No peace among the nations without peace among religions. Kutipan itu dinukil dari pemikiran Hans Kung, teolog dan pengkaji agama yang masyhur di kalangan pegiat studi keagamaan. Kung mewanti-wanti bahwa pluralitas agama di sebuah negara memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, pluralitas agama bisa menjadi modal sosial untuk membangun bangsa. Namun, pluralitas agama di sisi lain juga potensial menimbulkan perpecahan, konflik bahkan kekacuan sosial.
Sebagai negara dengan penduduk multikultur dan multireliji, Indonesia tentunya tidak lepas dari potensi konflik dan perpecahan akibat pluralitas agama. Beruntungnya, kita sudah memiliki tradisi toleransi agama yang kuat. Kultur toleran dalam artian menghargai dan mengakui perbedaan merupakan karakter dasar masyarakat Indonesia sejak dulu. Masing-masing daerah, suku dan kelompok masyarakat di Indonesia memiliki kearifan lokal yang sejalan dengan prinsip toleransi.
Di kultur masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta misalnya dikenal istilah “tepo seliro” yang artinya kurang lebih sama dengan bersikap toleran. Ungkapan tepo seliro ialah pengakuan atau deklarasi bahwa kehidupan manusia itu tidak tunggal, alih-alih beragam. Kokohnya bangunan toleransi yang dibingkai dalam falsafah Pancasila itulah yang membuat bangsa Indonesia sampai saat ini masih utuh.
Radikalisme Pasca Reformasi
Sulit dibayangkan bagaimana mengelola negara sebesar, seluas dan semajemuk Indonesia jika tidak dilandasi kultur toleransi yang kuat. Meski demikian, kita tidak bisa menepuk dada dan jemawa dengan kondisi saat ini. Diakui atau tidak, ancaman perpecahan dan konflik berlatar agama masih menghantui Indonesia. Dua dekade pasca-Reformasi ini kita menyaksikan sendiri munculnya anasir yang berusaha memecah-belah bangsa dengan memakai isu perbedaan agama.
Dua dekade Reformasi, gerakan radikal keagamaan tumbuh subur di ruang publik kita. Kaum radikal keagamaan memanfaatkan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dihadiahkan gerakan Reformasi untuk menyebarkan pandangannya yang anti-kemajemukan. Alhasil, seperti dapat kita lihat saat ini, arus konservatisme dan intoleransi kian menguat seiring dengan kian naiknya fanatisme keagamaan. Oleh karena itu, upaya merawat kemajemukan dan kultur toleran itu harus terus-menerus dikuatkan. Terlebih dalam konteks pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Seperti kita tahu, pandemi telah melahirkan berbagai problem sosial-multidimensional. Pandemi tidak hanya berdampak pada sisi kesehatan publik, namun juga merambah ranah ekonomi, sosial dan keagamaan. Pandemi telah melahirkan krisis sosial-kemanusiaan yang akut. Dan seperti kita ketahui pula, krisis sosial dan kemanusiaan rawan ditunggangi oleh kelompok radikal untuk menebar kekerasan dan teror dengan mengatasnamakan agama.
Merawat Kultur Toleransi
Merawat kultur toleran kala pandemi, dengan demikian merupakan sebuah keharusan jika bukan keniscayaan. Tempo hari, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, telah memberikan teladan penting ihwal merawat kultur toleransi. Yakni dengan memberikan ucapan selamat hari raya pada penganut baha’i yang notabene merupakan agama minoritas di Indonesia. Langkah mengakui kaum minoritas ini merupakan bagian penting dari merawat kultur toleransi. Sebagaimana disampaikan Paul Ricouer, hakikat toleransi bukan sekedar merangkul kaum minoritas, namun juga memperlakukannya secara adil, setara dan bermartabat.
Merawat kultur toleransi di kala pandemi merupakan hal urgen selain juga menyelamatkan publik dari ancaman wabah penyakit dan menjaga ekonomi agar tetap stabil. Sebagaimana virus corona yang tidak mengenal libur, virus radikalisme tampaknya juga tidak lelah untuk terus menginfiltrasi masyarakat dan bermutasi ke dalam berbagai bentuk. Beragam bentuk radikalisme itu antara lain mewujud pada kehendak untuk mengakafirkan kelompok berbeda serta bersikap intoleran pada kaum minoritas. Inilah yang kita hadapi selama dua dekade era Reformasi berjalan.
Jika merujuk pada tesis sosiolog Peter L. Berger, fungsi agama dalam konteks masyarakat yang multikultural ialah sebagai “the secret canophy” alias semacam “payung suci” tempat bernaungnya segala entitas sosial, politik dan budaya yang beranekaragam. Dari tesis Berger ini kita belajar bahwa meski Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, namun keragaman agama di Indonesia ialah fakta yang tidak terbantahkan. Dan sebagaimana kutipan Hans Kung di awal tulisan ini, keberhasilan kita menjaga perdamaian bangsa sebenarnya terletak pada upaya kita menjaga kohesi dan toleransi antaragama.
Di titik ini, kita patut optimis pada masa depan toleransi dan pluralisme agama di Indonesia. Jika menengok ke belakang, bangsa ini bisa dikatakan kenyang dan kaya pengalaman mengelola keragaman identitas agama. Sejak era kejayaan Nusantara, nenek-moyang kita telah terbiasa hidup di tengah kemajemukan dan berhasil mengelolanya. Hari ini, fakta sejarah itu menjadi warisan yang sangat berharga. Tinggal bagaimana generasi penerus sekarang merawat dan menjaganya.
This post was last modified on 3 Agustus 2021 1:40 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…