Narasi

Menuju Dunia Maya Bebas Isu SARA

Fenomena dunia maya disesaki isu SARA bukanlah berita palsu (hoax). Terlebih tahun ini merupakan tahun yang “tepat” untuk menggoreng isu SARA karena ada 171 pilkada yang akan berlangsung pada tahun ini.

Yasraf Amir Piliang, membeberkan bahwa media massa tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut. Artinya, maraknya portal-portal sebagai media untuk mempengaruhi publik merupakan untuk tujuan tertentu, menyebarkan SARA, misalnya. Portal-portal tersebut digoreng melalui media sosial seperti FB, IG, Youtube, Twitter, dan lain sebagainya.

Masih menurut Piliang, bahwa kepentingan sebuah media tidak terlepas dari dua kepentingan utama, yaitu kepentingan ekonomi (economy interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest). Padahal, ada yang lebih utama dari dua kepentingan tersebut, yakni kepentingan publik. Publik harus dicerdaskan dan diberi informasi sebenar-benarnya.

Namun, sebagaimana yang sudah berjalan, yang justru mendominasi dan kuat adalah kepentingan ekonomi dan politik. Dan kondisi ini pula lah, menjadikan suatu media tidak netral, jujur, adil, dan objektif. Di sinilah, isu SARA diproduksi. Ngeri sekali, bukan? Namun itulah yang saat ini terjadi.

Sulit dipungkiri bahwa dunia maya yang di dalamnya ada media online yang berkuasa memainkan peran penting dalam upaya bersama membangun masyarakat sipil yang lebih beradab dan berkemajuan.

Secara bersamaan, dunia maya, yang saat ini menjadi corong masyarakat digital, juga memiliki pengaruh kuat dalam membentuk pola pikir masyarakat. Melalui uraian dalam bentuk tulisan, gambar, dan video, pembaca secara otomatis akan ikut terbawa arus uarain yang bersangkutan.

Bisa dibayangkan, ketika dunia maya disesaki oleh konten-konten negatif yang lebih mengedepankan SARA, maka saat itu juga potensi permusuhan yang mengarah pada kekerasan sulit dihindari. Terkait hal ini, Indonesia punya sejarah pahit karena SARA menguat. Saling hujat antara kelompok satu dengan golongan atau suku lain merupakan hal yang biasa.

Lantas, bagaimana kita menyikapinya? Adakah jurus mujarab untuk membersihkan dunia maya dari sampah informasi seperti jualan SARA? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidaklah gampang. Selain butuh perenungan dan waktu panjang, juga diperlukan keterlibatan seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Meskipun demikian, ada beberapa langkah taktis dan praktis supaya dunia maya tidak dijejali isu SARA.

Pertama, membuat peacemaker. Orang atau kelompok yang membuat dan selalu menyebarkan perdamaian harus diperbanyak dan perkuat. Dukungan pemerintah melalui program-program yang mengarah dan seleras pada hal ini patut dikawal secara maksimal. Selain tugas utama itu, kelompok peacemaker ini adalah mendamaikan pihak yang berselirih.

Mengingat lapak jualan SARA lebih condong di dunia maya, maka peacemaker juga fokus di dunia maya. Mengintai dan mengawasi akun-akun medsos dan website yang sering memproduksi provokasi melalui isu-isu SARA. Bersamaan dengan itu juga memproduksi konten anti-SARA.

Kedua, melawan lupa. Jika kita mengamati terkait perilaku orang Indonesia, maka akan kita dapati bahwa salah satu ciri-ciri orang Indonesia adalah hangat-hangat tai ayam. Pernyataan ini sangat mudah dibuktikan, salah satunya dari pengalihan isu. Jadi, mudah sekali menggiring opini masyarakat Indonesia ke opini yang lainnya. Misalnya, hari ini ada peristiwa heboh dan secara bersamaan menjadi fokus utama sebagian besar masyarakat. Namun fokus berita heboh ini tidak akan bertahan lama, terlebih jika ada peristiwa heboh lainnya, maka peristiwa heboh yang pertama hilang begitu saja.

Begitu juga dengan penyebaran SARA. Indonesia mempunyai sejarah berdarah yang berkaitan dengan SARA. Ada konflik antar suku di Sampit (2001), konflik antar agama di Ambon (1999), konflik antar golongan seperti Ahmadiyah dan Syiah, dan masih banyak lainnya.

Nah, sudah saatnya kita melawan lupa. Dengan cara seperti ini, masyarakat akan berfikir keras untuk memunculkan atau memainkan isu SARA di media sosial. Sebab, sebagaimana yang sudah-sudah, isu SARA sangat berpotensi besar menimbulkan kegaduhan yang berakhir pada perpecahan.

Setidaknya melalui dua cara di atas, dunia maya akan terbebas dari SARA. Jika sudah demikian, maka energi segenap penduduk di negeri ini akan optimal. Puncaknya, tidak hanya perdamaian di dunia maya yang tercipta, namun juga kenyamanan di dunia nyata. Semoga!

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

20 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

20 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago