Narasi

Mewujudkan Wajah Islam tanpa Radikalisme

Di era globalisasi yang serba terbuka dan bebas ini, banyak bermunculan kelompok-kelompok radikal. Dikatakan radikal karena para pengikutnya bertindak yang dalam ukuran normal tergolong kasar, dimana hal tersebut ditunjukkan dengan menghancurkan segala hal yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan ajaran agama Islam.

Di sisi lain,munculnya gerakan radikalisme Islam di Indonesia dipicu oleh persoalan domestik.Dalam lingkup domestik, berbagai macam kemelut telah terjadi yang dimulai dari pembantaian kiai berkedok dukun santet, sampai tragedi Poso (1998) dan Ambon (1999). Meskipun memakan korban, namun pergerakan pemerintah dalam menangani hal ini belum memadai, sehingga ada kelompok-kelompok yang bermunculan untuk membantu saudaranya yang terkena serangan.

Kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam tersebut, banyak bertindak bukan lagi sekedar membantu para saudaranya yang terkena serangan, tetapi mereka bertindak atas nama dendam kesumat.Sehingga siapapun yang termasuk golongan penyerang saudaranya, mereka akan dilumat habis.

Hadirnya kelompok-kelompok radikal di Indonesia ini sebenarnya bukan saja murni dari gerakan mereka sendiri, tetapi juga karena jangkauan pemerintah dalam mematikan pergerakan mereka sangat terbatas.Meskipun DNA kelompok radikal ini bisa dideteksi dan selalu diawasi, namun pemerintah belumbisa mendeteksi kapan mereka akan bertindak. Serangkaian tindakan radikal yang banyak memakan korban di Indonesia, menjadi cermin keterbatasan pemerintah dalam menghalau tindakan mereka.

Hal ini tentumembuat wajah Islam Indonesia di mata dunia menampakkan wajah yang kusam dan buruk.Islam di Indonesia dianggap sebagai gembong kelompok-kelompok radikal yang kapanpun bisa mengancam perdamaian dan stabilitas kehidupan bangsa internasinal.Dengan mudahnya dunia internasionalmemojokkan umat Islam di Indonesia dan selalu dicurigai sebagai kelompok radikal.

Populernya istilah Islamophobia di Amerika Serikat,seolah menjadi komando kepada semua negara untuk berhati-hati dengan umat Islam secara keseluruhan, khususnya Indonesia.Adanyaistilah ini, seolah Islam tidak mempunyai norma dan ajaran-ajaran perdamaian dengan sesama umat manusia.Maka kita sebagai umat Islam jangan heran jika setiap tahun orang-orang yang mengidap (penyakit) Islamophobia cenderung meningkat.

Menyeimbangkan Fanatime dan Toleransi

Dua konsep keberagamaan yang berupa fanatisme dan toleransi ini seringkali dijadikan sebagai pegangan utama umat Islam. Keduanyaharus dipahami dan dilakukan oleh umat Islam secara seimbang dalam kehidupan sehari-harinya.

Umat Islam perlu fanatik terhadap ajaran agama untuk mempertahankan ajaran-ajaran Islam sekaligus melaksanakannya.Tetapi jika umat Islam hanya fanatik terhadap Islam, maka yang terjadi bukanlah mengamalkan ajaran Islam sendiri. Karena fanatik tanpa diimbangi oleh toleransi akan menjadikan seseorang melanggar keislamannya. Islam sebenarnya sangat menjunjung tinggi toleransi, namun karena tertutup dengan gerakan radikalisme, tolenrasi dalam Islam seolah tidak ada.

Hidup tanpa teleransi, umat Islam akan selalu curiga terhadap sesama umat Islam. Umat Islam yang dianggap tidak sesuai dengan konsepnya dalam melaksanakan perintah agama, akan dipaksa untuk melakukan sesuai dengan konsep yang dipahaminya. Meluruskan pengamalan umat Islam yang belum sesuai memang harus dilakukan, namun jika dengan paksanaan, yang ada justru bukan perubahan, tetapi pemberontakan.

Maka umat Islam jangan sampai hanya memahami dan mengamalkan konsepfanatisme dalam beragama, tetapi juga harus mengamalkan konsep toleransi terhadap sesama. Dengan tujuan agar umat Islam tidak menjadi individu yang keras serta menyalahkan orang lain.

Keseimbangan dalam melaksanakan ajaran agama Islam ini harus dilakukan, sebagai upaya meredam diri sendiri untuk tidak bergabung dalam kelompok radikal dan meredam kelompok-kelompok Islam yang radikal. Kelompok radikal ada karena mereka terlalu fanatik dan mengesampingkan konsep toleransi.Sehingga wajah Islam yang sebenarnya kaya akan toleransi tertutup dengan fanatisme yang digambarkan dengan gerakan radikalisme.

Harapan besar dari keseimbangan konsep ini ialah dapat merubah tindakan radikalisme yang terjadi di Indonesia sekaligus membersihkan wajah Islam dari radikalisme.Sehingga dalam politik internasional tidak perlu lagi adanya istilah Islamophobia.

This post was last modified on 1 Maret 2017 2:48 PM

Arief Rifkiawan Hamzah

Menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Al-Hikmah 1 Benda, Sirampog, Brebes dan Ponpes Darul Falah Pare, Kediri. Saat ini ia sebagai Tutor di Universitas Terbuka.

Recent Posts

Dalil Larangan Ghuluw; Egoisme Beragama yang Dikecam Islam

Islam adalah agama moderat yang menempatkan sikap tengah-tengah (tidak ekstrem) sebagai pilihan terbaik. Maka, Islam…

7 jam ago

Islam dan Tantangan Birahi Egoisme Beragama

Realita yang miris terjadi di dalam ruang keberagamaan kita akhir-akhir ini. Ruang keagamaan kian dilingkupi…

7 jam ago

Membaca Piagam Madinah dan UUD 1945: Menyoal Kebebasan Beragama di Zaman Nabi dan Era Sekarang

Piagam Madinah dan UUD 1945 adalah dua dokumen yang menandai tonggak penting dalam sejarah peradaban…

7 jam ago

Islamic State dan Kekacauan Kelompok Khilafah Menafsirkan Konsep Imamah

Konsep imamah adalah salah satu aspek sentral dalam pemikiran politik Islam, yang mengacu pada kepemimpinan…

3 hari ago

Menelaah Ayat-Ayat “Nation State” dalam Al Qur’an

Mencermati dinamika politik dunia Islam adalah hal yang menarik. Bagaimana tidak? Awalnya, dunia Islam menganut…

3 hari ago

Menghindari Hasutan Kebencian dalam Praktik Demokrasi Beragama Kita

Masyarakat Indonesia sudah selesai melaksanakan pemilihan presiden bulan lalu, akan tetapi perdebatan tentang hasilnya seakan…

3 hari ago