Narasi

Pahlawan Nasional Milenial

Kemerdekaan negara Indonesia tidak lepas dari jasa para pahlawan. Selain dari kalangan nasionalis, pahlawan kemerdekaan juga berasal dari kelompok agamis. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan adalah contohnya. Mbah Hasyim, sapaan akrab Hadratus Syeik Hasyim Asy’ari dikenal dengan resolusi jihad yang mampu membakar jiwa patriotisme umat Islam, khususnya di Surabaya. Sementara, KH. Ahmad Dahlan dinilai sebagai tokoh muslim yang mampu menyadarkan umat muslim Indonesia sebagai bangsa terjajah. Oleh pemerintah, keduanya dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional; Mbah Hasyim tahun 1964 dan KH. Ahmad Dahlan tahun 1961.

Upaya yang dilakukan oleh Mbah Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, dan para tokoh nasional lainnya adalah memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan (fisik). Upaya yang paling mendasar adalah membangun persatuan sehingga tercipta kekuatan besar di dalam tubuh bangsa Indonesia. Para tokoh bangsa terdahulu berusaha menyatukan perbedaan yang ada di dalam tubuh bangsa dalam bingkai ke-Indonesia-an. Hal ini dilakukan karena negara Indonesia terdiri atas beragam suku, ras, budaya, bahkan agama. Tanpa adanya persatuan, dipastikan kekuatan bangsa Indonesia akan dipandang sebelah mata oleh para penjajah. Sementara, dengan adanya persatuan, kekuatan besar dapat dihimpun oleh bangsa Indonesia.

Baca juga : Medan Perjuangan dan Senjata Pahlawan Milenial

Di masa perjuangan serta awal kemerdekaan, para pendahulu telah membuktikan akan kekompakan dalam menjaga persatuan bangsa. Mereka tidak memandang perbedaan yang ada sebagai wahana untuk perpecahan. Justru perbedaan merupakan modal kekayaan yang dapat didayagunakan sebagai alat mengusir penjajah. Dalam bingkai ke-Indonesia-an, mereka rela mengorbankan diri; baik dalam bentuk material ataupun spiritual, bahkan nyawa sekalipun. Di sini, Mbah Hasyim menyerukan dalam resolusi jihad bahwa bela negara merupakan fardhu ain (wajib bagi setiap individu).

Berkat jasa perjuangan dengan bermodalkan persatuan para pendahulu, bangsa Indonesia terbukti dapat merebut kemerdekaan. Dalam perjalanannya, Indonesia terus meningkatkan kemajuan dalam kemerdekaan. Termasuk juga semangat persatuan juga terus dijaga. Kendati demikian, semangat persatuan dalam perbedaan yang ada di Indonesia tidak selamanya berjalan mulus. Ada saja oknum yang selalu mengusik persatuan komponen bangsa dengan beragam dalihnya.

Saat ini, kehidupan generasi milenial tak dapat dilepaskan dengan adanya teknologi terbarukan berupa media sosial (medsos). Mereka secara massif berinteraksi menggunakan medsos bahkan lebih sering dibandikan dengan interaksi langsung. Dengan medsos, tidak sedikit dari kawula milenial secara sadar ataupun tidak telah menanamkan serta menyebarkan virus perpecahan antar-golongan. Bagi kalangan yang sadar, domungkin bahwa mereka memang “penjajah” yang secara sadar memiliki keinginan untuk melemahkan kekuatan persatuan bangsa. Sementara, mereka yang tidak sadar adalah kelompok yang menginginkan eksistensi di hadapan publik dengan (salah satunya) share cepat informasi yang baru saja diterima.

Bermula dari sini, menjadi tugas berat bersama adalah memperjuangkan persatuan di tengah maraknya virus perpecahan di dunia maya. Di sini mestia ada beberapa hal yang mesti dilakukan; Pertama, memberikan pemahaman kepada para “penjajah” akan perilaku negatif merusak persatuan yang dilakukan selama ini. Upaya ini tentu akan mendapatkan resistansi yang cukup besar karena para “penjajah” telah memiliki semboyan tersendiri dalam menggencarkan aksinya. Namun demikian, tantangan besar ini bukan berarti alarm akan pemberhentian amal usaha para pejuang. Justru tantangan berat inilah yang menjadi pelecut semangat untuk terus berjuang. Semakin berat perjuangan yang ditempuh, semakin besar pula jasa perjuangan seseorang. Alhasil, kesempatan menempati surga terindah-Nya juga semakin besar.

Kedua, memberikan pemahaman kepada pengguna medsos yang secara tidak sadar membuat atau menyebarkan virus perpecahan. Mereka mesti mendapatkan pemahaman bahwa medsos hanyalah sarana komunikasi langsung yang sering kali terdapat kekeliruan. Hal ini menjadi wajar karena para pengguna medsos sering kali berkomunikasi dua arah secara spontan. Dengan demikian, bagaikan orang ngobrol, sering kali kata-kata tidak sesuai di lapangan terucapkan. Dan, dalam pada itulah mereka mesti melakukan pengamatan terlebih dahulu atas informasi yang datang. Setelah melakukan pengamatan dan pendalaman informasi, maka dirinya akan bisa memilih untuk mempercayai informasi atau bahkan menge-share ke khalayak atau sebaliknya menolaknya.

Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago