Keagamaan

Perempuan Boleh Membantah dan Menggugat Cerai Suami yang Terpapar Paham Radikal Terorisme

Aksi-aksi terorisme melibatkan keluarga dan anak kecil telah terbukti terjadi di negara ini. Istri dan anak-anak melakukan aksi meledakkan bom untuk menghancurkan hidup orang lain. Fenomena kelabu ini menjadi catatan penting, paham radikal telah menelusup ke dalam lingkungan keluarga, bahkan tega mengorbankan anak dan istri sebagai pelaku kejahatan terorisme.

Seorang suami yang terpengaruh paham radikal tidak segan-segan menjadikan anak dan istrinya sebagai pelaku aksi bom bunuh diri. Doktrin dari ideologi kebencian dan kekerasan yang mengendap dalam alam pikir suami menjadi penyebab utama dari legitimasi tindakan yang mereka lakukan.

Keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam pusaran terorisme lebih dominan terjadi kalau pendoktrinnya adalah suami, atau sebaliknya istri yang mendoktrin suami untuk melakukan aksi-aksi kekerasan seperti bom bunuh diri. Suami yang berperan sebagai ideolog akan lebih mudah merekrut istri dan anak-anaknya menjadi pelaku serangan teror.

Dalam banyak kasus menurut Musda Mulia, perempuan sejatinya tetap menjadi korban dalam aksi terorisme. Sekalipun mereka telah beralih menjadi aktor dalam aksi terorisme, perempuan hanyalah biduk dan obyek dari radikalisasi yang dilakukan oleh laki-laki.

Lalu, apakah perempuan harus terus taat terhadap suaminya dalam konteks radikal terorisme?

Dalam Islam, ketaatan istri terhadap suami bukan ketaatan yang mutlak. Taat diwajibkan dalam konteks hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Jika nyata suami melakukan tindakan atau potensi kejahatan, perempuan atau istri bisa menolaknya dengan cara halus dan membujuknya.

Namun, jika hal itu tidak bisa dilakukan, apakah istri tetap bertahan dengan suaminya? Para ulama fikih sebenarnya telah melakukan antisipasi tentang hal ini. Mereka telah merumuskan hukum dengan tujuan untuk menyelamatkan istri dari cengkraman suami yang terpengaruh paham radikal.

Salah satunya termaktub dalam Al Hawi Al Kabir Karya Al Mawardi (5/10). Dalam kondisi seperti di atas, istri bisa mengajukan khulu’. Khulu’ adalah gugat cerai dari istri dengan membayar kompensasi sesuai aturan syariat Islam supaya terlepas dari ikatan perkawinan.

Ada dua kategori khulu’, yakni khulu’ yang didasari suatu alasan dan khulu’ tanpa didasari alasan. Khulu’ yang didasari suatu alasan hukumnya bervariasi, salah satunya mubah (boleh). Di antara yang masuk kategori mubah adalah karena ketidaksukaan istri terhadap suami; karena akhlak suami tidak terpuji, memiliki tabiat kasar, tidak taat agama dan penampilan yang tidak enak dipandang.

Suami yang terpapar, apalagi menjadi ideolog paham radikal masuk kategori tidak taat agama karena telah keluar dari ajaran agama yang seharusnya. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk membunuh orang lain sekalipun beda agama tanpa alasan yang dibenarkan.

Umat Islam diwajibkan berperang hanya apabila diperangi karena agamanya dan diusir atau diusik supaya meninggalkan kampung halaman. Itupun dengan syarat-syarat yang ketat dan dengan adanya perintah dari amir.

Dalam konteks negara yang damai seperti di Indonesia saat ini, pembunuhan terhadap orang lain sekalipun beda agama sangat tidak dibenarkan. Islam menganjurkan hidup damai selama mereka mau hidup berdampingan secara harmonis.

Karena itulah, alasan jihad dengan melakukan bom bunuh diri atau aksi kekerasan lainnya merupakan penyelewengan dari ajaran Islam. Terorisme adalah murni fitnah bagi agama Islam dan pelakunya adalah bughat yang telah membangkang dari ajaran agama dan ulil amri.

Dalam konteks inilah, terorisme adalah sebuah kejahatan yang jelas dilarang dalam agama. Orang yang tergabung dan memiliki paham radikal terorisme merupakan individu yang sudah keluar dari ketaatan dalam menjalankan syariat agama dengan benar.

Kesimpulannya, istri boleh mengajukan khulu’ ke pengadilan manakala suaminya secara nyata terpapar paham radikal dan berpotensi menularkan doktrin kekerasan kepada istri dan anak-anaknya sehingga suatu saat berpotensi menjadi pelaku aksi-aksi kekerasan seperti bom bunuh diri.

Karena itulah dalam kaidah fikih dinyatakan mencegah kemudharatan lebih didahulukan dari pada mengambil kemanfaatan. Artinya, berpisah dari suami yang telah nyata memiliki paham dan ideologi kekerasan lebih didahulukan untuk mencegah mudharat, dari pada mengambil kemashlahatan pernikahannya yang sangat jauh dari kenyataan.

This post was last modified on 30 Agustus 2023 1:49 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

22 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

22 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago