Narasi

Mudik, Pengingat untuk Kembali Bersatu

Mudik, begitu mendengarnya maka satu hal yang terlintas adalah perjalanan yang menyenangkan menuju kampung halaman ketika lebaran tiba. Kata ‘kampung halaman’ muncul seiring maraknya budaya urbanisasi. Urbanisasi terjadi karena adanya anggapan bahwa mencari sumber penghidupan, terutama uang lebih banyak dijumpai di kota ketimbang di desa. Karena alasan tersebutlah maka banyak sekali masyarakat pedesaan yang berduyun-duyun hijrah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih sejahtera.

Kehidupan di kota yang keras dan materialistis membentuk karakter egois, hedonis, dan penuh ambisi. Seorang yang hijrah dari desa ke kota acapkali terjebak pada pencarian materi semata, namun melalaikan ajaran luhur yang telah ditanamkan di desa. Karakter manusia yang rendah hati, sopan, beradab dan toleran kian hari kian jarang ditemui di kota. Alih-alih menemui yang demikian, justru yang sering kali muncul justru karakter yang penuh kebencian dan intoleran.

Kemajuan teknologi dan segala fasilitas yang ditawarkan kota nyatanya justru lebih banyak memberikan mudharat ketimbang manfaat jika dalam menggunakannya tidak menyertakan nurani. Perkembangan infrastruktur, teknologi, dan penemuan mutakhir di kota yang begitu pesat hanya akan menjadi bom waktu apabila tidak diimbangi dengan adab dan budaya penggunanya. Bagaimanapun, kemajuan tersebut merupakan benda mati yang kebermanfaatannya sangat tergantung kepada manusia sebagai penggunanya.

Penyalahgunaan teknologi mudah sekali kita temui terutama di dunia maya. Salah satu ironi yang mengingatkan kita untuk kembali kepada karakter Bangsa yang beradab, salah satunya ialah berita bohong (hoaks) dan pesan-pesan kebencian masih ramai beredar, bahkan di bulan Puasa sekalipun. Sebagai Bangsa yang terkenal karena tingkat religiusitasnya yang tinggi hal tersebut harusnya menjadi autokritik untuk masyarakat Indonesia di seluruh elemen, mulai dari rakyat jelata sampai dengan para elit.

Elit politik yang syahwat politiknya terlampau besar, seringkali melupakan adab dan budaya bangsa yang santun dan toleran. Mereka justru menggunakan hoaks dan kebencian sebagai bahan bakar guna menumbangkan lawan politiknya. Hal yang demikian tentu tidak mencerminkan karakter Bangsa yang dicontohkan oleh para pendahulu. Jika memaknai mudik sebagai kembali ke asal, maka masyarakat Indonesia yang belakangan ini seperti kehilangan karakternya harus dikembalikan kepada karakter asalnya, yaitu Indonesia sebagai Bangsa yang beradab.

Mudik yang dilakukan ketika lebaran tiba, setelah menjalankan ibadah puasa selama hampir satu bulan lamanya memiliki makna yang dalam. Setelah manusia diuji dengan pelbagai cobaan, rasa lapar dan dahaga serta ujian menahan hawa nafsu lalu diberikanlah hadiah berupa idul fitri yang artinya kembali suci. Jika dikaitkan dengan konteks keindonesiaan, maka setelah banyaknya ujian yang mengombang-ambingkan Bangsa maka mudik ini harus dijadikan sebagai momentum untuk kembali juga kepada karakter Bangsa.

Pepatah Jawa mengatakan mangan ora mangan asal kumpul (makan atau tidak, asalkan bisa berkumpul), arti dari istilah tersebut menunjukkan bahwa mudik lebih dari sekadar untuk pulang ketika lebaran tiba. Dalam kata mudik, mengandung pesan solidaritas dan persatuan. Seperti yang tertuang dalam sila ke-3 Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia, maka tidak ada alasan untuk saling terpecah belah untuk masyarakat Indonesia.

Mudik seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai perjalanan fisik seorang individu saja, akan tetapi juga merupakan perjalanan jiwa untuk kembali ke fitrah manusia Indonesia yang toleran dan cinta akan persatuan. Sebagai individu yang lahir di Indonesia, gotong royong yang menjadi intisari dari Pancasila sangatlah tepat untuk digaungkan kembali, terutama untuk menjawab persoalan Bangsa yang menjurus kepada disintegrasi Bangsa. Secara kolektif seluruh rakyat Indonesia harus mudik kepada karakter Bangsa Indonesia yang sudah lama ditinggalkan karena ambisi-ambisi pribadinya.

Thoriq Tri Prabowo

Alumnus Magister Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Recent Posts

Membangun Ketahanan Nasional Melalui Moderasi Beragama

Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…

6 jam ago

Kembang Sore: Antara Tuhan dan Kehidupan

Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita.   Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…

6 jam ago

Meletakkan Simbolisme dalam Prinsip Agama Bermaslahat

Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…

6 jam ago

Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Di tengah rumah yang runtuh, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan tangis pengungsian yang belum…

6 jam ago

Merawat Bumi sebagai Keniscayaan, Melawan Ekstremisme sebagai Kewajiban!

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…

1 hari ago

Banjir Hoax dan Kebencian; Bagaimana Kaum Radikal Mengeksploitasi Bencana Untuk Mendelegitimasi Negara?

Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang…

1 hari ago