Narasi

Peran Keluarga dalam Menangkal Propaganda Radikal Dunia Maya

Propaganda yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal di dunia maya kini semakin menjadi. Pesatnya perkembangan teknologi, mereka manfaatkan dengan baik untuk menyebar paham-paham radikal, perekrutan dan mobilisasi, tempat diskusi antar individu maupun kelompok bahkan sampai pengumpulan dana.  Mereka tahu betul bahwa dunia maya menjadi medan perang ideal karena mudah diakses, tidak ada kontrol dan aturan, audiens yang luas, kecepatan informasi, murah dan berbagai keuntungan lainnya daripada perang di dunia nyata. Oleh karenanya, tidak heran jika mereka dengan gencar membuat situs-situs radikal di dunia maya yang jumlahnya tidak sedikit.

Wiemann dalam Terror on The Internet (2006) mengungkapkan data yang mencengangkan terkait perkembangan situs-situs milik kaum radikal di dunia. Pada tahun 1998, hanya terdapat 12 situs milik kaum radikal. Pada tahun 2003, jumlah situ radikal bertambah berkali-kali lipat menjadi 2.650. Jumlah itu naik lagi menjadi kurang lebih 9.800 situs pada tahun 2014. Sungguh sebuah jumlah yang mengerikan karena bisa menyebarkan paham radikal dalam hitungan detik dengan sasaran pembaca ribuan bahkan jutaan orang di berbagai belahan dunia. Sampai di sini, langkah yang dilakukan oleh BNPT dengan menggagas Gerakan Cerdas Nasional (GCN) dan bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden (KSP) sudah tepat dalam rangka mengimbangi propaganda kaum radikal di dunia maya.

Fakta Lainnya

Menurut data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 adalah sebanyak 132,7 juta user atau sekitar 51,5% dari total penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Jumlah itu naik sebesar 44,6 juta dalam waktu 2 tahun karena tahun 2014, jumlah pengguna Internet hanya 88,1 juta user. Dari data itu, pengguna internet usia 10-24 tahun berjumlah 18,4 % atau sebanyak 24,4 juta jiwa. Pengguna Internet di Indonesia paling banyak menggunakan perangkat mobile (smartphone) ketika mengakses internet yakni sebesar 47,6% atau sebanyak 63,1 juta jiwa.

Pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo melakukan survei terhadap para pelajar di Indonesia. Hasilnya, hampir 50% pelajar setuju terhadap tindakan radikal. Data itu menyebutkan bahwa 25% siswa dan 21% guru mengatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84, 8% siswa dan 76,2% guru setuju terhadap penerapan Syariat Islam di Indonesia.

Berdasarkan data itu, jangan heran jika pelaku radikal akhir-akhir ini adalah mayoritas pemuda, bahkan remaja usia 10-24 tahun. Sebab, mereka sudah aktif menggunakan internet lewat smartphone yang begitu mudah didapatkan dari orang tua mereka. Data tersebut, tentu menguntungkan kaum radikal karena mencuci otak para pemuda yang masih dalam proses pencarian jati diri lebih mudah daripada orang dewasa atau orang tua. Meskipun, banyak juga orang dewasa yang berhasil dicuci otaknya dan berubah jadi paham radikal.

Keluarga Jadi Kunci!

Fakta-fakta tersebut, bukan hanya isapan jempol belaka. Banyak sekali tindakan-tindakan radikal yang dilakukan oleh para pemuda akibat menerima propaganda dari dunia maya. Seorang pemuda asal Kalimantan bernama Muhammad Alfian Nurzi dan Asyahnaz asal Kabupaten Bandung, sebelum berangkat ke Suriah sering kali menggunakan  media online khususnya media sosial untuk berkomunikasi dengan kelompok ISIS. Pun demikian dengan lima remaja di salah satu SMK Klaten, mengaku belajar merakit bon dari website forum al-busyro dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya. (BNPT, 2016).

Dengan adanya fakta tersebut, GCN yang digagas BNPT tidak akan bisa berjalan maksimal tanpa bantuan para orang tua dalam sebuah keluarga. Keluarga menjadi kunci kesuksesan gerakan tersebut. Mengapa? karena orang tua dalam sebuah keluarga adalah benteng pertama yang akan menjaga anak-anak yang notabene generasi penerus ini dari pengaruh paham radikal. Sebelum terasuki  propaganda radikal, orang tua harus berperan aktif dalam melindungi anak-anak mereka. Sebab, ketika seseorang sudah terpapar ideologi radikal, ia akan segera menutup diri dan cukup sulit-bukan berarti tidak bisa-untuk mengembalikannya seperti semula. Dengan kata lain, lebih  baik mencegah daripada mengobati. Orang tua harus pro aktif melakukan berbagai tindak pencegahan sebelum anak-anak mereka berubah menjadi generasi bangsa yang berpaham radikal.

Pertama, orang tua harus memberikan pemahaman yang toleran kepada anak-anak mereka sejak kecil. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, baik itu ras, golongan dan suku bangsa. Pun demikian dengan agama. Manusia tidak hanya memeluk satu agama saja. Ada banyak agama yang dipeluk dan mengilhami semua manusia di dunia ini. Contoh menarik yang dilakukan salah satu dosen Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta adalah dengan mengajak anak-anaknya nongkrong di depan sebuah gereja melihat umat Kristiani melaksanakan ibadah setiap hari Minggu. Ia melakukan hal itu karena ingin anaknya tahu bahwa agama tidak hanya Islam saja.

Kedua, orang tua harus bijaksana ketika memberikan fasilitas smartphone kepada anak-anaknya. Di era modern seperti ini, pemandangan anak-anak kecil memegang gadget sudah tidak asing lagi. Bahkan mereka sudah akrab dengan Facebook, Tiwtter, Youtube Instagram dan sosial media lainnya. Lewat gadget yang mereka dapatkan dengan mudah dari orang tua, mereka mengakses internet dengan leluasa. Di sinilah akan terjadi masalah jika para orang tua tidak melakukan pengawasan yang ketat ketika anak-anak mereka mengakses internet. Memberikan mereka fasilitas smartphone kepada anak-anak tanpa melakukan pengawasan adalah kesalahan fatal yang dampaknya sangat besar. Apalagi jika anak-anak mereka kemudian mengakses situs-situs berpaham radikal. Oleh karenanya para orang tua, harus mengawasi anak-anak mereka ketika mengakses internet.

GCN akan sukses melawan propaganda radikal di dunia maya jika semua masyarakat Indonesia ikut ambil bagian termasuk orang tua. Oleh karenanya, mari kita sukseskan gerakan tersebut untuk mengimbangi propaganda yang dihembuskan kaum radikal melalui dunia maya dengan mengoptimalkan peran keluarga.

This post was last modified on 24 Februari 2017 2:02 PM

Nur Rokhim

Alumnus Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Lembaga Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU DIY.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

6 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

6 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

6 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago