Narasi

Nilai Kearifan dan Kebhinekaan Bentuk Pesan Cinta Damai di Dunia Maya

Media sosial sebagai dunia baru di era milenial telah membuka ruang interaksi yang tiada batas. Dalam menggunakan akun media sosial, pengguna bahkan bisa memalsukan identitas untuk melakukan tindakan kriminal. Fenomena ujaran kebencian di dunia maya akhir-akhir ini sangat meresahkan. Pasalnya tidak hanya menggoyahkan kerukunan tetapi juga menyebabkan terpecahnya persatuan dan kesatuan. Munculnya potilik identitas di tahun 2016 dengan masa yang sangat besar dengan membawa nama agama mayoritas dalam hal ini islam, memunculkan phobia tidak hanya pada agama islam itu sendiri tetapi juga pada kaum agama minoritas.

Menjelang pemilu raya 2019, kampanye barnada provokatif dengan membawa nama ras, suku dan golongan sengaja  dipublikasikan bahkan kampaye berbau hoaks digencarkan di dunia maya untuk menciptkan gesekan di masyarakat. Agama adalah sesuatu yang sangkral. Agama dan bangsa, agama dan politik adalah sesuatu yang melekat dan tidak bisa dipisahkan. Dalam pembentukan konsep negara di Yatsib misalnya, Nabi Muhammad Saw. menerapkan sistem negara Madaniyah yang disitu Islam dan non islam hidup harmonis. Namun di era modern ini sangat disayangkan ketika islam sebagai agama digunakan untuk mendiskrimiasi kelompok atau golongan lain serta memecah belah umat melalui ujaran kebencian dan berita hoaks untuk meraih sebuah kekuasaan belaka. Di media sosial contohnya, berita hoaks tentang islam di Timur Tengah, Uighur China dan Burma Myanmar digodok di dalam negeri seakan-akan umat islam didiskiminasi kemudian menyalahkan pemerintah karna tidak ikut berperan membela umat islam. Sehingga tak heran jika kemudian orang menganggap wajah islam sebagai agama yang konservatif.

Hilangnya kesadaran akan cinta kasih manusia di dunia maya, tak ayal membuat semakin banyaknya perpecahan di dunia nyata. Konflik antar individu bahkan kelompok tak jarang pecah di dunia maya. Saling adu argumen dengan mengedepankan emosi  tanpa mengklarifikasi berita yang beredar asli atau hoaks bukan malah meredam api tetapi lebih membesarkan api.

Baca juga : Media Sosial sebagai Taman Cinta

Nilai Kearifan dan Kebhinekaan

Perlunya kewarasan jiwa, pikiran dan hati dalam bermedia sosial sangat diperlukan di era milenial. Pengamalan nilai hablum minannas (Hubungan Manusia dengan Manusia) sangat penting di media sosial mengingat manusia dituntut untuk saling menghormati, bekerja sama, tolong menolong, menasehati dan mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama. Pada poin menasehati misalnya, sikap ngalah untuk memerangi konflik, ujaran bernada provokatif sangat diperlukan. Ngalah bukan berarti kita diam, tetapi bagaimana kita kemudian menyikapi dan  menghadapi masalah tersebut dengan kepala dingin dan mencari solutif agar perpecahan di dunia maya dan dunia nyata tidak semakin melebar.

Pendekatan lunak dengan membanjiri media sosial secara kolektif dengan pesan cinta dan damai harus sering dikampanyekan.  Ada dua nilai pendekatan yang dapat diangkat untuk dijadikan bahan menebarkan pesan cinta dan damai di dunia maya. Pertama, mengangkat nilai kearifan lokal berupa tradisi keagamaan, seni kedaerahan, dan budaya ke media sosial dapat meningkatkan kecintaan terhadap warisan bangsa. Pesan damai yang kedua yakni dengan mengangkat nilai Kebhinekaan. Dalam bukunya Miqot Kebinekaan(2017) Helmy Faisal menjelaskan “ Menjamurnya gerakan-gerakan yang ‘’anti liyan’’ akhir-akhir ini disebabkan terhadap realitas kemajemukan yang ada. Kita mungkin sudah lupa bahwa betapa realitas konstruksi keIndonesiaan di bangun atas konsesus perbedaan yang disatukan oleh cita-cita menuju kehidupan yang makmur, merdeka, dan bermartabat’’. Jangan sampai hanya karna kampanye pemilu yang bersifat adu domba kemudian kita menghilangkan kehidupan yang makmur dan martabat. Menghadirkan kembali nilai Kebhinnekaan di media sosial dengan membumikan Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah cara untuk melawan ujaran kebencian, provokatif, politik identitas, perpecahan dan konten yang bersifat eksklusiv serta untuk tetap eksis menjaga marwah Persatuan dan Kesatuan.

Moh Yajid Fauzi

Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Malang semester lima yang aktif di Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah sebagai ketua umum pada periode 2018/2019. Tergabung dalam Komunitas GUSDURian Malang dan Gubuk Tulis.

Recent Posts

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

9 jam ago

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…

9 jam ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

9 jam ago

Belajar dari Viral Pacu Jalur: Dakwah Lokal dan Kreativitas Budaya

Viralnya festival Pacu Jalur di Riau baru-baru ini bukan hanya membanggakan dalam konteks kebudayaan, tetapi juga menyimpan…

1 hari ago

Alarm Kearifan Nusantara: Pulang, Sebelum Terasing di Rumah Sendiri

Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik,…

1 hari ago

15 Tahun BNPT: Siap Jaga Indonesia

Tahun 2025 menandai usia ke-15 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah lembaga strategis penanggulangan terorisme…

1 hari ago