisasi dengan nama Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) sebagai payung utama pendukung ISIS dan pemasok warga negara Indonesia yang mau ‘berjihad’ ke Suriah.

Pada 2018,  pejabat keamanan pemerintah pernah mengungkapkan ada 500-an warga negara Indonesia yang masih bergabung dengan ISIS di Suriah dan 500-an yang sudah pulang ke Indonesia. Dan faktanya, beberapa pelaku bom bunuh diri di Surabaya adalah alumni ISIS di Suriah. Perang Saudara Suriah dipandang sebagai ‘medan jihad’ oleh kelompok teroris yang turut memicu munculnya aksi terorisme di Indonesia.

JAD juga merupakan wadah dari gerakan teroris bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso/Abu Wardah yang berbasis di Poso serta Bima (NTB).
Tujuan kelompok ini adalah menegakkan syariat Islam versi mereka, dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Kelompok pro ISIS lainnya adalah Al Muhajirun. Dua orang anggota kelompok ini terbukti terlibat terorisme dan terkait dengan jaringan Suriah. Pertama, Bahrun Naim merupakan dalang aksi bom di Thamrin dan Kampung Melayu. Kemudian kedua, Muhamad Fahri, pernah memberangkatkan 16 WNI ke Suriah untuk berperang melawan pemerintah Bashar Assad.

Keterkaitan terorisme di Indonesia dengan perang saudara Suriah juga terkonfirmasi oleh temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa tahun lalu. Kala itu, BNPT menyampaikan terdapat 545 orang Indonesia yang menjadi teroris  dan masih berada di zona konflik Suriah dan Irak.

Habibie Center pun pernah mengungkapkan data bahwa sejak 2010 hingga 2022, ada sekitar 22 anak yang terkait berbagai kasus terorisme di Indonesia. Pada kurun waktu yang sama, ada sekitar 132 anak pulang dari Turki, Suriah, serta Irak.

Fakta-fakta itu seharusnya membuka mata kita, bahwa kebangkitan kelompok teroris di Suriah saat ini merupakan ancaman tak langsung bagi Indonesia. Jejaring kelompok teror di negeri ini dengan Suriah, berpotensi kembali aktif seiring dengan kebangkitan Hayat Tahrir-al-Sham baru-baru ini.

Maka, Pemerintah Indonesia perlu merespons kebangkitan terorisme di Suriah dengan memperkuat ideologisasi. Dalam proses ideologisasi itu, pembumian Pancasila yang merupakan penawar paling efektif dalam menangkal ekstremisme serta terorisme, harus dilakukan dengan lebih terstruktur, masif dan sistematis.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus memperkuat dukungan diplomatik terhadap Pemerintah Suriah di forum-forum internasional. Sebagaimana yang dilakukan negara-negara seperti Rusia, Iran dan Aljazair, Indonesia harus menegaskan dukungannya pada Pemerintah Suriah yang sah dibawah kepemimpinan Presiden Bashar Assad.

Dukungan itu bisa diwujudkan dalam aksi-aksi diplomasi pemerintah Indonesia di forum internasional, sebagaimana dukungan yang Indonesia berikan pada Palestina selama ini. Pemerintah Suriah dan Indonesia memiliki musuh yang sama, yang membangun jaringan kuat dalam melancarkan aksi-aksi terorisme. Sudah seharusnya Pemerintah Suriah dan Indonesia juga membangun sinergi yang kuat dalam menumpas terorisme.

Hiski Darmayana

Recent Posts

Mereduksi Fetakompli Radikalisme dengan Berislam secara Logis

Ada statment yang selalu diserukan oleh kelompok radikal. Bahwasanya: “Khilafah itu adalah bukti kegemilangan peradaban…

21 jam ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

2 hari ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

2 hari ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

3 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

3 hari ago

Membongkar Nalar Fetakompli HTI; Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…

3 hari ago