“There is nothing permanent except change.” – Filsuf Yunani Kuno, Heraklitus (540-480 SM)
Semua yang ada di bumi, pasti mengalami perubahan. Barang siapa yang berubah menjadi lebih baik, niscaya termasuk orang-orang beruntung. Sebaliknya, siapapun yang mengalami kemunduran perilaku dan sikap, dialah orang yang sesungguhnya merugi. Maka itu, setelah umat Islam mengenyam pendidikan karakter selama sebulan penuh di bulan Ramadan, niscaya karakter-karakter baik yang telah dilatih selama bulan Ramadan harus termanifestasi dalam kehidupan di masa-masa berikutnya, pasca-Ramadan berlalu. Sebab, Ramadan adalah madrasah umat Islam agar menjadi umat beragama yang benar-benar bertakwa –saleh sosial dan spiritual.
Artinya, rangkaian ibadah yang kita jalani selama ramadan, diharapkan dapat menjadikan diri kita layaknya ‘manusia baru’ yang terlahir di dunia. Puasa yang kita laksanakan dari terbit fajar hingga terbenam matahari, menahan lapar dan dahaga sepatutnya memberikan perubahan positif dalam kehidupan. Rasulullah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy).
Kehidupan pasca-Ramadan ini bisa kita sebut dengan ‘New Normal’. Sebab, kehidupan manusia seharusnya tidaklah sama lagi dengan kehidupan-kehidupan sebelum puasa Ramadan dimana mereka belum menempa diri dengan laku saleh spiritual dan sosial. Artinya, jika sebelumnya mereka mudah mempraktikkan perilaku buruk, sekarang mereka lebih banyak menebar kebaikan. Ini menciptakan tata kebiasaan dan pembudayaan laku-laku yang mencerminkan pribadi masyarakat relijius dan beradab. Dalam mempraktikkan kehidupan new normal ini, kita diharapkan senantiasa menjaga ukhuwah, tidak suka menebar kebohongan (hoax), peduli kepada sesama, mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi.
Inilah bentuk spiritualitas dalam ritus puasa yang mewujud dalam kesalehan sosial. Seperti anjuran Nabi Muhammad Saw. agar selalu berbuat baik terhadap sesama. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). Sejauh mana manusia mampu berbuat baik akan menjadi indikator eksistensi manusia sebenarnya. Jika ia tidak berguna, maka sama halnya tidak ada (wujuduhu ka adamihi). Perlu diingat, setiap perbuatan maka akan kembali kepada orang yang berbuat. Seperti kita memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga sebaliknya. Allah Swt. berfirman, “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7).
Baca Juga : Pasca-Puasa, New Normal dan Aktualisasi Kesalehan Transformatif
Apalagi di masa pandemi Covid-19, mempraktikkan kebiasaan-kebiasaan baik yang telah dilakukan selama bulan Ramadan sebagai perilaku ‘new normal’ menjadi sebuah keniscayaan untuk menyongsong kehidupan baru dengan penuh optimisme. Tidak terjebak hoaks Coid-19 serta solidaritas dan kepedulian sesama yang kuat penting untuk mendorong masyarakat Indonesia segera keluar dari penderitaan dampak Covid-19. Apalagi praktik kehidupan ‘new normal’ ekonomi, sosial dan politik dalam masa pandemi Covid-19 sudah digaungkan oleh pemerintah agar krisis tidak berlangsung berlarut-larut. Tentunya, hal tersebut akan menimbulkan evolusi tatanan kehidupan kebangsaan secara menyeluruh.
Tuntutan Adaptasi
Penerapan ‘new normal’ oleh pemerintah atas pandemi Covid-19 menunjukkan ajakan pemerintah agar masyarakat mulai berdamai dengan pandemi Covid-19. Artinya, kehidupan ekonomi, sosial dan politik harus kembali normal dengan kepatuhan penuh atas protokol-protokol kesehatan agar meminimalisasi penularan pandemi Covid-19. Data terakhir tanggal 27 Mei 2020 menunjukkan, kasus positif bertambah 686 orang, sembuh 180 orang dan meninggal dunia 55 orang. Dengan akumulasi kasus positif 23.851 orang, jumlah pasien sembuh 6.057 orang dan meninggal dunia 1.473 orang.
Data tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat penambahan jumlah kasus baru penularan Covid-19. Tak heran, upaya penormalan kembali tatanan kehidupan sosial dan ekonomi banyak ditolak oleh berbagai pihak, meskipun adapula kalangan-kalangan yang mendukung. Akan tetapi, terlepas dari kenyataan tersebut, perlu dipahami bahwa kita dituntut untuk adaptasi dengan keberadaan virus korona baru atau Covid-19 yang mungkin ada di sekitar lingkungan kita.
Keniscayaan adaptasi dengan mempraktikkan ‘new normal life’ pasca pandemi penting diperhatikan agar semua rakyat Indonesia tetap sehat dan tidak tertular virus. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menegaskan, istilah ‘new normal’ lebih menitikberatkan perubahan budaya masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Menurutnya, new normal dalah perubahan budaya, contohnya selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), memakai masker kalau keluar rumah, mencuci tangan dan seterusnya.
Maka itu, yang terpenting sekarang ini kita harus melakukan perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Pandemi Corona mengajarkan kepada kita untuk selalu menjaga kebersihan dalam keseharian. Menjaga daya tahan tubuh dengan selalu mengkonsumsi makanan yang halal dan menyehatkan. Bukan saling curiga bahwa sesama menjadi ancaman serius karena bisa menularkan virus. Dalam konteks tersebut, ‘New Normal Life’ harus dimaknai sebagai bentuk kehati-hatian secara fisik tapi jangan sampai merenggangkan relasi sosial dengan orang lain. Kita menyadari sebagai makhluk sosial tentu tidak bisa hidup sendirian, kita memerlukan bantuan dan pertolongan orang lain dalam menjalani aktivitas keseharian. Itulah sebab, solidaritas ukhuwah harus terus diperkuat di masa pandemi. Agar, sekalipun tatanan kehidupan kebangsaan mengalami evolusi, kita tetap bisa menyongsong kehidupan baru dengan penuh optimisme. Wallahu a’lam.
This post was last modified on 28 Mei 2020 12:48 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…