Sebentar lagi perayaan natal segera tiba, saudara-saudara Nasrani kita tentu menyambut hari besar ini dengan penuh suka cita dan pengharapan, karena Natal adalah peringatan lahirnya Isa yang diyakini sebagai juru selamat, yang menuntun manusia menuju keselamatan dan kasih Tuhan. Terlepas dari perbedaan keyakinan tentang posisi Isa al Masih dalam keimanan umat Nasrani dan Muslim, umat dari kedua agama tersebut sejatinya adalah saudara. Keduanya lahir dari budaya monotheisme yang sama, yakni budaya yang dicetuskan secara lantang pertama kali oleh Ibrahim/Abraham.
Khusus untuk konteks Indonesia, sejarah telah menunjukkan betapa perbedaan tidak pernah menjadi halangan untuk menggalang persatuan, justru dengan perbedaan itu bangsa ini dapat terus bergerak maju menjalani takdir “Bhinneka Tunggal Ika”-nya. Karenanya, munculnya penolakan terhadap perayaan natal menjadi sesuatu yang terkesan aneh; tidak bersetuju dengan perayaan natal tentu boleh-boleh saja, apalagi jika hal ini menyangkut prinsip keimanan, namun jika ketidaksetujuan tersebut di-’bablaskan’ ke sikap pelarangan terhadap perayaan, tentu sudah sangat berlebihan.
Umat Nasrani memiliki hak dan kebebasan yang dilindungi oleh undang-undang untuk mengekspresikan keimanannya, sehingga tidak ada alasan untuk melarang mereka menunjukkan suka cita dan syukur di hari besar mereka. Apalagi para ulama dan cendikiawan Muslim telah dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada larangan dalam agama (Islam) untuk mengucapkan selamat natal, terlebih jika konteks yang digunakan adalah penghormatan dan persahabatan.
Namun, apa yang kita saksikan saat ini justru sangat bertentangan dengan semangat penghargaan dan perdamaian yang dibawa agama. Beberapa ormas yang gampang cemas dan beringas bahkan telah terang-terangan menyatakan akan melakukan sweeping terhadap perayaan natal, seolah perayaan natal adalah perkara kriminal.
Selain aneh, pelarangan terhadap perayaan Natal sebenarnya sudah sampai pada taraf yang membosankan. Hampir di setiap akhir tahun, publik diseret baik untuk sekedar menjadi penonton atau bahkan terlibat langsung dalam perdebatan usang tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal, padahal semakin sering perdebatan ini terjadi, semakin menunjukkan bahwa perdebatan tidak lagi mengenai ‘isi’, melainkan sekedar pasang aksi agar dikira trendi.
Selain usang, perdebatan tentang boleh tidaknya mengucapkan natal nyatanya juga sangat minim informasi; mereka yang getol menyatakan haram mengucapkan selamat natal lebih banyak mengumbar klaim kebenaran daripada dalil tegas keagamaan. Seolah klaim kebenaran dapat menggantikan dalil keagamaan. Padahal jika ditilik dari sisi agama, tidak ada larangan tegas baik dalam alquran maupun hadist yang melarang mengucapkan natal, rasul juga tidak pernah melarang hal itu. Sehingga perdebatan seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi, lagipula ‘menyelamati’ tidak berarti ‘mengimani’; mengucapkan selamat natal tidak berarti mengimani natal.
Hal lain yang juga mengkhawatirkan dari kambuhnya perdebatan musiman ini adalah terkelupasnya keindonesiaan sebagian masyarakat kita, utamanya mereka yang terjangkit keharaman mengucapkan natal. Bangsa ini adalah bangsa yang besar karena menjunjung tinggi keragaman, dimana perbedaan tidak diberangus habis melainkan justru dijadikan landasan untuk kehidupan yang harmonis. Karenanya menolak keragaman berarti menolak takdir “Bhinneka Tunggal Ika” bangsa ini seperti disinggung di atas.
Keruhnya perdebatan plus tudingan-tudingan pengkafiran atas perkara ucapan natal ini merupakan pertanda bahwa kita sedang krisis ruang publik sehat; perbedaan pemikiran tidak lagi ditanggapi sebagai masukan dan bahan diskusi, melainkan tantangan perang dan kekacauan di sana-sini. Sehingga respon ‘paling umum’ untuk perbedaan pemikiran adalah tudingan pengkafiran atau bahkan ancaman pembunuhan. Apalagi jika perdebatan sudah meruncing pada ranah teologis, hamburan klaim lebih sering membahana daripada dalil-dalil kuat agama. Sehingga kerap kali perdebatan dalam ranah teologis hanya terperosok pada dua pilihan sempit, setuju atau kafir! Padahal pelarangan mengucapkan selamat Natal juga disesaki dengan berbagai pertanyaan non-teologis yang perlu dijawab. Semisal, mengapa klaim ustadz ‘A’ harus diikuti? Adakah motif lain dibalik pelarangan ini? atau mengapa perayaan natal dilarang padahal di waktu bersamaan mereka juga menikmati liburan natal dan diskon besar-besaran menyambut natal?
Mereka yang mengusung dua pilihan sempit di atas terlalu kentara sedang mencari muka, utamanya para ustadz ganas yang hanya keluar di saat ada gosip panas. Hal ini jelas terlihat dari sibuknya mereka mencari-cari kambing hitam untuk disalah-salahkan, mulai dari mbak-mbak SPG di mall sampai pegawai SPBU yang mengenakan atribut khas Natal, semuanya disalahkan. Seolah mas-mas ustadz itu lupa bahwa mereka (termasuk si ustadz) sama-sama sedang mencari rejeki. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa perdebatan terkait natal sudah bukan lagi tentang inti ajaran, melainkan hanya jor-joran unjuk kekuatan.
Meski demikian, awetnya perdebatan musiman adalah pertanda nyata tentang adanya orang-orang yang masih betah –dalam bahasa Gus Dur– merawat rasa curiga. Karenanya menghormati perbedaan saja tidak cukup, karena hal itu tidak akan sampai pada ranah mengasihi, melindungi, dan tumbuh bersama. Yang kita perlukan saat ini adalah aplikasi nyata atas takdir kita bersama sebagai bangsa yang berbeda-beda tetapi satu jua, karena di atas semua perbedaan itu kita adalah saudara, meminjam istilah Prof. Irfan Idris, saudara berarti “sama-sama masih butuh udara”.
Kita tentu tidak ingin terus-terusan disibukkan dengan perdebatan-perdebatan remeh temeh seperti ini, masih ada banyak hal penting dan menarik lainnya yang perlu kita lakukan untuk memajukan bangsa ini, bukan malah tenggelam dalam adu kemlinthi sesama anak negeri. Jangan sampai kita mengalami hal ini; bangsa lain sudah menciptakan jutaan penemuan mutakhir, kita masih sibuk lempar-lemparan klaim kafir…
Ah, semoga saja tidak.
This post was last modified on 22 Desember 2015 12:45 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…