Pendidikan sejatinya membuat manusia lebih menghargai perbedaaan dan memahami keragaman. Sekolah mengarjakan keterbukaan, moderasi, dan kedamaian, bukan ketertutupan, ekstrim, dan kekerasan. Akan tetapi fakta di lapangan, sekolah justru tidak streril dari wabah intoleransi dan virus radikalisme.
Sejumlah penelitian menunjukkan pada satu setu kesimpulan –yang hampir disepakati—bahwa intoleransi dalam dunia pendidikan semakian meningkat. Mulai dari menolak pemimpin beda agama, tidak mau menghormat bendera, pewajiban jilbab, sampai yang terang-terangan mendukung khilafah.
Masuknya intoleransi dinilai masuk dari tiga pintu. Pertama, guru. Pemahaman guru sering menentukan cara bersikap dan bertindak siswa. Kedua, kurikulum yang masih dogmatis-doktriner, tidak memberikan ruang untuk berdialetika dan berimajinasi. Ketiga, kegiatan ekstra yang sarat dengan ideologi tertentu.
Dalam konteks inilah, perlu kembali menyuarakan moderasi di sekolah. Sikap yang tidak ekstrim kanan, selalu menegasikan semuanya; juga tidak ekstrim kiri, menampung apapun dari luar; melainkan bersikap selektif-akomodatif.
Mengajarkan sikap selektif-akomodatif kepada peserta didik, mendapat tantangan tersendiri. Belum lagi adanya kecenderungan cara beragama yang praktis, instan, dan tidak mau ribet, di satu sisi; di tambah penetrasi media sosial –meminjam bahasa Tom Nicholas (Matinya Kepakaran, 2017) – terjadi demokratisasi infomasi, semua orang setara di dalamnya, di sisi lain. Membuat proyek pengarusutamaan moderasi di sekolah mendapat tantangannya tersendiri.
Tantangan
Tantangan pertama, yakni cara beragama yang instan, praktis, dan tidak mau ribet, bisa dilihat dari hasil riset terakhir, bahwa Literatur Keislamaman Generasi Milenial (Pasca UIN Suka Press, 2018) menempatkan buku-buku Islamisme popular sebagai nomor wahid yang paling banyak dibaca kalangan milenial, disusul buku-buku tarbawi, salafi, tahriri, dan jihadi.
Baca Juga : Mencegah Intoleransi dengan Konsep Pendidikan Tan Malaka
Literatur-literatur ini hampir semuanya berbau ideologis dan menampilkan Islam sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Bahkan tak jarang, Islam digambarkan terasa kaku, eksklusif dan ekstrim.
Tantangan ini diikuti penetrasi media sosial, di mana hampir semua kalangan menjadikan medsos sebagai tempat mencari ilmu. Ustad-ustad dan tokoh agama pun bermunculan dengan jumlah banyak.
Dulu, disebut ulama apabila mempunyai kompetensi mengakses kitab muktabarah dan keilmuwan mendalam. Di era digital ini, hanya bermodalkan retorika dan followers banyak serta publikasi yang massif, maka otoritas sebagai tokoh agama sudah diakui milenial.
Literatur Pro-Kebhinekaan
Sumber bacaan milenial dan pergeseran otoritas ini perlu mendapat catatan dari pemerintah. Mengampanyekan moderasi agama tidak bisa lagi dengan cara-cara konvensional-manual, sebab banyak sekali gagasan baru yang ideal, tetapi tidak diiringi dengan kebijakan yang fungsional-kontekstual.
Dalam merespons dua tantangan itu, digitalisasi literatur dengan gaya bahasa popular adalah hal yang urgen dilakukan. Literatur Islam moderat selama ini cenderung –kalau tidak mengatakan semuanya – masih memakai istilah-istilah lama, terlalu serius, kurang gaul, dan tidak memperhatikan audiensnya.
Digitalisasi ini secara bentuk bisa dilakukan dengan sarana-sarana e-book gratis, film pendek, majalah gaul, postingan website yang menghibur yang dibungkus dengan design dan gambar yang berwarna dan bahasa yang membumi. Secara konten dan materi, digitalisasi ini harus menampilkan agama yang ramah dan menghargai perbedaan.
Agama yang tidak eksklusif dan mengklaim keselamatan diri sendiri. Selama ini, materi yang berbasis kemanusiaan dan kebudayaan sangat minim dalam literatur buku agama di negeri ini.
Fazlur Rahman (Islam and Modernity, 1984) menyatakan, bahwa materi agama yang ada di dunia muslim, masih bersifat dogmatig-doktriner. Penekanan terhadap aspek sisi ketuhanan (hablum minnallah) sangan menonjol, sementara sisi kemanusian (hablum minnas) sangan minim sekali.
Penetrasi literatur yang ramah akan keragaman dan tidak anti terhadap perbedaan perlu dilakukan segera. Rahman (1984) mengusulkan empat poin, yakni new kalam, etika-hukum, sosial-humanira, dan filsafat sebagai alternatif-solusi.
New kalam adalah bentuk memformulasikan bentuk teologi yang lebih menghargai manusia dan kemanusian. Belajar tentang ketuhanan bukan untuk tuhan, tetapi lebih proses pembebasan yang melahirkan kedamaian dan harmoni di tengan umat manusia. Etika-hukum adalah pengejawantahan agama yang tidak saklek, hitam-putih, mukmin-kafir, surga-neraka, tetapi lebih kepada sisi akhlak dalam menghargai sesama.
Hal yang sama dengan penekanan pada sisi sosial-humaniora, bahwa agama tidak melulu soal tuhan dan segala turunannya, tetapi ia adalah soal kemunusian dan bagaimana bergaul dan berintraksi dengan kosmos dan kosmis. Filsafat adalah sebagai alat untuk mempertajam daya kritis dan mendalam, tidak mudah termakan hoax dan ujran kebencian.
Empat poin itu harus diformulasikan dengan cara-cara kekinian dengan bahasa kedisinian. Instrument seperti facebook, instagram, twitter, youtube, dan semacamnya harus dimaksimalakan. Penghargaan terhadap sesama, budaya damai, dan saling asah dalam beragama dan saling asuh dalam kehidupan harus ada dalam setiap literatur digital yang diprogrankam. Dengan cara itu, proyek jangka menengah pemerintah selama lima tahun kedepan mendapat bukti konkritnya.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments