Demokrasi itu seperti mengebor papan. Keberhasilannya ditentukan oleh seberapa tajam mata bor, setebal apa papannya, dan keterampilan sang pengebor. Ilustrasi itu disampaikan oleh Marx Weber, sosiologi kawakan. Ia menggambarkan proses demokrasi itu seperti mengebor papan.
Papan yang tebal, bisa ditembus cepat, jika mata bornya tajam, dan tukang yang mengebor itu jago. Sebaliknya, meski papannya tipis, jika mata bor tumpul, dan skill tukang pas-pasan, maka dibutuhkan waktu lama untuk menembus papan tersebut.
Dalam demokrasi, papan itu adalah negara. Papan yang tebal, berarti negara dengan jumlah penduduk banyak. Papan tipis artinya negara berpenduduk sedikit. Mata bor merujuk pada keberadaan pilar demokrasi seperti pers dan masyarakat sipil, sedangkan keterampilan mengebor kita ibaratkan sebagai pengalaman dalam menerapkan demokrasi.
Jika merujuk kondisi Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta, bisa dikatakan papan yang akan dibor itu sungguh tebal. Sementara mata bor kita, yakni pilar demokrasi kita seperti keberadaan media massa yang netral dan independen, belum sepenuhnya terpenuhi. Media massa hari ini justru kerap kalah dengan media sosial yang kebanyakan berisi hoaks dan kebencian.
Ditambah pula, ketrampilan mengebor kita masih medioker alias seadanya. Bagaimana tidak? Kita menerapkan demokrasi yang sesungguhnya baru pasca Reformasi 1998 yang artinya baru dua dekade. Tentu, dengan pengalaman sesingkat itu, demokrasi kita belum bisa dikatakan sempurna. Disana sini masih banyak kekurangan. Misalnya, masih tingginya angka golput dalam tiap penyelenggaran Pemilu.
Narasi Kegagalan Demokrasi
Sayangnya, oleh kaum radikal fenomena kekurangan dalam pelaksanaan demokrasi itu kadung dibingkai ke dalam narasi negatif, yakni kegagalan demokrasi. Demokrasi di Indonesia dicap sepenuhnya gagal, salah satunya hanya karena tingginya angka golput. Padahal, golput adalah fenomena demokrasi yang dilatari oleh multifaktor.
Setidaknya ada dua macam golput, yakni ideologis dan teknis. Golput ideologis adalah sikap tidak memberikan hak suara karena berkeyakinan bahwa tidak ada calon pemimpin yang cocok atau layak dipilih. Golput ideologis juga kerap dilatari oleh pandangan bahwa penerapan sistem demokrasi belum ideal dan masih banyak kekurangan.
Sedangkan golput teknis lebih dilatari oleh kondisi dimana pemilih tidak memungkinkan untuk memberikan hak suara. Seperti kesalahan administrasi yang menyebabkan pemilih tidak terdaftar oleh KPU. Atau kondisi lain, seperti pemilih yang merantau atau tinggal di tempat yang berbeda dengan domisili KTP. Juga faktor teknis lainnya. Dalam konteks Indonesia, jumlah golput yang dilatari problem teknis ini jauh lebih banyak ketimbang golput ideologis.
Meski demikian, kaum radikal seolah menutup mata pada fenomena itu. Bagi mereka, demokrasi itu merupakan sistem kufur. Maka, mereka selalu mencari celah untuk mendelegitimasi sistem demokrasi. Termasuk dengan menyebar narasi demokrasi gagal.
Meraka inilah yang disebut sebagai kaum toxic, alias kelompok yang menebar racun dalam sistem demokrasi kita. Apa yang mereka lakukan selalu tidak jauh dari upaya mempengaruhi publik agar tidak percaya pada demokrasi dan pemerintahan yang sah.
Mengidentifikasi Kaum Toxic
Ciri kaum toxic itu setidaknya bisa diidentifikasi dari sejumlah hal. Antara lain, pertama sikap benalu, yakni mendompleng hidup di sebuah negara, namun justru anti pada ideologi dan konstitusi yang berlaku di negara tersebut.
Kedua, sikap hipokrit alias munafik sekaligus manipulatif. Yakni kerap mengkamuflasekan gerakannya di balik jubah agama, padahal sebenarnya sarat kepentingan politik. Ketiga, gemar mengadu domba sesama masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintahan yang sah. Mereka tidak ingin relasi horisontal dan vertikal kuat. Sebaliknya, mereka ingin negara mengalami kerapuhan dari dalam.
Ciri-ciri kaum toxic itu kiranya bisa kita lihat dari sepak terjang khiafahers alias parap pengasong ideologi khilafah. Khilafahers adalah penumpang gelap demokrasi dan benalu bangsa. Mereka mendelegitimasi pemerintahan yang sah dan membungkus gerakannya dengan kemasan agama. Kaum khilafahers ini selalu memanfaatkan momentum politik untuk menarik simpati publik.
Kaum khilafahers ini tidak boleh diberi ruang gerak untuk bermanuver. Kita wajib membatasi pergerakannya. Jangan berikan panggung pada mereka. Kita wajib menyelamatkan demokrasi dari ancaman kaum khilafahers yang dikenal toxic. Edukasi ke masyarakat tentang hakikat demokrasi sebagai proses haeus terus dilakukan. Dengan begitu, masyarakat akan semakin kritis menyikapi setiap isu yang berkembang.
Dalam setiap ekosistem, keberadaan kaum toxic akan selalu menjadi beban. Dalam lingkungan pekerjaan, keberadaan owmf toxic akan menghambat produktivitas. Di lingkungan pertemanan, kaum toxic selalu menjadi akar permusuhan. Dalam berbangsa atau bernegara, kaum toxic adalah musuh dalam selimut yang menggerogoti bangsa dari dalam. Kaum toxic ini harus diartikan agar bangsa dan negara ini tumbuh sehat dan bermartabat.
This post was last modified on 5 Desember 2024 10:52 AM
Prinsip “Dar’ul Mafasid Muqaddamun 'Ala Jalbil Mashalih (menolak kemudharatan lebih utama ketimbang mewujudkan kemaslahatan)” merupakan…
Di era media sosial yang serba cepat dan dinamis ini, moderasi beragama menjadi sebuah kebutuhan…
Di Indonesia, tokoh agama memiliki posisi strategis dalam menjaga keutuhan bangsa. Sebagai pemimpin spiritual, mereka…
Era digital membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara kita memahami dan…
Pancasila, yang konon disebut-sebut sebagai dasar negara, tak pernah menyematkan istilah agama di dalamnya, meskipun…
Peristiwa mengejutkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah yang dipelopori Hayat Tahrir-al-Sham (HTS) berhasil mengusai…