Sejak masa nenek moyang nusantara, ajaran spiritualitas keagamaan yang beragam baik Hindu, Budha, Islam berakar pada satu landasan etik toleransi. Toleransi merupakan watak asli bangsa dan manusia Indonesia sejak dulu kala. Prinsip “Bhinneka Tunggal IKa” karangan Mpu Tantular mengilhami para penguasa dan masyarakat Hindu-Budha sejak dulu kala untuk mengelola perbedaan dalam kerangka persatuan.
Islam datang memulai babakan baru dalam sejarah reliji masyarakat nusantara. Wali Songo, penyebar Islam di Nusantara, hadir dengan tidak merusak tradisi lokal tetapi mengakomodasi kekayaan khazanah nusantara dalam bingkai nilai Islam. Islam damai, toleran dan spiritualis lebih tampak sebagai ciri khas Islam yang melebur dengan toleransi sebagai watak nusantara.
Berlanjut pada masa Indonesia modern, dua ormas besar keagamaan meneruskan jejak langkah penyebar Islam dengan tidak haus dengan kekuasaan politik. Muhammadiyah cerminan ormas Islam yang piawai dalam mengawinkan dakwah dengan pendidikan modern. Sementara, NU lahir sebagai cerminan perkawinan dakwah dan pendidikan tradisi lokal. Tidak ada ambisi Islam dalam politik kekuasaan. Islam ditanamkan melalui ruang pendidikan, pelayanan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Watak toleransi nusantara terus disemai dan dirawat oleh ormas besar Islam moderat tersebut hingga saat ini.
Karena subtansi Islam dan toleransi nusantara yang terbangun, meskipun ada sedikit perdebatan, para ulama besar masa kemerdekaan tidak cukup sulit merumuskan identitas negara ini. Para ulama seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuom, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hasan dan tokoh pendiri bangsa lainnya sadar bahwa negara yang ingin mereka bangun adalah bukan negara yang didasarkan pada agama tertentu, tetapi pada watak toleransi nusantara. Karena itulah, tercipta negara yang mengakui, melindungi dan memberikan jaminan kebebasan terhadap beragam agama, keyakinan, budaya, tradisi dan bahasa yang telah menjadi bagian integral Nusantara sejak lama.
Nah, belakangan muncul gerakan Islam yang bercorak keras dan bermuka sangar. Radikalisme mendadak menjadi elemen dari bagian cara mereka berislam. Salah satu ciri pokok mereka adalah mengawinkan Islam dengan ambisi politik kekuasaan. Mereka tidak lagi berbicara Islam dari kultur masyarakat, tetapi pada perebutan struktur kekuasaan.
Gerakan radikalisme ini muncul seolah menjadi penyelamat dengan berusaha merebut simpati masyarakat dengan jargon memperjuangkan kepentingan agama. Amar ma’ruf nahy munkar menjadi slogan, padahal sejatinya mereka melakukan tindakan amar ma’ruf bil munkar. Karenanya kelompok ini mudah menjual kata kafir, bid’ah dan murtad terhadap sesama muslim sekalipun.
Apa yang gagal dari gerakan radikalisme yang muncul belakangan ini. Pertama, mereka gagal memahami subtansi Islam sebagaimana para penyebar Islam memahami Islam secara subtansial. Kedua, mereka gagal memahami sejarah dan watak bangsa sebagaimana para pendiri bangsa memahami betul sejarah watak dan identitas bangsa.
Hal itu tentu saja tidak menjadi aneh. Radikalisme merupakan barang impor dari luar Indonesia yang masuk secara cepat menjangkiti umat beragama di Indonesia. Sebagai barang impor ia berusaha mengimpor pemikiran gerakan radikal di negara lain tanpa melihat sejarah panjang bangsa ini. Mereka berusaha mengadopsi semisal pemikiran al-Maududi tanpa melihat konstruksi sosial-politik India-Pakistan yang melahirkan pemikirannya. Mereka mengimpor pemikiran Al-Bana atau Sayyid Qutub tanpa melihat kontestasi politik Mesir yang melahirkan pemikiran dua tokoh tersebut. Harus diingat kelompok dan organisasi radikal ini di tanah kelahirannnya banyak dilarang oleh negara setempat. Ironisnya, beberapa pemikiran dan gerakan yang terlarang tersebut justru mencari lahan baru, salah satunya Indonesia.
Hari ini gerakan radikalisme telah semakin liar. Mereka tidak sekedar mengimpor pemikiran dan paham yang keras, tetapi juga berusaha mengimpor konflik Timur Tengah untuk dibawa dalam kondisi Indonesia yang damai. Konflik sekterian Timur Tengah direplikasi dan dipindahkan dalam mindset umat Islam yang tidak pernah mempersoalkan perselisihan sekterian. Akhrinya, mereka berusaha memproyeksikan ke tengah masyarakat Indonesia bahwa negara ini sedang dalam kondisi perang.
Namun, kenapa Indonesia masih kokoh walaupun beragam persoalan baik politik, sosial, ekonomi bahkan keagamaan terus melanda? Jawabannya cukup mudah. Watak toleransi bangsa ini masih kuat sebagai landasan etika dan kultur masyarakat Indonesia. Kelompok radikal sangat memahami pondasi ini, karena itulah ia berupaya memudarkan watak toleran ini dengan selalu menjual konflik sekterian. Coraknya mereka rajin menebar fitnah, memprovokasi dan menebar kebencian terhadap sesama muslim atau terhadap penganut agama lain.
Radikalisme ibarat virus yang mudah menular. Karena itulah, harus ada cara bagaimana mengamputasi virus tersebut yang lamban laun telah menjalar ke tengah masyarakat. Radikalisme di Indonesia yang tumbuh kembang pasca reformasi tidak hanya muncul sebagai paham tetapi digerakkan oleh agen. Pola kaderisasi marak dilakukan baik secara tersembunyi atau secara terang-terangan.
Karena itulah, melumpuhkan agen dan gerakan radikalisme di Indonesia harus dilakukan dengan cara terus mengokohkan identitas dan watak toleransi bangsa ini. Menjadi toleran adalah cerminan penguatan kepribadian bangsa yang dapat mengikis radikalisme sebagai barang impor dari luar. Menjaga kesatuan sekaligus kesantunan merupakan paket komplit warga negara yang mencerminkan sikap relijius.
Para penyebar Islam masa lalu berusaha mengislamkan masyarakat, bukan mengkafirkan masyarakat muslim. Tidak ada teladan dakwah dari penyebar Islam masa lalu dengan cara kekerasan. Tidak ada warisan pemikiran dari penyebar Islam nusantara yang meneriakkan pekikan Allahu Akbar untuk merusak fasilitas dan menyakiti, atau bahkan menghilangkan nyawa manusia. Dan tidak ada tempat bagi pemikiran dan gerakan radikalisme di tanah nusantara ini.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…