Membubarkan organisasi pengusung khilafah ialah satu hal, namun menumpas ideologinya ialah hal lain. Pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Ormas) yang berbuntut pada pencabutan izin badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), gerakan khilafah seolah kehilangan induknya. Dengan dicabutnya izin HTI, segala kegiatan organisasi itu pun terlarang di mata hukum.
Meski demikian, hal itu tidak lantas memutus jejaring gerakan khilafah. HTI selama ini membangun jejaring di hampir seluruh kelompok dan lapisan masyarakat. Harus diakui hal itu sukar ditumpas begitu saja dengan senjata Perppu Ormas. Terbukti, hingga sekarang wacana khilafah tidak pernah absen dari ruang publik. Nyaris dalam setiap isu sosial, politik dan agama yang mendapat perhatian khalayak, isu khilafah selalu muncul ke permukaan.
Seperti tampak dalam beberapa peristiwa belakangan ini. Pada aksi demonstrasi di depan kantor Kedutaan Besar India di Jakarta misalnya, isu khilafah tidak lupa digaungkan oleh para orator yang berasal dari ormas PA 212 dan FPI. Padahal, demonstrasi itu mengusung isu konflik sektarian di India. Selanjutnya, peristiwa termutakhir terkait kampanye khilafah terjadi pada momentum peringatan 94 tahun berakhirnya kekhalifahan Tukri Usmani yang berlangsung di Yogyakarta. Selasa (3/3/2020) lalu, sejumlah massa di Yogyakarta menggelar aksi peringatan tersebut dengan membentangkan sejumlah poster berisi ajakan kembali ke khilafah.
Tidak hanya di Indonesia, namun juga di banyak negara, para pengusung khilafah dikenal memiliki kemampuan menyebarkan agendanya melalui sejumlah cara. Mereka bisa menyusup ke masyarakat sipil, organisasi keagamaan bahkan institusi pemerintah. Mereka juga dengan cepat mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi sosial-politik di sebuah negara. Ibarat benalu, mereka dengan mudah menempel di pohon, berkembang biak dan lantas menguasai sepenuhnya.
Karakteristik Gerakan Khilafah
Roel Maeijer dalam buku berjudul Global Salafism menyebut, para pengusung khilafah dapat diidentifikasi dari setidaknya dua karakter. Pertama, merekabiasanya menjalankan agendanya melalui propaganda untuk mendelegitimasi kekuasaan pemerintah yang sah. Untuk mendoktrinkan khilafah ke umat Islam mereka akan membangun narasi bahwa pemerintah bertindak sewenang-wenang dan zalim pada kaum muslim. Narasi bertujuan untuk menggerus kepercayaan publik pada pemerintah. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya, maka ideologi khilafah akan dengan mudah menancapkan dominasinya di tengah masyarakat.
Baca Juga : Tentang Corona, Kita Perlu Belajar Solidaritas kepada Wuhan
Kedua, para pengusung khilafah umumnya akan membangun sebuah asumsi bahwa berbagai krisis yang dialami dunia Islam hari ini, mulai kemerosotan moral, keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan ekonomi disebabkan oleh dominasi sistem ekonomi dan politik Barat. Para pengusung khilafah dikenal lihai menyusun teori konspirasi yang secara serampangan menisbatkan Barat sebagai biang dari kemunduran peradaban Islam. Teori konspirasi ini terbukti efektif mencuci otak sebagian umat Islam hingga mempercayai bahwa kejayaan Islam akan kembali diraih melalui pemberlakuan syariat Islam, tentunya di bawah naungan khilafah islamiyyah.
Dua karakteristik itu juga tampak pada sepak terjang gerakan khilafah di Indonesia. Para pengasong agenda khilafah selalu berteriak lantang dari mimbar ceramah atau podium orasi bahwa rezim saat ini telah berlaku zalim dan tidak adil pada kaum muslim. Narasi kriminalisasi ulama dan penindasan pada kaum muslim terus-menerus direproduksi dan disebarluaskan sebagai propaganda menyesatkan. Meski faktanya tidak benar, namun propaganda itu cukup efektif melunturkan kepercayaan publik pada pemerintah. Dalam hal ini, para pengusung khilafah paham betul adagium klasik yang berbunyi “kebohongan yang diucapkan sekali akan diingat sebagai kebohongan. Namun, kebohongan yang diulang-ulang, niscaya akan dianggap sebagai kebenaran”.
Tidak hanya sampai di situ, mereka juga gencar membentuk persepsi publik bahwa bentuk dan dasar negara Indonesia bertentangan dengan Islam. Mereka membangun argumen bahwa NKRI, Pancasila dan UUD 1945 adalah produk manusia yang tidak sesuai dengan ajaran dan nilai Islam. Persepsi itu bertujuan mengajak masyarakat untuk tidak lagi mengakui dan setia pada NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Sebagai gantinya, mereka menawarkan ideologi khilafah sebagai solusi mujarab bagi berbagai macam persoalan yang membelit bangsa dan negara ini.
Khilafah sebagai Produk Politik
Dari segi jumlah, pendukung khilafah di Indonesia memang belum menunjukkan angka signifikan. Secara keseluruhan, sebagian besar umat Islam di Indonesia merupakan muslim moderat yang setia pada NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Namun, melihat betapa masifnya kampanye khilafah di ruang publik, baik di dunia nyata maupun di media sosial, kita sudah sepatutnya meningkatkan kewaspadaan. Terlebih, belakangan ini tampak ada simbiosis mutualistik antara kelompok pengusung khilafah dengan kekuatan politik tertentu.
Jika dibiarkan tanpa ada langkah strategis untuk membendungnya, gerakan khilafah yang sporadis itu bisa menjadi ancaman serius bagi ketahanan bangsa dan negara. Apa yang terjadi di Suriah, misalnya patut menjadi contoh agar kita bisa mencegah embrio gerakan khilafah bertransformasi menjadi monster predatoris yang mengerikan.
Masifnya penyebaran ideologi khilafah terutama di kalangan kaum muda muslim mengindikasikan kegagalan mereka dalam memahami perjalanan Indonesia dari era revolusi kemerdekaan hingga sekarang dan perjalanan peradaban Islam dari era Nabi Muhammad hingga era kontemporer. Disinilah letak pentingnya kaum muda muslim memiliki pemahaman sejarah keindonesiaan dan keislaman yang mumpuni.
Pemahaman sejarah tentang kemerdekaan Indonesia serta perumusan Pancasila dan UUD 1945 penting untuk menyadarkan anak muda bahwa Indonesia lahir atas prakarsa banyak golongan. Berdirinya NKRI dimaksudkan sebagai sebuah “tenda” untuk menaungi beragam entitas masyarakat yang ada di dalamnya. Pada pendiri bangsa yang terdiri dari beragam latar belakang itu mendesain Indonesia sebagai rumah bersama yang menempatkan semua golongan agama dalam posisi sejajar. NKRI, Pancasila dan UUD 1945 merupakan konsensus yang final dan mengikat.
Tidak kalah penting dari itu, kaum muda muslim juga harus memahami sejarah peradaban Islam dari masa ke masa, terutama menyangkut sistem politik (siyasah). Kaum muda muslim harus paham bahwa sepanjang sejarah peradaban Islam dari masa Nabi Muhammad, Khulafa al Rasyidun, era kekhalifahan hingga era modern-kontemporer, suksesi kekuasaan dan sistem politik selalu berbeda-beda. Artinya, tidak ada sistem politik tunggal dalam sejarah peradaban Islam. Hal ini wajar mengingat di dalam Alquran maupun Sunnah tidak ada satu pun ajaran yang menyuruh umat Islam membentuk sebuah negara Islam dengan penerapan hukum syariah. Secara sosio-historis, dapat kita simpulkan bahwa sistem khilafah murni merupakan produk politik, alih-alih produk agama. Sebagai produk politik, sistem khilafah tentunya tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan. Sejarah mencatat bahwa di era kekhalifahan Ummayah dan Abbasiyah yang kerap dijadikan standar ideal pun berbagai persoalan ekonomi, politik, sosial dan agama pun tetap ada. Fakta ini sekaligus mematahkan klaim bahwa khilafah ialah sistem politik yang nircela. Pemahaman sejarah keindonesiaan dan keislaman ini mutlak harus dikuasai oleh kaum muda muslim agar mereka tidak mudah dicuci otaknya oleh para pengasong ideologi khilafah.
This post was last modified on 17 Maret 2020 2:09 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…