Categories: Narasi

Menolak Pulang Kombatan ISIS eks WNI

WNI yang sebelumnya bergabung dengan ISIS, lalu sekarang meratap dan berharap agar pemerintah RI memulangkannya, merupakan tindakan yang bersesiko jika pemerintah sampai melakukannya. Bukan semata-mata soal keamanan, tetapi pada identitas WNI tersebut.

Para WNI kombatan ISIS itu, dari segi istilah atau penggunaan bahasa, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ISIS eks WNI, bukan WNI eks ISIS. Sebab, dengan mereka (WNI) bergabung dengan ISIS, atau berada di negara lain dan melakukan aktivitas militer tanpa seizin presiden atau lembaga otoritas pemerintah RI, sesungguhnya telah menyebabkan kewarganegaraanya hilang atau lepas.

Berdasarkan Pasal 23 UU RI No. 12 tahun 2006, tentang Warga Negara Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: (a) memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; (b) tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; (c) dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;

Baca Juga : Sesal “Hijrah” Ke “Negeri Khilafah”

(d) masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; (e) secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; (f) secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; (g) tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; (h) mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya;

Atau (i) bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Dari keterangan di atas, dapatlah dimengerti bahwa keinginan kombatan ISIS eks WNI tidak bisa secara otomatis kembali pulang ke bumi pertiwi. Mereka secara prosedural dan legal-formal, bukan lagi sebagai WNI, tetapi warga ISIS. Dalam hal ini, ISIS dipersepsikan sebagai negara, bukan gerakan separatis.

Dan jika masih ada yang meragukan penamaan ISIS sebagai gerakan separatis, artinya bukan negara, sehingga dianggap tidak membatalkan kewarganegaraannya, tapi tetap bahwa mereka berada di negara Irak dan Suriah, dan telah melakukan apa yang disebutkan oleh Pasal 23 UU RI No. 12 tahun 2006.

Karena itu, apa yang telah dilakukan para kombatan ISIS eks WNI sejatinya menjadi perhatian kepada kita semua atas “iming-iming” hijrah atau negara khilafah. Belajar dari pengalaman para korban, Nada Fedulla, misalnya.

Dalam sebuah wawancara di BBC, Selasa (4/2/2020), Nada Fedulla mengaku dibawa oleh ayahnya ke Suriah sejak 2015 silam. Saat itu, dia masih duduk di bangku sekolah dan harus merelakan cita-citanya menjadi seorang dokter.

“Saat masih sekolah, saya bercita-cita menjadi dokter dan saya sangat senang belajar”, kata Nada kepada BBC. Menurutnya, dia tak tahu bahwa sang ayah akan membawanya ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Selain Nada, ayahnya juga membawa anggota keluarga mereka yang lain, termasuk sang nenek. Namun kini, penyesalan Nada, yang menginginkan di(pulang)kan oleh pemerintah RI menjadi cerita yang tidak menyelesaikan masalah. Semoga menjadi pembelajaran bagi kita untuk tidak terpengaruh oleh ideologi khilafah.

This post was last modified on 12 Februari 2020 3:26 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago