Narasi

Merajut Aktivisme Digital Pengawal Pancasila

Survei APJII menunjukan bahwa pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 143,26 juta dari populasi penduduk Indonesia saat ini 262 juta. Rata-rata lama mengakses internet setiap hari berkisar 1-7 jam. Gambaran tersebut mengonfirmasi bahwa dunia maya saat ini bisa dikatakan sebagai wahana ruang interaksi, komunikasi dan informasi penting bagi masyarakat. Tapi, ironisnya, ruang dunia maya tersebut seringkali dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang ingin menyebarkan paham-paham intoleransi dan radikalisme. Bahkan media sosial dimanfaatkan untuk memainkan opini publik sehingga masyarakat terbelah. Selain itu, sudah banyak bukti yang menjelaskan bahwa media sosial ikut mempercepat proses radikalisasi bila seseorang terus terpapar pesan radikal dalam jumlah banyak dengan frekuensi tinggi.

Oleh sebab itu, untuk meredam pemanfaatan media sosial bagi penyebaran paham radikalisme yakni mengajak semua elemen anak bangsa hingga simpul komunitas untuk bersama-sama menjadi relawan digital. Artinya, relawan digital yang bisa menjadi pengawal dan sekaligus penyebar konten nilai-nilai Pancasila hingga semangat perdamaian. Jika dilacak hal itu bisa terwujud, mengingat semangat berkorban dan kepedulian dalam nalar publik terutama generasi milenial masih tetap bersemayam.

Bahkan dalam catatan sejarah, fenomena voluntarisme (relawan) sebenarnya bukan hal baru, karena semangat ini telah hadir dan menyatu dalam tradisi lama yang masih kuat di Indonesia. Sebut saja budaya gotong-royong dalam kegiatan pembangunan rumah, sarana sosial, perkawinan, maupun kematian. Semangat voluntarisme inilah yang kemudian menarik publik untuk berpartisipasi dalam asosiasi sukarela yang tidak hanya untuk mendukung kepentingan semata. Tapi juga untuk menemukan makna hidup, mengekspresikan identitas sosial, serta berkontribusi pada kesejahteraan orang lain (Becker dan Dhingra, 2001).

Jadi tidak heran bila, dekade terakhir banyak bermunculan para relawan digital atau yang lebih dikenal dengan aktivisme digital terutama di media sosial. Mereka kemudia bertransformasi menjadi buzzer, follower hingga influencer Pancasilais. Selain itu mereka juga cukup getol menyebarkan pesan-pesan perdamaian dengan balutan nilai-nilai Pancasila. Bahkan tidak lupa mereka juga memproduksi beragam konten kreatif yang bernafaskan nilai-niali Pancasila, keberagamaan dan kebangsaan dengan model kekinian.

Baca juga : Relawan Milenial, Generasi Penggerak Perdamaian di Dunia Maya

Artinya, gerakan non-partisan seperti yang ditunjukkan oleh para aktivisme digital tersebut bisa mendorong perubahan dari luar sistem tertama digital, yang selama ini belum mampu menghasilkan perubahan yang signifikan. Dengan demikian, upaya merajut aktivisme digital di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kebangkitan kelas menengah yang menandai kembalinya partisipasi publik tanpa sekat agama, etnis atau ras (primordialisme). Inilah yang kemudian menciptakan asosiasi sipil secara spontan dengan mengedepankan kepercayaan publik tanpa intervensi pihak manapun. Disini kepercayaan (trust) sangat diperlukan guna membentuk integrasi sosial, antara citizen dan lembaga-lembaga demokratis yang dinamis dalam sebuah asosiasi (Cohen, 1999).

Menariknya, aktivisme digital ini digerakkan oleh sebuah harapan dan keinginan untuk membumikan nilai-nilai Pancasila dan semangat kebangsaan dalam ranah digital. Dengan dilandasi filosofi bahwa semua perubahan diawali oleh kepedulian, para relawan digital diharapkan dapat membangun pemahaman bersama sebagai agen perubahan yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi upaya membumikan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial. Artinya, para aktivisme digital ini bisa menjadi agen utama bagi upaya untuk membangun wacana tandingan melawan kelompok-kelompok yang anti pancasila dalam ranah digital.

Selain itu, aktivisme digital dapat menjadi ikon dan bagian dari bentuk aktualisasi warganet diruang publik dunia maya. Ruang tersebut adalah arena non struktural, dinamis dan egaliter yang memungkinkan semua orang dapat berpartisipasi dan berpendapat melalui jejaring online. Dengan begitu, aktivisme digital dapat menjadi salah satu bagian dari suplemen kita untuk terus mengembangkan nilai-nilai pancasila agar bisa beradapatasi dengan era kekinian. Sebab selama ini pemahaman nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan yang selama ini hanya diberikan masih sebatas pada kajian fakta dan bukan konsep dasar. Dengan kata lain hadirnya upaya merajut aktivisme digital dapat menjadi salah satu jalan tengah bagi mengenalkan dan membumikan nilai-nilai Pancasila kepada warganet. Dengan begitu bisa dikatakan, dengan hadirnya aktivisme digital dapat menjadi inspirasi bagi generasi milenial untuk kembali bersama-sama menjadi pengawal Pancasila dijagat digital.

Bambang Arianto

View Comments

Recent Posts

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

18 jam ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

18 jam ago

KH. Syukron Makmun: Singa Podium, Pelestari Akidah Ahlussunnah, dan Konter Wahabi

Di tengah ketegangan antarumat Islam akibat ikhtilaf mengenai hukum musik, yang diprakarsai oleh Wahabi dan…

18 jam ago

Gotong Royong: Menangkal Cacat Paham Individualisme Agama

Indonesia berdiri di atas keragaman sebagai salah satu pondasi utamanya. Oleh karena itu, keragaman itu…

18 jam ago

Noktah Hitam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia Dalam Kacamata Umat Beragama

Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia saat ini tidak dalam keadaan “baik-baik saja”.…

2 hari ago

Toleransi Bukan Sekedar Menghormati, Tetapi Menjamin Hak yang Berbeda

Egoisme beragama adalah salah satu penghambat dalam membangun harmoni sosial antar umat beragama. Fenomena ini…

2 hari ago