Categories: Keagamaan

Perlukah Manusia beragama?

Beberapa tahun lalu ketika masih berdomisili di Afrika, saya bertetangga dengan salah satu keluarga berasal dari  China.  Karena hampir setiap hari bertemu khususnya di hari libur dan di sore hari setelah jam kerja, akhirnya kami akrab dan sering berbagi cerita tentang budaya dan kehidupan di negara kami masing-masing. Mereka berbisnis di Afrika, karena sejak tahun 90-an, Sudan membuka secara luas investasi dari China setelah negara Barat dan AS memboikat secara ekonomi karena dugaan melindungi terorisme (Red. Osama bin Laden berdomisili di Sudan dari tahun 1990-1998). Kebijakan tersebut dimanfaatkan oleh China sehingga dimana-mana terdapat berbagai proyek yang dikerjakan oleh orang China baik di sektor industri , properti, dan berbagai jenis proyek infrakstruktur lainnya termasuk perdagangan dan jasa.

Setiap hari libur, keluarga ini sama-sama membersihkan halaman rumahnya dari debu dan kantong-kantong plastic yang bertebaran akibat angin kencang yang berhembus setiap musim rontok. Di hari kerja,suaminya kebanyakan di luar rumah mengurus berbagai proyek sementara istrinya mengurus rumah tangganya dan mengantar dan menjemput anak-anaknya ke dan dari sekolah setiap hari.

Disamping itu, ia juga membantu suaminya mengurus faktur-faktur pembelian dan penjualan bahan bangunan yang dibutuhkan dalam menjalankan usahanya. Mereka sangat mesra dan saling menghargai antara satu dengan yang lain yang tercermin dari sikap istrinya ketika menerima suaminya dan sebaliknya suaminya juga cukup perhatian terhadap istrinya yang tercermin dari sikap suaminya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Setiap saat pulang kerja, ia selalu membawa segala kebutuhan sehari-hari rumah tangganya entahlah apa yang dibeli yang jelasnya setiap saat ia pulang senantiasa  mambawa berbagai jenis kebutuhan rumah tangganya. Pasangan ini juga sangat perhatian terhadap dua orang anaknya dan selalu mengajarkan hal-hal yang positif seperti menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah di sembarang tempat, menghomati orang lain dan menghargai tamunya.

Kehidupan keluarga yang dilakoni kedua pasangan ini sehari-hari sangat  harmonis atau kalau meminjam istilah yang Islami keluarga yang “mawaddah warahma dan sakinah “ dan menjungjung tinggi  nilai-nilai budaya dan tanggung jawab sebagai satu keluarga yang utuh. Prilakunya tidak jauh berbeda dengan prilaku masyarakat di sekitarnya yang mayoritasnya beragama Islam, ramah dan bersahabat sehingga hampir semua tetangga mengenal keluarga ini dengan baik.

Suatu saat kami berbincang-bincang tentang kehidupan masyarakat Sudan dan budaya kami masing-masing dan secara tidak sengaja saya menanyakan tentang agama yang dianutnya. Pertanyaan ini muncul dalam benak kami karena penasaran melihat gaya hidup mereka yang cukup bersahabat, disiplin, ramah dan suka membantu sehingga penasaran untuk mengetahui lebih dalam tentang mereka dan kehidupannya yang mengejutkan, karena yang bersangkutan menjawab bahwa dia dan suaminya tidak memiliki agama apapun yang dianut oleh orang-orang di dunia ini. Mereka bukan, Muslim, Nasrani dan juga  bukan Konghucu atau agama lainnya yang dianut oleh kebanyakan orang China.

Mereka belum mengimani satu agamapun dan baginya semua agama sama saja dan tidak ada yang membedakan antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Kebenaran adalah satu dan semua manusia sama-sama meyakini kebenaran itu. Ia mencontohkan bahwa berdusta dan mencuri atau membunuh adalah tindakan yang tercelah dan diyakini oleh semua manusia yang beragama dan yang tidak beragama bahwa tindakan itu adalah sifat tak terpuji. Ia juga meyakini bahwa jujur, suka membantu dan tolong menolong adalah sifat yang terpuji dan diyakini kebenarannya oleh orang yang beragama dan yang tidak beragama.

Sebuah jawaban yang cukup menarik untuk dicermati karena ternyata nilai-nilai positif bukan saja diajarkan oleh agama tetapi budaya sebuah komunitas terkecil atau sebuah agama bumi juga  menganjurkan prilaku yang baik terhadap sesama dan melarang prilaku yang tak terpuji. Entah dari mana keluarga ini meyakini bahwa berdusta dan membunuh adalah sifat tercela dan jujur dan suka menolong adalah sifat terpuji. Apakah budaya di negeri mereka atau wejangan orang tuanya atau kepercayaan masyarakatnya atau budaya leluhur mereka yang mengajarkan demikian atau juga mungkin telah membaca buku-buku agama atau filsafat?. Yang menarik karena gaya hidup dan prilaku serta pergaulan di tengah masyarakat di sekitarnya telah mencerminkan  nilai-nilai agama termasuk nilai-nilai yang Islami walaupun yang bersangkutan tidak menganut agama apapun yang ada di dunia ini. Ia hanya meyakini bahwa dirinya “ada” dan harus berbuat sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan sekitarnya.

Pernyataan ini nampaknya serasi dengan apa yang pernah dikatakan oleh seorang ulama besar di Mesir dan mantan Guru Besar di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, Syech Abdul Halim Mahmoud ketika berkunjung ke Paris dan mengatakan bahwa “Sesungguhnya saya telah melihat Islam di dunia Barat dan melihat orang-orang Islam di dunia Timur”.

Ternyata nilai-nilai Islam dapat ditemukan di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukanlah muslim dan sebaliknya nilai-nilai Islam jarang ditemukan di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Kepatuhan terhadap hukum dan sistim, kedisiplinan, kebersihan, ketertiban umum, rasa nyaman dan lain-lain sebagainya adalah nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh Islam dan semua agama di dunia ini.

Agama memang bukanlah sekedar ibadah semata dan keyakinan terhadap tuhan yang menciptakan segala sesuatunya di muka bumi. Akan tetapi lebih dari itu, agama sangat erat kaitannya dengan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, artinya setiap orang yang beragama dituntut untuk mampu menterjemahkan nilai-nilai agamanya ke dalam kehidupan sehari-harinya yang bukan saja memberimanfaat bagi dirinya akan tetapi juga bagi orang lain.

 Manakala agama menjadi justifikasi untuk melakukan sesuatu yang merusak dan merugikan orang lain, maka agama dalam hal ini justru akan menjadi sesuatu yang bias dan momok yang menakutkan yang bisa saja menggiring seseorang untuk menyimpulkan bahwa agama adalah malapetaka bagi manusia bukan rahmat bagi manusia sehingga beragama atau tidak bukanlah sebuah persoalan.

Suaib Tahir

Suaib tahir adalah salah satu tim penulis pusat media damai (pmd). Sebelumnya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi timur tengah. Selain aktif menulis di PMD juga aktif mengajar di kampus dan organisasi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago