Narasi

Pendidikan dan Kesadaran Multikulturalisme

Upaya pencegahan terhadap paham radikalisme sesungguhnya dapat diantisipasi di antaranya lewat jalur pendidikan yang menekankankan pada kesadaran multikulturalisme. Apalagi, terdapat temuan dari para peneliti yang memberikan informasi bahwa paham radikalisme telah masuk dan menggerogoti pemikiran generasi bangsa dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Pendidikan multikultural (multicultural education) dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pandangan dunia multikultural secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara “Bhinneka Tunggal Ika”, mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan.

Namun demikian, pembentukan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas.

Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural telah cukup lama dirasakan cukup mendesak bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain, yang sejak usainya Perang Dunia II semakin multikultural karena proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut, pendidikan multikultural telah menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an. Berhadapan dengan meningkatnya multikulturalisme di negara-negara tersebut, maka paradigma, konsep, dan praktik pendidikan multikultural semakin relevan dan timely (Azra, 2006).

Keragaman atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Konsep multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, negara tidak mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.

Penting dicatat, keragaman tersebut hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Lebih jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-masyarakat dan negara-bangsa tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik bekrepanjangan. Sebab, pada saat yang sama juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama.

Praktik ril pendidikan multikultural

Karena itu, implementasi dari pendidikan multikultural ini mengidealkan adanya integrasi peran guru, kurikulum, dan sistem lembaga yang sadar multikultural. Misalnya, di lembaga sekolah tingkat dasar negeri/umum, seorang guru dituntut untuk memberikan perlakukan yang sama kepada peserta didik yang beda agama (dengan mayoritas, termasuk gurunya), seperti tidak diskriminasi dalam pemberian nilai ujian. Saat pelajaran agama, seorang guru wajib tidak menunjukkan perlakuan yang berat sebelah, memuji agama yang dianut kalangan mayoritas, dan mendeskreditkan ajaran agama minoritas dengan cara mengolok-olok, membenci, provokasi, dan lain sebagainya.

Begitu pula pada sekolah swasta yang umumnya mempunyai afiliasi kepada kelompok aliran keagamaan tertentu dan ormas Islam. Kesadaran multikulturalisme perlu ditanamkan sejak dini kepada peserta didik, bahwa kita hidup dalam lingkungan yang plural, beda etnis, warna kulit, agama, dan seterusnya, sehingga perlu sikap bijak dengan cara tidak memberikan stereotipe negatif kepada segala sesuatu yang beda dengan kita. Sebab, jika prasangka dan ajaran kebencian ditularkan kepada peserta didik, maka dari sanalah benih radikalisme itu muncul; seseorang akan mudah mencurigai dan membenci setiap perbedaan di sekitarnya.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas, yaitu kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas melainkan berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan berjalan dengan baik.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

21 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

21 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

21 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago