Aksi 411 yang digelar Front Persaudaraan Islam (FPI) pada 4 November di depan Istana Kepresidenan Jakarta kembali menandai kehadiran organisasi yang dulu bernama Front Pembela Islam (FPI) yang dulu telah dibubarkan oleh pemerintah. Dalam aksi ini, mereka membawa sejumlah tuntutan yang cukup provokatif, yaitu mendesak agar Presiden Joko Widodo diproses hukum, menuntut penangkapan pemilik akun Kaskus bernama ‘Fufufafa,’ serta menangkap calon wakil gubernur Suwono yang berpasangan dengan Ridwan Kamil.
Kembalinya FPI dalam bentuk nama baru ini memicu pertanyaan mendalam di tengah masyarakat: apakah organisasi ini benar-benar membawa misi menegakkan keadilan dan moralitas atau justru menyingkap kembali bahaya politik identitas serta tekanan sosial berbasis sentimen agama? FPI, dengan segala kontroversinya, dikenal sebagai organisasi yang secara terang-terangan menyuarakan isu-isu moralitas dan agama. Setelah dibubarkan pada tahun 2020, kemunculan kembali FPI dengan aksi semacam ini menunjukkan bahwa pengaruh mereka masih cukup kuat, terutama dalam memainkan isu-isu yang menyentuh emosi.
Sebagai organisasi yang mengklaim berdiri di atas prinsip-prinsip Islam, FPI sering kali memposisikan diri sebagai pembela moralitas dan hukum agama di Indonesia. Namun, dalam konteks politik modern yang demokratis, peran organisasi semacam ini sering kali menimbulkan ketegangan sosial dan perpecahan di antara masyarakat yang beragam, terutama ketika tuntutan mereka tidak lagi berada dalam kerangka hukum yang adil dan inklusif, tetapi lebih sebagai alat untuk memperkuat ideologi tertentu dan mengintimidasi pihak lain.
Aksi 411 ini, yang disebut oleh pihak FPI sebagai bentuk “jihad konstitusi,” seakan mengisyaratkan bahwa mereka ingin menampilkan diri sebagai pembela konstitusi dan keadilan. Namun, tuntutan mereka agar Presiden Joko Widodo diproses hukum tanpa alasan yang jelas dan desakan untuk menangkap individu anonim di dunia maya seperti pemilik akun Kaskus ‘Fufufafa’ memunculkan pertanyaan: apakah ini murni demi keadilan atau justru bentuk tekanan sosial dan politik untuk mewujudkan agenda politik tertentu di Indonesia?
Menuntut proses hukum atas seseorang di luar jalur konstitusional, terlebih presiden yang terpilih secara sah, tentu tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan rule of law yang kita junjung tinggi. Desakan untuk menangkap akun ‘Fufufafa’ tanpa dasar hukum yang jelas juga mengarah pada upaya pembungkaman suara di media sosial yang sebenarnya dijamin kebebasannya oleh konstitusi, selama tidak melanggar aturan hukum yang berlaku.
Selain itu, tuntutan untuk menangkap Cawagub Suwono karena candaannya yang dianggap melecehkan Rasulullah adalah contoh lain dari bagaimana isu moralitas dan agama dimanfaatkan dalam konteks politik identitas. Di satu sisi, kritik terhadap pernyataan Suwono adalah hak setiap warga negara, terutama jika pernyataannya dianggap tidak pantas. Padahal, pernyataan hanya sekadar candaan yang tidak disampaikan dalam debat publik, tanpa ada tendensi untuk melecehkan Rasulullah yang merupakan rasul yang juga diyakini Suswono.
Dalam iklim demokrasi yang sehat, perbedaan pendapat adalah sesuatu yang harus dirayakan, dan kebebasan untuk berekspresi merupakan hak dasar yang harus dijamin. Mengintimidasi lawan politik atau masyarakat umum dengan tuduhan pelecehan agama atas dasar interpretasi yang subjektif hanya akan mempersempit ruang publik yang inklusif.
Karena itu, pada konteks ini, kebangkitan FPI patut kita waspadai sebagai panggilan bagi semua elemen masyarakat untuk waspada terhadap politik identitas. Menggunakan agama dan moralitas sebagai alat politik memang efektif, namun risiko yang ditimbulkan jauh lebih besar, yakni perpecahan dan ketidakstabilan sosial. Kita harus menyadari bahwa demokrasi yang kuat bukan hanya tentang siapa yang menang dalam pemilu atau siapa yang berkuasa, tetapi juga tentang kemampuan masyarakat untuk hidup berdampingan dalam keragaman, saling menghargai, dan menghormati perbedaan. Upaya memaksakan satu pandangan moral atau ideologi tertentu atas nama agama justru akan merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Aksi 411 bukan hanya sekadar unjuk rasa dengan tuntutan hukum, tetapi juga menjadi simbol kembalinya FPI dengan misi yang serupa. FPI tetaplah FPI—dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan pendekatan yang penuh semangat namun kontroversial, yang bagi sebagian pihak dianggap berani menegakkan kebenaran, sementara bagi yang lain dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Maka dari itu, kita perlu waspada agar kebangkitan organisasi seperti FPI tidak mengarah pada kebangkitan politik identitas yang sempit. Demokrasi Indonesia akan semakin kuat jika masyarakatnya mampu melihat politik dengan bijak dan terbuka, tanpa mudah terpengaruh oleh narasi yang memecah belah.
Nusantara dikenal sebagai bangsa yang kuat dalam tradisi lisan atau tuturan. Berbagai warisan pemikiran, budaya,…
Banyak klaim, bahwa sejarah kemerdekaan bangsa ini “hanya” diperjuangkan oleh umat Islam saja. Lalu dipelintir…
Tahun 2013, organisasi teror Al-Qaeda in Irak (AQI) resmi berganti nama menjadi the Islamic State…
Membahas sejarah, pada dasarnya, adalah membahas kenangan yang tentunya hanya yang manis-manis yang lazim dimunculkan.…
Anak muda menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam menyambung semangat juang pahlawan bangsa di era…
Di media sosial beredar video rekaman Rizieq Shihab yang menyerukan aksi Reuni Akbar Gerakan 411.…