Narasi

Mensyukuri Nikmat Kebhinnekaan

Kita tahu bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta mengoptimalkan akal secara baik, untuk kemaslahatan semesta itulah sejatinya insan kamil (manusia paripurna).

Tetapi mayoritas di antara kita ini lalai akan nikmat itu. Bahwa manusia diciptakan dengan sempurna serta diciptakan dalam bentuk yang berbeda-beda, bersuku-suku, yang bertujuan saling mengenal, sehingga mampu mengemban tugas sucinya yaitu khalifah fil-ardh (wakil Tuhan di muka bumi). Tentu kalau sudah menyandang predikat wakil Tuhan di bumi, otomatis dan seharusnya manusialah yang berperan mengelola bumi dan seisinya untuk kemanfaatan penuh perdamaian.

Tetapi kondisi bangsa kita sekarang jauh berbeda dari cita-cita ideal di atas. Kondisi kebangsaan kita ini lagi mengalami ujian maha dahsyat. Yaitu fitnah, propaganda, yang bertujuan mengoyak keutuhan NKRI. Seolah ada yang menginginkan kebhinekaan Indonesia itu robek dan pecah, sehingga Indonesia menjadi negara gagal. Mengapa demikian? apakah kita akan meniru kejahatan permusuhan dan pembunuhan pertama di muka bumi, yakni permusuhan sampai pembunuhan Qabil terhadap Habil. Hanya karena dengki, iri hati, merasa qurbannya tidak diterima, maka Qabil dengan kejam membunuh Habil. Inilah kekejaman manusia pertama, karena pengaruh Iblis.

Maka dari itu, kita harus selalu menggunakan daya kritis kita untuk berpikir maksimal, serta selalu memohon petunjuk kepada Allah. Sehingga iblis tidak gampang merasuki kita. Seperti dalam firman Allah sebagai berikut:

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta (al-Furqon 25/73).

Menurut Ahmad Hasan dalam tafsirnya al-furqon, orang yang menerima ajaran Tuhan secara membabi buta itu munafik. Cara yag benar adalah dengan menggunakan daya kritis, dengan understanding (pemahaman mendalam). Kita mengetahui bahwa salah satu sinyalemen paling umum mengenai masyarakat ialah suatu persepsi mengenai agama  yang dogmatis, tidak ada kritik dan ruang untuk berpikir. Makanya saya tertarik dengan jargon NU bahwa mengikuti orang itu jangan yang qaulan (literal) tetapi harus manhajan (epistemologi berpikir). Jadi, mengikuti orang atau guru itu harus mengedepankan cara berpikir yang mendalam, tidak hanya sekedar ucapan literal saja untuk ditelan mentah-mentah.

Dalam risalah kiai Hasim Asy’ari  al risalah al nahy  ‘an muqata ‘at al arham wa al qarub wa al-ihwan. Ini risalah larangan bagi kita memutus tali persaudaraan, hanya karena perbedaan paham. Misalnya dalam risalah itu disebutkan,  bahwa antara Imam Syafi’i (w 204 h) berbeda dengan gurunya seribu masalah. Dan antara Abu Hanifah (w 150) dengan Imam Malik (w 179), yang keduanya dalam perbedaraan pemikiran Islam  ar-ra’yi dan ar-riwayah, berbeda sekitar 13 ribu masalah. Kiai Hasyim berkata; tidk ada saling permusuhan, saling mengumpat, dan tidak ada saling menyatakan orang lain sesat.

Nah, itulah sedikit contoh kearifan dan kebijaksanaan dari tokoh bangsa yang harus diteladani oleh semua pemuda. Contoh di atas harus kita sebarkan di media maya, saya kira oknum atau kelompok ektrimis-radikalis tidak mengetahui contoh figur altruistik (kerakyatan) ini, sehingga mereka menjadi liar dan serampangan dalam memaknai Islam itu sendiri.

Maka salah satu langkah yang harus kita tempuh adalah membangun media berperadaban (civilized). Pengguna media saat ini, kebanyakan tidak berkeadaban. Mengapa demikian? Karena mayoritas pengguna media maya tidak mengilhami, dan tidak menjiwai makna media. Seharusnya media maya digunakan untuk kampanye perdamaian, menebar persaudaraan, demi keutuhan NKRI. Bukan malah seperti sekarang, seolah media maya sebagai tempat paling jitu untuk menebar fitnah, serta merobek tatanan kebhinekaan yang sudah final.

Padahal setiap manusia menginginkan hidupnya damai dan tenteram, serta kebutuhan hidupnya terpenuhi. Saya tertarik dengan teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Apabila salah satu kebutuhan manusia versi Maslow ini ada yang belum terpenuhi, pasti dalam diri manusia terjadi split personality.

Pertama, kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik. Kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Kedua, kebutuhan akan rasa aman, diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan dan kebebasan dari mengancam seperti perang, terorisme, penyakit, takut, cemas, bahaya, kerusuhan dan bencana alam dan ganasnya hasutan di media maya. Ketiga, kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa kasih sayang. Kebutuhan ini meliputi dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan untuk dekat pada keluarga dan kebutuhan antar pribadi seperti kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta dalam kedamaian. Keempat, kebutuhan akan penghargaan. Di sini Maslow membagi menjadi dua, yaitu kebutuhan rendah dan tinggi. Kebutuhan yang rendah adalah kebutuhan untuk menghormati orang lain, kebutuhan akan status, ketenaran, kemuliaan, pengakuan, perhatian, reputasi, apresiasi, martabat, bahkan dominasi. Kebutuhan yang tinggi adalah kebutuhan akan harga diri termasuk perasaan, keyakinan, kompetensi, prestasi, penguasaan, kemandirian dan kebebasan. Kelima, kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi yang dimilikinya. Tentu harapannya aktualisasi diri ini harus kita arahkan pada kebaikan universal.

Nah, dalam situasi kebangsaan yang rumit ini, ada diktum menarik, pertama in crucial thing unity, artinya kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting, kedua, there will always be a solution to any problem , setiap masalah pasti ada solusinya. Maka, kita semua harus mensyukuri nikmat kebhinekaan bangsa ini, dengan senantiasa menjaga dan merawatnya. Saya kira seluruh elemen bangsa harus menahan emosi, dan selalu bersikap bijaksana. Bahwa kita harus sadar bahwa rajutan kebhinekaan itu sudah final dan paripurna. Jangan sampai kita bisa diadu-domba lewat media maya oleh kelompok yang ingin mengoyak keutuhan dan kebhinekaan NKRI. Wallahu a’lam

Lukman Hakim

Penulis adalah Peneliti di Sakha Foundation, dan aktif di gerakan perdamaian lintas agama Yogyakarta serta Duta Damai Yogya.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago