Keagamaan

Merayakan Kelahiran Nabi : Argumentasi Dalil dan Ekspresi Tradisi

Kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan momentum lahirnya kesempurnaan lslam. Hari kelahiran beliau dinantikan oleh semua penduduk bumi langit dan bumi. Sebab cahaya kelahiran itu memberikan pancaran kesempurnaan terhadap kehidupan seluruh mahluk di alam semesta.

Kelahiran imam para Nabi dan Rasul membawa keberkahan bagi alam semesta, kebahagiaan dan kegembiraan. Satu-satunya manusia yang diberikan kekuatan oleh Allah bisa menolong manusia yang lain. Pertolongan itu di dunia berupa keselamatan dari “kebodohan beragama” (Jahiliah fid Dien), sementara di akhirat adalah pertolongan (syafaat) ketika hari perhitungan amal yang menentukan seseorang selamat atau celaka.

Tak heran, jika kemudian umat Islam merayakan hari kelahiran beliau yang disepakati oleh para ahli sejarah Islam tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal yang kemudian masyhur dengan istilah Maulid Nabi. Ada banyak ragam bentuk perayaan Maulid Nabi sebagai ekspresi dari kegembiraan dan cinta. Karena sebagai ekspresi cinta, seluruh kemampuan dan kekuatan dicurahkan untuk yang dicintai.

Mencermati Dalil

Tidak hanya umat Islam, Nabi sendiri memperingati hari kelahiran beliau dengan berpuasa di hari itu, yakni hari Senin. Menandakan bahwa hari kelahiran Nabi Muhammad tidak hanya diagungkan oleh umat Islam, namun Nabi Muhammad sendiri memperingatinya sebagai bentuk syukur kepada Allah.

Diriwayatkan dari Abi Qatadah al Anshari, Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu diturunkannya al Qur’an kepadaku. (HR. Muslim).

Pesan hadits di atas, memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad merupakan anjuran sehingga beliau sendiri juga memperingati dengan cara berpuasa. Lebih jauh, sesungguhnya bergembira dengan kelahiran Rasulullah sebenarnya merupakan perintah dari Allah sebagaimana bunyi ayat berikut.

“Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmat-Nya (Nabi Muhammad SAW) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira”. (QS. Yunus: 58).

Sayyid Muhammad al Maliki al Hasani dalam Ikhraj wa Ta’liq fi Mukhtasar Shirah an Nabawiyah, menjelaskan bahwa bergembira dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW sangat dianjurkan. Ekspresi kegembiraan menjadi indikator kecintaan seseorang terhadap Baginda Nabi. Sebab dengan cinta seseorang akan dengan senang hati mengikuti teladan dari yang dicintai.

Tidak hanya itu, kecintaan dan kegembiraan terhadap hari kelahiran Nabi Muhammad SAW akan memberikan manfaat luar biasa. Bahkan orang kafir sekalipun akan mendapatkan manfaat (pertolongan) sebab bergembira dengan kelahiran Nabi.

Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Bari menulis, Abu Lahan mendapatkan keringanan siksa setiap hari Senin sebab ia gembira atas kelahiran Rasulullah. Riwayat ini berdasar pada hadits-hadits Nabi, seperti termaktub dalam Shahih Bukhari, Sunan al Baihaqi al Kubra, dan lain-lain.

Dengan demikian menjadi jelas dasar atau dalil memperingati Maulid Nabi. Tidak perlu dipersoalkan apalagi diragukan. Justru, yang perlu dipertanyakan adalah dalil mereka yang menyalahkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ekspresi Maulid dengan Akulturasi Budaya Lokal, Salahkah?

Bid’ah. Kata yang kerap muncul sebagai sikap anti perayaan Maulid Nabi. Di Indonesia, ada banyak ragam perayaan Maulid Nabi. Sebagian ada yang memadukan dengan budaya lokal. Hal ini yang seringkali dijadikan alasan, Nanti tidak pernah melakukan sehingga merupakan suatu bid’ah. Suatu cara pandang sempit dalam menyikapi pola hubungan agama dengan budaya lokal.

Bagi mereka yang memiliki kemampuan ilmu agama secara baik perayaan Maulid Nabi dengan budaya lokal sebagai media, bukanlah sesuatu yang salah. Justru, menjadi sarana yang baik untuk menterjemahkan ajaran Islam yang sempurna. Dengan kata lain, perayaan Maulid Nabi menjadi momentum memperkenalkan kesempurnaan Islam. Perayaan Maulid Nabi bisa menjadi media untuk mengenalkan Islam Kaffah kepada umat Islam melalui sejarah beliau yang dibaca di setiap perayaan Maulid Nabi.

Pemahaman terhadap sejarah Nabi secara lengkap memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman agama Islam secara totalitas, tidak parsial sehingga tidak mudah terjebak pada pemahaman keagamaan yang sempit. Sebab bagaimanapun, distorsi pemahaman terhadap agama membawa efek negatif seperti suka menyalahkan orang lain, mengkafirkan dan menuduh murtad.

Dengan membaca sejarah Nabi kita menjadi mengerti, bagaimana Nanti cara Nabi bergaul dengan non muslim, sikap toleran beliau terhadap non muslim dan teladan beliau sewaktu memimpin Madinah yang masyarakatnya multikultural. Keragaman penduduk Madinah dibingkai oleh Rasulullah dengan merumuskan sebuah kesepakatan bersama sebagai undang-undang negara dan mampu mempersatukan penduduk Madinah yang multi agama, suku, etnis dan golongan.

Kembali pada cara umat Islam dalam memperingati Maulid Nabi yang beragam ekspresi. Tentu, bukan suatu kesalahan, apalagi dianggap melanggar syariat Islam. Sebagai contoh, pada perayaan Maulid Nabi disuguhkan beraneka makanan, buah dan minuman. Hal itu justru nilai plus tersendiri, sebab bersedekah di bulan Rabiul Awal sangat dianjurkan.

Imam Suyuthi berkata, amalan pada bulan Maulid sebaiknya dibatasi pada aktifitas yang menandakan sebagai bentuk syukur kepada Allah. Di antaranya, membaca al Qur’an, membaca shalawat, pembacaan sejarah Nabi, puji-pujian kepada beliau dan berbagi makanan. (As Suyuthi: 64).

Alhasil, praktek perayaan Maulid Nabi yang selama ini kita lihat sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Justru, menjadi media efektif mendekatkan umat Islam kepada Nabi Muhammad, lebih mencintainya, sehingga bisa meneladani Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Disamping sebagai pahala, perayaan Maulid Nabi mendorong upaya pemahaman yang sempurna terhadap agama Islam. Sebab pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW ada banyak pelajaran berupa pemahaman sejarah kehidupan Rasulullah.

Melekatkan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan tradisi lokal akan lebih mudah  menginternalisasi nilai-nilai ajaran Islam ke dalam setiap budaya atau tradisi masyarakat. Dengan demikian, ajaran Islam yang sempurna akan mudah dipahami dan melingkupi setiap individu tanpa harus menyingkirkan budaya atau tradisi masyarakat tersebut.

This post was last modified on 29 September 2023 5:00 PM

Abdul Hakim

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

19 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

19 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

19 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

19 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago