Kebangsaan

Pengamalan Toleransi di Bulan Suci: Cerita Toleransi Ibu Maria di Kota Surabaya

Salah satu cerita toleransi di bulan suci Ramadhan yang saya ingat adalah kisah dari seorang warga non-Muslim di kota Surabaya, Jawa Timur. Warga tersebut bernama Ibu Maria, yang memiliki warung makanan di dekat masjid di kota tersebut.

Selama bulan suci Ramadhan, Ibu Maria biasanya menjual hidangan khas dari warungnya seperti nasi goreng, mie goreng, dan lain-lain. Namun, ia juga memperlihatkan sikap toleransi yang luar biasa dengan menyiapkan hidangan berbuka puasa secara gratis bagi para jamaah yang sedang berbuka di masjid terdekat.

Ibu Maria merasa bahwa sebagai seorang warga yang tinggal di sekitar masjid, ia juga ingin memberikan dukungan dan penghormatan terhadap pelaksanaan ibadah puasa umat Muslim. Oleh karena itu, ia dengan tulus hati menyiapkan hidangan buka puasa secara gratis setiap hari selama bulan suci Ramadhan.

Tindakan Ibu Maria ini tidak hanya disambut dengan baik oleh para jamaah di masjid, tapi juga menjadi inspirasi bagi warga sekitar yang melihatnya. Banyak dari mereka yang tergerak hatinya dan ikut membantu dalam menyiapkan hidangan buka puasa secara gratis untuk para jamaah di masjid.

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Institute for Democracy and Human Rights di Indonesia (Imparsial), menyatakan bahwa praktik pembagian takjil oleh non-Muslim merupakan salah satu contoh nyata dari kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Menurutnya, praktik ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki toleransi yang tinggi dan memperlakukan sesama dengan baik, tanpa memandang latar belakang agama.

Hal ini juga diamini oleh Budhy Munawar Rachman, pakar ilmu sosial dari Universitas Gadjah Mada, yang menyatakan pembagian takjil oleh non-Muslim menunjukkan bahwa keberagaman agama dapat menjadi kekuatan bagi sebuah negara, bukan menjadi sumber konflik.

Salah satu bentuk filosofi yang dibangun Ibu Maria adalah kesalehan ibadah harus diimbangi secara nyata dengan kesalehan sosial. Karena penekanan kesalehan sosial, sangat dianjurkan dalam agama Kristen. Seperti halnya dalam Matius 25:31-46, Yesus memberikan ajaran tentang pentingnya memberikan makanan, minuman, pakaian, dan perawatan bagi orang-orang yang membutuhkan, sebagai bentuk penghormatan kepada-Nya.

Selain itu, dalam Yohanes 13:34-35, Yesus juga mengajarkan pentingnya kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama sebagai tanda pengikut-Nya yang sejati. Dan dalam Markus 10:45, Yesus mengajarkan bahwa Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.

Tidak hanya dari golongan Kristen, Islam secara spesifik juga mengajarkan hal yang sama tentang kesalehan sosial ini, termasuk nilai-nilai toleransi. Dalam beberapa kisah, Nabi Muhammad saw menjenguk orang sakit yang berasal dari golongan orang Nasrani. Kemudian ada Umar bin Khattab yang secara lembut melindungi rumah ibadah umat Nasrani dari kehancuran.

Cerita-cerita tersebut seolah menasbihkan kepada kita tentang bagaimana pentingnya hubungan sosial itu dibentangkan secara lebar. Dengan celah-celah ajaran dalam agama Islam, termasuk bulan Ramadhan, praktik toleransi itu bisa diperbesar dengan mengembangkan praktik kesosialan. Seperti halnya menolong sesama, berbagi, dan menolong tanpa melihat ras, suku, agama, dan golongan apapun.

Maka seperti contoh Ibu Maria, bulan Ramadhan sudah seharusnya dijadikan loncatan besar untuk menggali benih-benih toleransi. Di bulan inilah umat Non Muslim bisa menunjukkan kepedulian yang lebih kepada umat Muslim dalam berbagai hal, yang salah satunya dengan berbagi. Sebaliknya, umat Islam juga bisa merespon banyak hal yang datang kepada Non Muslim secara positif.

Membalas perbuatan mereka dengan tangan terbuka. Dan siap menyukseskan acara-acara keagamaan yang mereka gelar. Dengan menggunakan cara itulah, tali persaudaraan bisa terikat kuat dengan penguatan nilai toleransi.

Sungguh, bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk membangun ikatan toleransi antar umat. Melalui perayaan keagamaan, kita akan melihat kekompakan antar umat untuk mensukseskan suatu acara, meskipun terdapat perbedaan kepercayaan.

Mayoritas masyarakat Indonesia menilai bahwa balas jasa atau balasan atas kebaikan yang dilakukan oleh seseorang, baik itu Muslim atau non-Muslim, adalah sebuah tindakan yang baik dan patut diapresiasi. Oleh karena itu, banyak umat Muslim yang merespon dengan cara yang sama, yaitu dengan memberikan balasan atau bantuan kepada non-Muslim sebagai bentuk apresiasi atas kebaikan yang telah diberikan. Dengan saling berbalas kebaikan dalam perayaan keagamaan, maka jaminan kerukunan untuk bangsa Indonesia akan terbentuk secara nyata.

This post was last modified on 6 April 2023 1:12 PM

Nur Faizi

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

3 hari ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

3 hari ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

3 hari ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

3 hari ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

3 hari ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

4 hari ago