Narasi

Mewaspadai Paham Radikalisme Agama di Sekolah

Jagad media kembali dihebohkan oleh berita tentang pembina pramuka yang mengajari anak-anak SDN Timuran, Yogyakarta, menyanyikan yel-yel “Islam, Islam Yes, Kafir, Kafir No!”, Jumat (10/1/20). Akibat peristiwa ini, sontak membuat beberapa orang protes, baik tidak langsung melalui saluran media sosial, maupun langsung, sebagaimana yang dilakukan oleh perwakilan ibu dari anak di sekolah tersebut.

Apa yang dilakukan oleh pembina pramuka itu mencerminkan sikap eksklusivisme secara personal, dan coba “ditularkan” kepada siswa/i sekolah. Artinya, sikap ini dapat dipahami merupakan pandangan yang menganggap orang selain sebagai “kafir” dalam arti negatif, sebagai lawan dari “Islam” yang dimaknai positif.

Pandangan hitam putih dan oposisi biner demikian sungguh sangat bahaya dalam konteks kebhinekaan. Targetnya, seorang anak, sejak dini telah diberi doktrin untuk “memusuhi” orang selain Islam. Jika pola asuh yang seperti ini terus dijalankan, tidak mustahil, akan bermunculan generasi bangsa yang intoleran, menganggap tabu terhadap perbedaan, dan pada akhirnya menganut paham radikalisme, memusuhi dan merongrong dasar ideologi negara.

Radikalisme dalam pengertian umum yaitu suatu paham sosial/politik yang dalam usaha mencapai tujuannya menggunakan cara-cara kekerasan. Sartono Kartodirjo (1985) mendefinisikan gerakan radikal sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa.

Fenomena radikalisme yang sering muncul ke permukaan adalah radikalisme bermotif agama, meski sebenarnya juga bisa terjadi pada level politik, ekonomi, dan lain-lain. Radikalisme atas nama agama yaitu sikap keras yang  diperagakan oleh sekelompok penganut suatu agama, dengan dalih mengamalkan ajaran agama itu.

Dalam konteks keilmuan, kajian tentang radikalisme keagamaan dapat dipahami sebagai gerakan-gerakan yang berusaha merombak secara total (radikal) suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan jalan kekerasan (Azra, 1996).

Kriteria radikalisme agama

Martin E. Marty (1992) membuat kerangka teoritik terkait dengan radikalisme agama yang dicirikan oleh hal berikut. Pertama, fundamentalisme adalah oppositionalism (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan—dalam banyak kasus dilakukan secara radikal—terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama mereka.

Baca Juga : Ancaman Segregasi Sosial di balik Slogan “Islam Yes, Kafir No”

Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Dengan kata lain, kaum radikal menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an misalnya, harus dipahami sebagaimana adanya. Kitab suci diyakini mutlak benar adanya, semantara nalar (rasionalitas) dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.

Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum radikal, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum radikalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya intervensi nalar terhadap teks kitab suci, melainkan juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.

Keempat, penolakan terhadap dimensi historis dan sosiologis agama. Kaum radikal berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari ajaran agama. Perkembangan masyarakat yang seharusnya menyesuaikan kitab suci, bukan kitab suci atau teks yang harus menyesuaikan perkembangan masyarakat.

Dari kriteria radikalisme di atas, apa yang dilakukan oleh pembina pramuka dengan mengajarkan yel-yel “Islam, Islam Yes, Kafir, Kafir No!” kepada siswa/i sekolah, dalam skala ringan, mengarah pada paham radikalisme. Ini perlu dicegah, sebelum terlambat.

Usia sekolah merupakan masa, yang oleh ilmu psikologi disebut usia keemasan (golden age). Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur empat tahun, 80% telah terjadi ketika berumur delapan tahun dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun.

Karena itu, apa jadinya, jika di masa golden age, pemikiran anak usia sekolah dicekoki oleh pandangan eksklusivisme beragama.

This post was last modified on 17 Januari 2020 4:39 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

11 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

13 jam ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

13 jam ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

1 hari ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

2 hari ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

2 hari ago